Masih Berlanjut, Perjuangan Tuna Daksa di Yogya Mencari Vaksin COVID-19

Konten Media Partner
31 Agustus 2022 18:21 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suhartono mengantar rombongan difabel pada acara vaksinasi di Gedung Olah Raga (GOR) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) beberapa waktu lalu. (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Suhartono mengantar rombongan difabel pada acara vaksinasi di Gedung Olah Raga (GOR) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) beberapa waktu lalu. (Foto: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hampir setahun lamanya Suhartono hidup dalam kecemasan. Sejak COVID-19 masuk ke Indonesia pada Maret 2020, hari-harinya tak pernah tenang. Terlebih ketika kasus COVID-19 makin mengganas di gelombang 1, 2 dan 3. Kasus harian yang sempat mencapai puluhan ribu dan kabar duka yang datang silih berganti, membuat Suhartono nyaris tak pernah bisa tidur dengan nyenyak lagi.
ADVERTISEMENT
Suara ambulans yang terdengar melintas dalam hitungan menit membuatnya resah. Pada masa-masa itu, saat kasus COVID-19 meningkat, seperti tak ada tempat yang aman baginya di dunia ini, bahkan di dalam rumahnya sendiri di daerah Pandak, Bantul.
“Tanpa pandemi, sebagai penyandang disabilitas, kondisi kami sudah rentan. Apalagi di tengah kepungan pandemi seperti ini,” kata Suhartono beberapa waktu lalu di Yogyakarta.
Suhartono adalah salah seorang penyandang disabilitas yang tergabung dalam komunitas Difabel Zone di Pandak, Bantul. Selama lebih dari satu dekade, ia hidup dengan satu kaki akibat kecelakaan kerja pada 2010 yang membuat kaki kirinya harus diamputasi. Untuk berjalan, ia harus dibantu sepasang kruk kaki.
Suhartono bukan satu-satunya penyandang disabilitas yang hidup dalam kecemasan selama pandemi. Di Difabel Zone saja, ada belasan penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda.
ADVERTISEMENT
“Ada yang polio, dan ada yang menyandang cerebral palsy (CP) dengan tingkatan yang agak berat, sehingga butuh kursi roda. Akses seseorang dengan kondisi berkebutuhan khusus tentu perlu dimudahkan, untuk bisa divaksinasi,” lanjutnya.
Bolak-Balik 40 Kilometer Demi Mengikuti Vaksinasi COVID-19
Suhartono berangkat bekerja dengan motor roda tiga. Foto: Dok. Nu Skin Indonesia
Suhartono menyadari bahwa ia harus memulai sebuah inisiatif untuk melakukan sesuatu. Ia mulai mendapat angin segar ketika mendengar pemerintah sudah mulai menyelenggarakan program vaksinasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tapi di sisi lain, ia dan teman-teman disabilitasnya juga mendengar kabar miring tentang konspirasi vaksin.
Suhartono kemudian banyak berdiskusi dengan teman-temannya sesama anggota komunitas disabilitas. Ia juga banyak bertanya kepada orang-orang yang ahli di bidang kesehatan, tentang manfaat dan bahaya vaksin COVID-19. Hingga ia dan teman-teman penyandang disabilitas lainnya memantapkan diri untuk mengikuti vaksinasi. “Paling tidak, kami sudah berusaha yang terbaik, karena tidak melakukan apa pun bagi saya bukanlah solusi,” kata Suhartono.
ADVERTISEMENT
Masalah berikutnya datang, Suhartono dan teman-temannya sebanyak 8 orang yang menginginkan vaksin tak tahu ke mana dan bagaimana untuk mendapatkan vaksin. Program vaksinasi yang diadakan pemerintah, belum sanggup menjangkau mereka. Informasi tentang prosedur pendaftaran vaksinasi saat itu juga masih sangat terbatas, Suhartono tak tahu harus mengaksesnya di mana, apalagi tempat tinggal mereka jauh dari kota. Saat itu, kuota vaksin memang masih terbatas dan harus berebut dengan banyak orang.
Sampai suatu hari di bulan Februari 2021, salah seorang teman menghubungi Suhartono, mengabarkan bahwa masih tersedia kuota vaksin di program vaksinasi yang digelar di di Gedung Olah Raga (GOR) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). “Lokasi tempat vaksinasi saat itu, kalau dari tempat kami, sejauh 20 kilometer lebih. Jadi bolak-balik ya 40 kilometer,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai penyandang disabilitas yang kemana-mana butuh kursi roda dan kruk, jarak itu terdengar sangat jauh. Tetapi, mereka menyadari bahwa vaksinasi akan memberikan diri dan lingkungan sekitar mereka perlindungan lebih baik terhadap COVID-19, selain tetap melakukan protokol kesehatan. Mau tak mau, mereka harus mengalahkan jauhnya jarak.
“Akhirnya kami sewa dua mobil, satu untuk kami 8 orang disabilitas daksa, dan satu mobil lain khusus untuk mengangkut kursi roda. Jika kami hanya menyewa satu mobil saja, jelas tidak cukup,” jelas Suhartono.
Suhartono bekerja sebagai pengajar mode untuk para penyandang disabilitas. Foto: Dok. Nu Skin Indonesia
Di tempat vaksin, untungnya tak ada kendala berarti. Mereka berhasil mendapatkan vaksin COVID-19 dosis pertama yang membuat hari-hari setelahnya terasa lebih aman, paling tidak untuk sementara. Sebab, selanjutnya mereka harus mencari vaksin dosis kedua untuk menjaga imunitas tubuh terhadap COVID-19 tetap efektif.
