Monuntul, Api Penuntun Malaikat Turun ke Bolaang Mongondow di Akhir Ramadhan

Konten Media Partner
20 April 2023 19:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ratusan gelas plastik yang disiapkan mahasiswa dari Bolaang Mongondow di Asrama Bogani Yogyakarta untuk melakukan tradisi monuntul. Foto: Arif UT
zoom-in-whitePerbesar
Ratusan gelas plastik yang disiapkan mahasiswa dari Bolaang Mongondow di Asrama Bogani Yogyakarta untuk melakukan tradisi monuntul. Foto: Arif UT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ratusan gelas plastik sudah ditata rapi di halaman Asrama Bogani, tempat tinggal mahasiswa dari Kabupaten Bolaang Mongondow di Yogyakarta. Sepertiga gelas itu sudah diisi dengan tanah dan tengahnya ditancapi cotton buds.
ADVERTISEMENT
“Nanti kita kasih minyak kelapa, terus kita nyalakan semua biar kayak tradisi monuntul di kampung kita,” kata Nizar Potabuga saat ditemui di Asrama Bogani, Rabu (19/4).
Seperti Yogya, dulu Bolaang Mongondow adalah sebuah kerajaan yang kemudian menyatakan bergabung dengan NKRI pada 1950. Setelah bergabung dengan NKRI, Bolaang Mongondow kemudian menjadi salah satu kabupaten terbesar di Provinsi Sulawesi Utara.
Lokasi Kabupaten Bolaang Mongondow dalam peta. Foto: Wikipedia
Seiring berjalannya waktu, Kabupaten Bolaang Mongondow yang dikenal sebagai penghasil utama kopra di Sulawesi Utara kemudian mengalami beberapa kali pemekaran sehingga membagi wilayahnya menjadi Kota Kotamobagu, Bolaang Mongondow Induk, Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Utara, dan Bolaang Mongondow Timur.
“Sekarang kita sedang berusaha buat mekar jadi provinsi baru, BMR namanya, Bolaang Mongondow Utara,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Bogani, yang dijadikan sebagai nama asrama mereka adalah nama pahlawan yang berjasa bagi Kerajaan Bolaang Mongondow. Sosok Bogani salah satunya diabadikan melalui Patung Bogani di Kota Kotamobagu yang dibuat oleh Alexander Bastian Wetik pada 1974.
“Biar anak-anak muda kita enggak lupa sama pahlawan kita sendiri,” ujarnya.
Pesta Pora di Bolaang Mongondow
Salah seorang mahasiswa dari Bolaang Mongondow yang berkuliah di Yogya, Nizar Potabuga . Foto: Arif UT
Nizar sudah enam tahun tinggal di Yogya. Dia adalah mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI) di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Orang tuanya ingin sekali dia jadi guru, profesi favorit bagi orang-orang di kampung halamannya.
Selama di Yogya, dia baru sekali pulang ke kampung halamannya, jadi sudah lima lebaran ini dia lewati di Yogya.
“Kalau pulang, setiap orang yang datang pasti nanyain kapan lulus, jadi mending di Jogja aja,” kata Nizar setengah tertawa.
ADVERTISEMENT
Konsekuensinya, dia harus rela tidak ikut pesta besar saat Lebaran di kampung halamannya. Saat Lebaran, meja di ruang tamu selalu penuh dengan makanan. Ketupat dan opor adalah menu utama. Sisanya, ada puluhan menu pelengkap lain yang khas dari Bolaang Mongondow, terutama kukis. Di setiap rumah, bisa ada puluhan jenis kukis khas seperti kukis tulip, kukis rambutan, kukis ma’lyang, dan masih banyak lagi. Tapi yang paling jadi favorit Nizar adalah napolotein, jenis kukis basah yang mirip lapis legit.
Ilustrasi keluarga sedang makan ketupat di hari Idul Fitri. Foto: Shutter Stock
Karena memiliki hasil laut yang sangat kaya, olahan berbagai jenis ikan juga tidak pernah luput dari perayaan Lebaran di Bolaang Mongondow, mulai dari ikan tuna, cakalang, tude, dan masih banyak lagi.
Bahkan, seminggu setelah Lebaran masih ada acara makan-makan besar yang mereka sebut sebagai Lebaran Ketupat. Pada hari itu, semua rumah pasti menyediakan menu ketupat dan soto yang boleh dinikmati oleh siapapun.
