Diduga Ada Jual Beli Kursi SMP Negeri, Ratusan Siswa SD di Bantul Jadi Korban

Konten Media Partner
27 September 2022 14:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Metodenya, kuota pendaftaran dikurangi tapi di tengah tahun ajar dibuka kembali.
Ilustrasi jadwal pelajaran SD untuk kelas 1 sampai 6. Foto: unsplash.com/bayusyaits
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menemukan sejumlah pelanggaran yang terjadi selama pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2022 di DIY. Salah satu pelanggaran yang ditemukan oleh ORI DIY adalah adanya pengurangan kuota atau jumlah siswa dalam satu rombongan belajar (rombel) yang terjadi di semua SMP Negeri Kabupaten Bantul.
ADVERTISEMENT
Hal itu mengakibatkan ratusan anak yang baru saja tamat dari sekolah dasar (SD) tak bisa melanjutkan ke SMP Negeri. ORI DIY mencatat, total ada 270 anak yang tidak bisa melanjutkan ke SMP negeri akibat kebijakan pengurangan kuota tersebut.
“Setidaknya 270 anak kehilangan haknya untuk sekolah di sekolah negeri di Bantul dikarenakan kebijakan tersebut,” kata Ketua ORI DIY, Budhi Masthuri, saat melakukan Ekspose Hasil Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan PPDB DIY, Senin (27/9).
Budhi Masthuri menjelaskan bahwa dari informasi yang ORI peroleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bantul, alasan mereka mengurangi jumlah siswa di semua SMP negerinya untuk memberikan jatah kepada sekolah-sekolah swasta, supaya mereka juga bisa mendapatkan siswa dalam jumlah yang cukup.
ADVERTISEMENT
“Kami juga tidak tahu, kayak berkepentingan sekali dengan swasta,” lanjutnya.
Ketua ORI Perwakilan DIY, Budhi Masthuri, saat menggelar jumpa pers Senin (26/9). Foto: Widi Erha Pradana
Menurutnya, kebijakan itu dilakukan karena adanya aturan yang membolehkan jumlah siswa kurang dari 32 atau 36 untuk menjadi satu rombel. Padahal, aturan itu dibuat untuk mengakomodir sekolah-sekolah yang kesulitan mendapatkan siswa. Sehingga misalnya mereka hanya mendapat 25 siswa, mereka masih tetap bisa dijadikan satu rombel.
“Bukan buat sekolah yang siswanya terpenuhi, kemudian malah mengurangi jumlah siswanya. Kan artinya ada siswa yang akan tersingkir,” ujarnya.
Namun, kuota ini pada pertengahan tahun bisa diisi melalui jalur perpindahan siswa. Sebab, syarat siswa bisa pindah mesti sudah memiliki rapor lebih dulu. Padahal, pada awal PPDB, kuota kursi yang tersedia ini tidak diumumkan oleh sekolah.
ADVERTISEMENT
“Perpindahan ini yang rawan, bisa diperjual-belikan,” kata dia.
Apalagi praktik-praktik kolusi untuk mendapatkan kursi, terutama di sekolah-sekolah unggulan menurutnya juga masih cukup banyak ditemui di DIY. Pada PPDB tahun ini, ORI DIY menemukan masih terjadi praktik kolusi di tiga sekolah dengan jumlah kursi yang diperjual-belikan mencapai 11 kursi.
“Ada salah satu pegawai dari instansi vertikal di bawah Kemendikbud yang meminta langsung kursi ke kepala sekolah, ada juga jaksa dan polisi,” kata Budi Masthuri.
Selain pengurangan jumlah siswa dan praktik kolusi tersebut, ORI DIY juga menemukan sejumlah pelanggaran lain selama pelaksanaan PPDB di DIY, mulai dari penjualan seragam dengan mark up keuntungan oleh sekolah, perjokian wali murid, hingga praktik pungutan liar (pungli).
ADVERTISEMENT
Karena itu, ORI DIY meminta kepada pemerintah untuk melakukan evaluasi secara berkala terhadap petunjuk teknis dan pelaksanaan PPDB, setidaknya 6 bulan sebelum pelaksanaan PPDB berikutnya dengan melibatkan multi-stakeholder. Pemerintah juga mesti tegas kepada sekolah yang terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan PPDB.
“Praktik-praktik pelanggaran itu bisa dijadikan komponen penilaian akreditasi sekolah, sehingga sekolah yang melakukan pelanggaran bisa diturunkan akreditasinya,” tegasnya.