ADVERTISEMENT
Jalan mencari vaksin kedua tak kalah rumit. Singkat cerita, Suhartono dan teman-temannya baru bisa mendapatkan vaksin dosis kedua setelah 8 bulan. “Dosis kedua kami dapat di Jogja Expo Center (JEC), yang sama jauhnya dibandingkan tempat pertama,” urainya.
Setelah mendapat dosis kedua, Suhartono dan teman-temannya mengira kalau mereka sudah aman. Tapi ternyata tidak. Mereka masih harus mencari vaksin dosis ketiga atau booster, bukan hanya untuk melindungi mereka dari Corona, tapi juga untuk bisa mengakses layanan dan tempat publik.
Saat ini, setelah sembilan bulan dari vaksinasi dosis kedua, mereka masih berjuang untuk mendapatkan vaksin dosis ketiga atau booster. Memang, akses terhadap vaksin sudah jauh lebih mudah ketimbang dua tahun lalu. Belum lama ini, Suhartono juga sudah menjalin komunikasi dengan puskesmas setempat. Dan dalam waktu dekat, puskesmas menjanjikan untuk menyediakan vaksinasi khusus untuk para penyandang disabilitas. “Tentu sangat membantu kalau puskesmas menyediakan vaksin untuk kami, jadi enggak harus jauh-jauh lagi ke kota,” kata Suhartono.
ADVERTISEMENT
Informasi dan Akses, Masalah Utama Penyandang Disabilitas Memperoleh Vaksin COVID-19
Suhartono. Foto: Dok. Nu Skin Indonesia
Kurangnya informasi, pesan-pesan tentang risiko COVID-19, dan akses terhadap program vaksinasi memang jadi kendala utama bagi penyandang disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk bisa menikmati manfaat vaksin.
Hal ini disampaikan oleh anggota Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Yogyakarta, Irmaningsih Pudyastuti. Masalah aksesibilitas terhadap vaksin - menurut Irma - memang merupakan masalah yang paling banyak ditangani oleh SAPDA.
Di samping permasalahan lain seperti fasilitas di tempat vaksinasi yang kurang inklusif, kurangnya pengetahuan petugas tentang bagaimana berkomunikasi dengan penyandang disabilitas, bahkan masih kerap ditemukan penyandang disabilitas yang belum memiliki identitas kependudukan seperti KTP. Hal itu membuat mereka semakin sulit mengakses layanan yang disediakan oleh pemerintah. “Para penyandang disabilitas kurang terpapar informasi dan memiliki keterbatasan akses fisik untuk bisa mencapai lokasi vaksin,” tukas Irma.
Irmaningsih Pujiastuti. Foto: Dok. Pribadi
Kasus yang dialami Suhartono dan teman-temannya di Pandak, tegas Irma, adalah contoh nyata bahwa informasi tentang vaksinasi belum bisa menjangkau penyandang disabilitas dengan baik, dan kemasan pesannya belum ramah bagi penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Jika informasi sudah disampaikan dengan baik, maka Suhartono dan teman-temannya mungkin tidak harus pergi bolak-balik sejauh 40 kilometer untuk mendapatkan vaksin. “Di fasilitas kesehatan setempat kan sebenarnya juga menyediakan layanan vaksin, tapi kenapa informasinya tidak sampai ke mereka?” lanjutnya.
Selain informasi, penyandang disabilitas sebenarnya juga membutuhkan layanan jemput bola dalam memperoleh vaksinasi. Sebab, tidak semua penyandang disabilitas bisa melakukan mobilitas dengan leluasa. Sebagian penyandang disabilitas juga tak punya pendamping dan tidak sedikit dari mereka yang tinggal seorang diri tanpa keluarga.
“Sangat disayangkan, mengapa Puskesmas yang lebih dekat dengan kediaman mereka, kok nggak ada jadwal untuk keliling - misalnya pakai ambulans - untuk menjangkau teman-teman disabilitas yang merupakan warga sekitar,” tutur Irma.
ADVERTISEMENT
Irma memahami, bahwa pusat layanan kesehatan juga memiliki keterbatasan sumber daya. Selain jumlah tenaga kesehatan yang terbatas, sebagian dari mereka juga belum memahami bagaimana berkomunikasi dengan penyandang disabilitas, misalnya bagaimana menggunakan bahasa isyarat. Di sisi lain, mereka juga dituntut untuk memenuhi target vaksinasi. Sehingga wajar jika layanan kesehatan lebih banyak mengejar vaksinasi untuk masyarakat umum lebih dulu ketimbang penyandang disabilitas.
Namun, bukan berarti tidak ada yang bisa dilakukan. Layanan kesehatan menurut Irma bisa berkolaborasi dengan komunitas atau LSM untuk bisa menjangkau penyandang disabilitas maupun kelompok rentan lain.
“Banyak kok komunitas atau LSM yang fokus dalam mengawal hak-hak penyandang disabilitas, pemerintah menurut saya bisa mengajak mereka untuk berkolaborasi,” kata Irma.
Ia juga menyoroti nasib penyandang disabilitas yang tinggal di luar Yogyakarta dengan kondisi geografis yang lebih sulit. Sebab, di Yogyakarta saja yang termasuk kota besar dan layanan untuk penyandang disabilitasnya sudah cukup baik, masih banyak hal yang harus diperbaiki ke depan.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, perlu pembenahan strategi komunikasi risiko dan alur informasi yang tepat dan cepat, khususnya bagi kelompok rentan, agar ketahanan kesehatan mereka tidak tertinggal dari kelompok masyarakat lainnya.