Cerita Gudeg Yu Djum, Jogja (1): Ada Menantu yang Kenyang Dimarahi Setiap Hari

Konten Media Partner
20 November 2021 18:56 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gudeg dan telur bebek pindang di etalase rumah makan Gudeg Yu Djum yang sedang akan dikemas, Rabu (8/9). (Pandangan Jogja/Danang Bakti)
zoom-in-whitePerbesar
Gudeg dan telur bebek pindang di etalase rumah makan Gudeg Yu Djum yang sedang akan dikemas, Rabu (8/9). (Pandangan Jogja/Danang Bakti)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengupas dan mencacah buah nangka muda sudah beres. Punggungnya sebenarnya sudah pegal setengah mati, tapi pekerjaan lain sudah menanti, pekerjaan yang akan lebih menyiksa tulang punggungnya. Di dalam ruangan dengan cahaya seadanya dari sebuah lampu temaram dan percikan api dari tungku, Tri Widodo harus lanjut memarut kelapa. Celaka, matanya sudah mulai mengantuk, lengah sedikit saja jarinya bisa jadi korban ketajaman gigi-gigi parutan.
ADVERTISEMENT
Tapi tetap saja, rasa kantuk tak bisa dia tahan. Kadang dia mencuri-curi untuk memejamkan matanya sebentar dengan menyandarkan kepala ke sebuah tiang kayu tua di tengah dapur. Tapi, tangannya tetap bergerak naik dan turun di permukaan parutan.
Melihat Tri Widodo sudah terkantuk-kantuk, Djuwariyah atau orang-orang biasa memanggilnya Yu Djum, merasa iba. Yu Djum yang sedari tadi memang berada di belakang Widodo, menyuruhnya untuk istirahat.
Turuo sik, le (tidur dulu saja, nak),” kata Yu Djum kepada Tri Widodo, 45 tahun silam.
Tri Widodo (65) sedang menceritakan pengalamannya belajar membuat Gudeg Yu Djum, Rabu (8/9). (Pandangan Jogja/Danang Bakti)
Itulah suara yang paling dinanti-nanti oleh Tri Widodo sejak tadi. Lelahnya sudah tak tertahan, apalagi kantuknya, tapi dia tidak berani minta izin untuk istirahat kepada Yu Djum, yang tidak lain adalah calon mertuanya. Ya, Tri Widodo adalah calon mantunya, saat itu dia sedang berpacaran dengan Hariyani yang tidak lain adalah anak sulung Yu Djum.
ADVERTISEMENT
Bajunya sudah basah oleh keringatnya sendiri, juga kening dan kumis tipisnya. Udara dingin malam itu kalah dengan nyala api di tungku dapur Yu Djum yang hampir tak pernah padam. Tri Widodo beranjak, menuju ke tempat tidurnya yang hanya berupa dipan dan tikar dengan langkah gontai. Akhirnya, punggungnya yang rasanya sudah seperti mau copot itu bisa istirahat juga.
“Alhamdulillah,” kata Tri Widodo sembari merebahkan punggungnya diikuti derit suara dipan tua tempatnya mengistirahatkan tubuh setelah seharian bergulat dengan nangka, ayam, telur, dan teman-temannya.
Waktu tidurnya memang tak pernah lama. Dalam semalam, paling dia hanya tidur selama dua jam. Sisanya, dia hanya tidur ayam di tengah membantu Yu Djum membuat gudeg. Baginya, yang terpenting bukanlah seberapa lama tidur, tapi bagaimana membuat tidur yang sebentar itu berkualitas sehingga tetap cukup untuk membuat tubuhnya bugar lagi.
Masakan ayam yang sedang dipanaskan di atas tungku dapur Gudeg Yu Djum, Rabu (8/9). (Pandangan Jogja/Danang Bakti)
Rasanya baru saja dia memejamkan mata, ketika dia mendengar suara Yu Djum membangunkannya. Tri Widodo langsung beranjak, bergegas menemui Yu Djum sembari masih menguap dan mengucek kedua matanya. Widodo tak mau Yu Djum marah, ini masih terlalu pagi, hari baru saja mau dimulai, dan dia tidak mau moodnya sudah rusak duluan.
