Lurah di Gunungkidul Bisa Kondangan 10 Kali Sehari, Sekali Kondangan Rp 100 Ribu

Konten Media Partner
27 September 2023 11:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi hajatan perkawinan di Jawa. Foto: indonesia.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hajatan perkawinan di Jawa. Foto: indonesia.go.id
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Biaya sosial seperti jagong atau kondangan menjadi perhatian Bupati Gunungkidul, Sunaryanta. Beban sosial itu terutama dirasakan oleh para perangkat kalurahan sebagai tokoh masyarakat, sebab mereka seperti wajib menghadiri setiap acara hajatan yang diadakan oleh warganya.
ADVERTISEMENT
Lurah Pacarejo, Semanu, yang juga Ketua Paguyuban Semar Gunungkidul, Suhadi, membenarkan bahwa secara nominal budaya jagong atau kondangan itu memang cukup berat bagi perangkat kalurahan.
Pada bulan-bulan tertentu, ia bahkan bisa menghadiri kondangan sampai 10 kali sehari.
“Kalau dipandang dalam konteks jumlah memang besar. Sehari bisa kondangan ke 10 tempat, artinya kalau satu tempat Rp 100 ribu sudah Rp 1 juta sehari,” kata Suhadi saat dihubungi, Selasa (26/9).
“Makanya besar sekali memang,” lanjutnya.
Namun tidak setiap hari ada jadwal kondangan. Biasanya, hajatan-hajatan seperti ini paling banyak dilakukan pada bulan Besar atau Dzulhijjah pada kalender Islam. Pada bulan ini memang dianggap sebagai bulan baik untuk menyelenggarakan hajat sehingga banyak orang menggelar hajatan.
ADVERTISEMENT
“Rata-rata sehari 10 tempat, paling sedikit delapan tempat,” kata dia.
Ilustrasi hidangan makan di acara pernikahan. Foto: medinacatering.id
Jika dihitung-hitung, nilai itu tentu tidak sebanding dengan gaji yang diterima oleh perangkat kalurahan. Sebab, gaji aparatur kalurahan di Gunungkidul berkisar sekitar Rp 2 juta sampai Rp 3 juta. Jika sehari harus kondangan di 10 tempat, maka dalam tiga hari saja gaji mereka dalam sebulan sudah ludes.
Hal ini menurut Suhadi sudah menjadi konsekuensi bagi seorang tokoh masyarakat. Sebab, setiap ada masyarakat yang memiliki hajat, pasti sebagai tokoh masyarakat dia selalu diundang.
“Kalau ada warga yang punya hajat, kami pasti dipunjung (diundang). Kalau sudah dipunjung, enggak mungkin kan kalau enggak kondangan,” ujar Suhadi.
Namun, jika dilihat dari konteks sosial, besarnya biaya untuk kondangan ini sebanding dengan terjaganya hubungan silaturahmi antara dia dan warga masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
"Tetapi kalau kita lihat dalam konteks sosial, besarnya anggaran yang kita keluarkan itu menjadi ringan. Kalau dipandang dalam konteks jumlah, ya berat, pasti," ujarnya.
Lurah Bendung, Kapanewon Semin, Gunungkidul, Didik Rubiyanto, mengatakan hal serupa. Dia juga mengatakan bahwa sebagai seorang tokoh masyarakat, hal-hal seperti itu tidak bisa dielakkan.
Pada bulan-bulan tertentu, dia juga bisa kondangan sebanyak enam sampai 10 kali dalam sehari.
“Rata-rata sekali kondangan ya Rp 100 ribu, kalau di luar desa ya Rp 50 ribu itu sudah pantas,” kata Didik Rubiyanto.
Ini belum termasuk sumbangan-sumbangan lainnya yang juga biasa ditemukan di tengah masyarakat. Misalnya sumbangan untuk orang meninggal, sumbangan melahirkan (mbayeni), dan sejenisnya.
“Walaupun ini kan sifatnya sukarela, meskipun kalau ditotal ya cukup besar juga nilainya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT