Kampung Santri Mlangi Jogja: Enggan Bikin Pasar Ramadan, Fokus Perbanyak Ibadah

Konten Media Partner
20 Maret 2024 17:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Masjid Pathok Negoro Mlangi saat Bulan Ramadan. Foto: Widi RH Pradana/Pandangan Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Pathok Negoro Mlangi saat Bulan Ramadan. Foto: Widi RH Pradana/Pandangan Jogja
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dusun Mlangi yang terletak di Gamping, Sleman, dikenal sebagai kampung santri. Ada 18 pondok pesantren dengan total sekitar 5.000 santri di dusun ini.
ADVERTISEMENT
Di Mlangi juga terdapat Masjid Pathok Negoro, salah satu masjid pilar Kasultanan Yogyakarta yang telah berdiri sejak masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono I, raja pertama Yogyakarta.
Meski begitu, perayaan Ramadan di Dusun Mlangi ternyata tak semeriah seperti banyak tempat lain terutama pada saat jelang berbuka puasa. Sekilas, sore hari di Dusun Mlangi pada Bulan Ramadan nyaris tak ada bedanya dengan hari-hari biasanya. Tak ada pasar kaget atau pasar Ramadan yang biasa jadi tempat berburu takjil.
Anak-anak di Masjid Pathok Negoro Mlangi setelah mengaji sore hari jelang berbuka puasa. Foto: Widi RH Pradana/Pandangan Jogja
Ketua Panitia Ramadan Masjid Pathok Negoro Mlangi, Musyafa, mengatakan alasan tak ada pasar Ramadan di Mlangi karena ribuan santri di sana sibuk dengan kegiatan di pondok mereka masing-masing. Begitu juga dengan masyarakat sekitar yang juga lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengaji dan belajar ilmu agama.
ADVERTISEMENT
“Biasanya kan mereka (kampung lain) membuat pasar kaget dan yang lain-lain. Tapi di Kampung Mlangi, mereka lebih mengutamakan pendalaman keilmuan agama,” kata Musyafa kepada Pandangan Jogja saat ditemui, Selasa (19/3).
Kegiatan keagamaan juga tidak terpusat, tapi dijalankan tersebar di masing-masing pondok. Meski begitu, di Masjid Pathok Negoro juga ada kegiatan kajian. Setelah Ashar ada kegiatan mengaji untuk anak-anak, lalu dilanjut kajian kitab untuk remaja dan dewasa hingga berbuka puasa.
Ketua Panitia Ramadan Masjid Pathok Negoro Mlangi, Musyafa. Foto: Widi RH Pradana/Pandangan Jogja
Bahkan setelah tarawih, masih dilanjut ngaji kitab kuning maupun tadarusan di Masjid Pathok Negoro hingga setengah 12 malam.
“Mereka akan lebih mendalami adat istiadat dan keilmuan daripada membikin pasar kaget seperti yang di kampung-kampung lain. Ramainya bukan ramai orang mencari takjil, tapi ramai orang mencari ilmu. Jadi di pondok-pondok pesantren itu, kajiannya akan lebih intens dibanding hari-hari biasanya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kegiatan buka bersama di Masjid Pathok Negoro juga tidak terlampau ramai, tidak sampai terjadi antrean jemaah yang berdesak-desakan untuk mendapat takjil. Setiap hari hanya ada sekitar 100-an jemaah yang ikut berbuka di sana. Takjil yang dihidangkan setiap hari merupakan bantuan dari warga setempat, sehingga masjid tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk menyiapkan hidangan berbuka.
Menu berbuka puasa di Masjid Pathok Negoro Mlangi. Foto: Widi RH Pradana/Pandangan Jogja
Puncak kemeriahan menurutnya justru akan terjadi pada malam ke-17 Ramadan atau kerap disebut malam pitulasan. Pada malam Nuzulul Quran ini, biasanya akan ada ribuan orang yang datang ke Mlangi untuk berselawat.
“Nanti kita akan ada budaya selawatan di Masjid Pathok Negoro. Selawat khas Mlangi, itu (sekawat) dengan nada yang cukup tinggi. Kemudian ada selawat Jawa dengan rebana Jawa dari tempo pelan sampai cepat. Itu sekarang cukup diminati beberapa anak muda untuk mengkaji adat budaya,” ujar Musyafa.
ADVERTISEMENT