ADVERTISEMENT
Yu Djum memang dikenal sebagai sosok perempuan yang keras, bahkan tidak salah jika disebut galak. Widodo sudah kenyang dimarahi olehnya, nyaris setiap hari. Selalu saja ada hal-hal yang membuat Yu Djum marah. Seperti ketika Widodo kurang bersih dalam membersihkan daging ayam, mengupas nangka, atau saat Yu Djum melihat masih ada sisa-sisa kulit pada telur bebek yang telah direbus. Tapi, Widodo harus tahan, jika tidak dia bukan hanya akan kehilangan pekerjaannya, tapi bisa juga kehilangan cintanya kepada Hariyani yang saat itu masih kuliah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY).
Satu-satunya hiburan Widodo saat itu adalah bermain bulutangkis di halaman rumah setiap ada waktu senggang bersama Suwandi, suami Yu Djum yang tidak lain adalah ayah mertuanya sendiri. Berbeda dengan Yu Djum, Suwandi adalah sosok yang lembut dan sangat akrab dengan Widodo.
ADVERTISEMENT
“Kalau sama bapak, gini saya,” ujar Tri Widodo sambil mengaitkan kedua jari telunjuknya, beberapa waktu lalu di Warung Gudeg Yu Djum Pusat; akrab sekali seperti sama teman. Warung pertama Gudeg Yu Djum ini berada di daerah Barek, belakang Fakultas Kehutanan UGM, Jalan Kaliurang Km. 4,5.
Ayam telah siap untuk dihidangkan. Foto: Pandangan Jogja/Danang Bakti
“Simbok (Yu Djum) memang orangnya keras, tegas. Tapi tujuannya sebenarnya baik, Simbok juga sebenarnya penyayang orangnya, saya juga baru paham setelah dewasa,” lanjutnya.
Saat ini, usia Widodo sudah 65 tahun, dan tentu telah resmi menjadi mantu pertama Yu Djum dan dikaruniai tiga orang anak. Sebenarnya tak hanya Widodo yang diajari oleh Yu Djum untuk memasak gudeg, tapi semua anak dan mantunya. Mulai dari mengupas dan mencacah nangka, memarut kelapa, membersihkan ayam, sampai membuat racikan bumbu dan cara memasaknya.
ADVERTISEMENT
Namun karena menantu pertama, Widodo lah yang paling merasakan bagaimana kerasnya didikan Yu Djum. Tak berhenti di generasi kedua, kini ketiga anak Widodo juga telah memiliki warung gudeg semua.
“Dan semua menjalani ospek yang sama. Harus bisa ngupas nangka, bisa marut kelapa semua.”
Detail, Otentik, dan Anti Kalengan
Pengunjung yang sedang menyantap hidangan di rumah makan Gudeg Yu Djum, Rabu (8/9). (Pandangan Jogja/Danang Bakti)
Bagi Yu Djum, tak ada toleransi untuk urusan rasa. Dia tak pernah melewatkan detail-detail bumbu dan bahan membuat gudeg, sekecil apapun. Itu mengapa ketika Widodo melakukan kesalahan sedikit saja, Yu Djum akan langsung memarahinya.
Tak hanya kepada anak dan menantunya, Yu Djum juga tak segan memarahi penjual bahan-bahan gudeg yang memberinya bahan jelek. Ayam kampung yang dibeli harus yang gemuk dan sehat. Telur bebek juga harus yang besar-besar. Kalau ada telur yang kecil, dia akan memilah dan mengembalikan lagi ke penjualnya.
ADVERTISEMENT
“Makanya enggak ada penjual di pasar itu yang berani nawarin bahan yang jelek sama simbok,” kata Widodo.
Satu hal yang haram bagi Yu Djum adalah penggunaan bahan-bahan kimia buatan, baik untuk pengawet maupun perasa. Anak dan cucunya pernah meminta izin untuk membuat Gudeg Yu Djum dalam kemasan kaleng supaya bisa dijual jauh ke luar kota tanpa khawatir basi. Tapi dengan tegas Yu Djum melarang.
“Silakan kalau mau bikin, tapi jangan pakai nama Yu Djum,” lanjutnya.
