Derita Penyandang Disabilitas Korban Perkosaan: Pengin Seks Terus

Konten Media Partner
20 April 2022 20:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ekspresi pengin seks terus itu di antaranya korban jadi suka menggesek-gesekkan alat kelaminnya ke suatu tempat, meski sebenarnya tak paham dengan apa yang dia lakukan.
Ilustrasi pelecehan seksual. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Rifka Annisa Women’s Crisis Center (RAWCC), Yogyakarta, sebuah lembaga yang fokus mengawal dan menangani kasus kekerasan terhadap perempuan mencatat ada tiga aduan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan dan pemerkosaan pada tahun 2021 kemarin. Bahkan salah satu korban adalah penyandang autisme dengan beberapa penyerta yang usianya masih tujuh tahun.
ADVERTISEMENT
Korban yang masih anak-anak tersebut mendapatkan kekerasan dalam bentuk kekerasan fisik oleh terapisnya yang berusia 30 tahun. Sedangkan dua korban lain berusia masing-masing 26 tahun dan 28 tahun, keduanya mengalami pemerkosaan oleh tetangganya sendiri, yang usianya masing-masing 63 tahun dan 40 tahun. Kedua korban merupakan penyandang mental defective.
Manager Program Pendampingan Rifka Annisa, Indiah Wahyu, mengatakan bahwa perkosaan yang dialami oleh penyandang disabilitas tersebut membuat kondisi mental mereka semakin terpuruk. Meski secara kognitif mereka kurang cakap, namun mereka memaknai kekerasan seksual tersebut sebagai sesuatu yang menimbulkan kemarahan.
Misalnya saat didekatkan dengan stimulus-stimulus yang mengingatkan pada kejadian tersebut, misalnya foto pelaku, dia akan menunjukkan reaksi marah.
“Artinya, walaupun dia tidak paham secara kognitif apa yang terjadi pada dia, tapi itu adalah sesuatu yang tidak nyaman bagi dia,” kata Indiah Wahyu dalam peluncuran Catatan Tahunan Wajah Kekerasan 2021, di Yogyakarta, Rabu (20/4).
Manager Program Pendampingan Rifka Annisa, Indiah Wahyu. Foto: Dok. Pribadi
Dampak lebih buruk juga dialami oleh salah satu korban, dimana dia berubah menjadi berperilaku seksual aktif, dalam artian suka menggesek-gesekkan alat kelaminnya ke suatu tempat. Meski menginginkan sex namun sebenarnya dia tak paham dengan apa yang dia lakukan, karena itu semua hanyalah respons dari tubuhnya atas perkosaan yang dia alami.
ADVERTISEMENT
“Hal ini membutuhkan terapi khusus dan itu timbul biaya. Jadi dia sudah jadi korban kekerasan seksual, harus membayar terapi agar perilakunya bisa beradaptasi secara sosial kembali,” lanjutnya.
Korban lain bahkan sampai mengalami kehamilan. Hal itu tentu jadi pekerjaan rumah yang berat, mengingat kecakapannya tentu tidak cukup untuk mengasuh anaknya kelak.
Direktur LSM Sigab, Suharto, mengatakan bahwa sepanjang krisis pandemi kasus kekerasan seksual yang dialami oleh penyandang disabilitas memang mengalami peningkatan. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), menemukan 80 persen responden penyandang disabilitas menyatakan bahwa mereka mengalami pelecehan seksual sepanjang pandemi ini.
“Bahkan 15 persen di antaranya pernah diperkosa, dan 10 persen dieksploitasi secara seksual,” kata Suharto dalam kesempatan yang sama.
Foto: Dok. Sigab
Sebelum pandemi saja, United Nations Population Fund for Population Activities (UNFPA) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual yang dialami oleh penyandang disabilitas sudah cukup tinggi. Bahkan disebutkan bahwa risiko seorang penyandang disabilitas mengalami kekerasan seksual mencapai 10 kali lebih tinggi ketimbang bukan penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
“Masalahnya adalah di Indonesia kasus kekerasan itu seperti puncak gunung es, kelihatan sedikit padahal sebenarnya banyak karena seringkali kasus-kasus ini tidak dilaporkan dan tidak diproses hukum,” ujarnya.
Penelitian dari HWDI misalnya, menemukan bahwa hanya sekitar separuh atau 50 persen saja dari kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan sampai ke tahap peradilan. Parahnya lagi, karena kesaksian korban seringkali berubah-ubah, hal itu membuat kesaksiannya dianggap tidak konsisten dan tidak valid.
“Yang kemudian tidak hanya penghentian kasus, bahkan seringkali kemudian dibelokkan ke pencemaran nama baik kepada pelaku,” kata Suharto.
Kekerasan seksual juga menjadi kasus yang paling banyak menimpa penyandang disabilitas yang sedang mendapatkan pendampingan hukum oleh LSM Sigab. Periode 2021/2022 ini, dari 27 kasus yang didampingi, kasus kekerasan seksual di posisi pertama dengan 11 kasus, kemudian diikuti oleh KDRT dengan 10 kasus, sementara sisanya seperti perebutan warisan, penganiayaan, atau peredaran narkoba.
ADVERTISEMENT