ADVERTISEMENT
“Dulu sampai ada orang asing yang masuk ke rumah warga terus makan, pas selesai dia mau bayar karena dikira warung, karena memang siapapun boleh bertamu dan makan, termasuk orang yang enggak kenal,” ujarnya.
Sedangkan saat berlebaran di Jogja tak pernah ada pesta. Hari Lebaran berjalan layaknya hari-hari biasa.
“Sedihnya pas Lebaran kita cuma ke swalayan buat beli camilan-camilan buat dimakan di kamar, sedangkan di sana sedang pesta besar,” kata dia.
Penuntun Malaikat di Bolaang Mongondow
Lampu-lampu monuntul yang dipasang di halaman Asrama Bogani pada akhir Ramadhan 2023. Foto: Arif UT
Tapi, Nizar tak masalah melewatkan pesta besar di kampung saat Lebaran. Yang paling dia sayangkan justru tak bisa ikut tradisi monuntul yang diadakan semua kampung di Bolaang Mongondow di akhir Bulan Ramadhan.
Monuntul adalah tradisi menyalakan api di Bolaang Mongondow yang dimulai pada tiga malam terakhir Bulan Ramadhan, dan puncaknya pada malam takbir. Dalam bahasa Bolaang Mongondow, monuntul berarti memasang atau menyalakan lampu. Lampu ini dibuat dari botol minuman kecil yang diberi minyak tanah dan sumbu.
ADVERTISEMENT
“Mendekati Lebaran pasti ada pengumuman dari kepala desa, semua rumah harus membuat monuntul, kalau ada yang tidak memasang, pasti kena tegur, bisa dikucilkan dari masyarakat,” kata Nizar.
Hiasan perayaan monuntul di Asrama Bogani Yogya. Foto: Arif UT
Saking meriahnya tradisi monuntul di Bolaang Mongondow, sampai dibuat lomba monuntul yang diikuti setiap kampung. Sepuluh hari sebelum Lebaran, biasanya anak-anak muda di sana sudah mulai sibuk rapat untuk membahas desain monuntul yang akan mereka pamerkan di acara puncak.
“Ada yang dibentuk masjid, kaligrafi, ka'bah, semua berlomba-lomba bikin yang paling keren. Dan proses bikinnya itu yang paling menyenangkan sebenarnya,” lanjut dia.
Tak cuma umat Muslim, banyak juga umat kristiani di Bolaang Mongondow yang mengikuti tradisi ini, tentunya bentuknya disesuaikan. Di sana, masyarakat Muslim dan Kristiani memang sudah terbiasa hidup berdampingan. Sulawesi Utara bahkan menempati peringkat ketiga provinsi dengan nilai indeks kerukunan umat beragama (KUB) tertinggi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Jadi udah biasa mereka ikut lomba monuntul, bahkan di rumah mereka juga ikut memasang monuntul,” ujarnya.
Kemeriahan tradisi monuntul di Bolaang Mongondow. Foto: Facebook/Harpri Dilapanga
Banyak versi tentang mengapa umat Muslim di Bolaang Mongondow melakukan monuntul di tiga hari terakhir Bulan Ramadhan. Salah satunya Nizar menjelaskan, orang-orang tua di Bolaang Mongondow meyakini bahwa pada malam-malam terakhir Bulan Ramadhan para malaikat akan turun ke Bumi.
Hal ini berkaitan dengan malam lailatul qadar, malam kemuliaan di Bulan Ramadhan. Karena itu, jalanan dan seluruh kampung harus diterangi dengan lampu-lampu untuk menyambut turunnya para malaikat tersebut.
“Monuntul ini seperti penuntun para malaikat untuk turun ke kampung kami di malam kemuliaan Bulan Ramadhan,” jelasnya.
Di Asrama Bogani Yogya, para mahasiswa Bolaang Mongondow yang tak pulang kampung juga ikut melakukan monuntul. Selain untuk melepas rindu dengan kampung halaman, mereka juga berharap mendapat karunia dan kemuliaan di akhir Ramadhan ini.
ADVERTISEMENT
“Ibaratnya, biar para malaikat juga turun di asrama ini, biar mereka juga tahu kalau di Jogja juga ada orang-orang Bolaang Mongondow yang menantikan kemuliaan di akhir Bulan Ramadhan,” harap Nizar Potabuga.