Yu Djum, kata Widodo, bukan anti pada inovasi. Sebaliknya, Yu Djum ingin menjaga otentisitas rasa Gudeg Yu Djum. Sebab, meski dibuat dengan cara dan bahan yang sama, rasa gudeg kalengan akan jauh berbeda. Perbedaan rasa itulah yang dikhawatirkan akan membuat pelanggan-pelanggan mereka kecewa.
ADVERTISEMENT
Meski tanpa pengawet buatan, tapi Gudeg Yu Djum termasuk paling tahan lama. Kekuatannya bisa mencapai 24 jam, tanpa lemari pendingin. Padahal, banyak gudeg yang dalam beberapa jam saja sudah berlendir dan mulai basi.
“Rahasianya karena kita masaknya itu lama di atas api, setelah itu masih kita goreng pakai minyak dari ayam sama santan, itu kan minyaknya banyak,” ujarnya.
Tak Ada Resep Rahasia
Salah satu pegawai Gudeg Yu Djum sedang memasak di dapur, Rabu (8/9). (Pandangan Jogja/Danang Bakti)
Orang mungkin berpikir ada resep rahasia yang dimiliki Gudeg Yu Djum. Tapi, Widodo langsung menyanggahnya. Tidak ada yang dirahasiakan dari dapurnya. Semua orang yang datang, boleh masuk ke dapurnya dan dengan senang hati dia akan menceritakan bagaimana membuat Gudeg Yu Djum dan apa saja bumbunya.
Bahkan, tidak sedikit karyawan yang sudah lama bekerja di sana lalu keluar dan membuka warung sendiri. Widodo tak pernah mempersoalkan, apalagi melarangnya. Meskipun nantinya mereka akan jadi kompetitornya.
ADVERTISEMENT
“Masalah rezeki enggak usah dipusingkan, kalau sudah rezeki kita enggak akan ke mana, yang penting kerja saja sebaiknya,” ujarnya.
Membuat Gudeg Yu Djum juga bukan tentang apa saja bumbu dan seberapa banyak porsi masing-masing. Tak ada takaran paten, seberapa banyak ayam, nangka, atau bumbu-bumbu yang harus dimasukkan.
Karena itu, jangan harap karyawan-karyawan baru bisa langsung dapat tugas untuk memasak dan meracik bumbu gudeg. Mereka harus memulai dari pekerjaan-pekerjaan paling sederhana seperti mengupas dan mencacah nangka, membersihkan ayam, atau memarut kelapa. Perlahan, nanti mereka akan belajar dari senior-seniornya bagaimana memasak gudeg yang baik, berapa banyak bumbu yang mesti dimasukkan, hingga lidah mereka hafal bagaimana rasa Gudeg Yu Djum sampai detail-detailnya.
“Semuanya soal rasa, bukan hitung-hitungan atau hafalan,” ujarnya.
Salah satu outlet Gudeg Yu Djum di Jalan Adisutjito, Yogyakarta. Foto: Koleksi Gudeg Yu Djum
Meski dididik dengan keras oleh Yu Djum, tapi dia cara itu menurutnya tak bisa diterapkan kepada karyawan-karyawannya. Apalagi karyawan-karyawan muda yang baru beberapa tahun bekerja di tempatnya. Zaman sudah berubah, pun dengan orang-orangnya. Maka, cara mendidik pun perlu berubah.
ADVERTISEMENT
Widodo lebih suka cara-cara yang akrab. Dia tak ingin kehadirannya nanti justru memberikan tekanan kepada setiap karyawan. Sebaliknya, dia ingin kehadirannya justru dinantikan.
“Kesejahteraan karyawan memang yang paling kami utamakan, karena tanpa mereka kita enggak bisa apa-apa, enggak mungkin bisa sampai sebesar ini,” kata Tri Widodo.
Yu Djum kini jadi salah satu brand gudeg paling popular di Jogja yang juga jadi salah satu brand paling banyak diburu sebagai oleh-oleh wisatawan di Yogyakarta. (Widi Erha Pradana / YK-1)
*Ini adalah seri pertama dari 2 seri tulisan Gudeg Yu Djum, Jogja. Simak seri kedua: