Bukan Gajah, Asal Usul Nama Kabupaten Sleman Adalah Randu Alas

Konten Media Partner
29 Desember 2021 14:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gajah sebagai asal usul nama Kabupaten Sleman. Ilustrasi oleh: ESP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gajah sebagai asal usul nama Kabupaten Sleman. Ilustrasi oleh: ESP
ADVERTISEMENT
Selama ratusan tahun, gajah dipercaya menjadi asal usul dari Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Konon, berdasarkan cerita turun temurun di tengah masyarakat, nama Sleman berasal dari kata Saliman, dimana Liman berarti gajah. Ketika wilayah Sleman masih berupa hutan belantara, ditemukan sebuah patung gajah beserta dua anaknya yang di tempat yang kini menjadi Lapangan Denggung. Konon, gajah itu merupakan tunggangan Sultan Hadiwidjaya.
ADVERTISEMENT
Namun, Filolog Jawa Kuna dan Sansekerta dari FIB UGM, KRT. Manu J. Widyaseputra, mengatakan bahwa asal usul Sleman bukanlah gajah, melainkan randu alas. Kata Saliman, menurutnya tercatat di Kakawin Ramayana, yang ditulis pada masa Mataram Kuno, tepatnya ketika dipimpin oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan. Dalam Kakawin Ramayana, saliman adalah kata yang merujuk pada pohon randu alas (bombax ceiba), bukan gajah.
“Makanya sampai sekarang banyak pohon randu alas tua, dari utara sana sampai ke selatan seperti di Imogiri, yang ketika Makam Raja-Raja dibangun, usianya sudah 100 tahun lebih,” kata KRT Manu ketika ditemui di kediamannya, Kamis (23/12).
Pohon randu alas di Cibuk Lor, Sayegan, Sleman. Foto: Widi Erha Pradana.
Secara harfiah, kata Saliman sebenarnya berarti api. Hal itu karena ketika berbunga, daun randu alas akan gugur semua dan digantikan oleh bunga yang berwarna merah seperti api. Itu mengapa, pohon randu alas saat itu banyak ditanam di areal makam, sebab pada masa itu semua orang yang meninggal akan dibakar.
ADVERTISEMENT
Pohon-pohon randu alas tersebut ditanam oleh para brahmana, atau para intelektual pada masa itu. Selain di makam, pohon randu alas juga selalu ditanam di asrama para brahmana, yang berfungsi sebagai tempat belajar sekaligus pemujaan terhadap para Dewa.
“Asrama itu selalu ada di dekat sungai, di hutan, dan di gunung berapi, ketiga itu harus ada. Dan Semuanya itu memang ada di Yogyakarta,” lanjutnya.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada saat itu memang menjadi pusat para intelektual atau brahmana, sebelum masuk Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-17. Mataram Kuno, saat itu hanya sampai di daerah Medang atau wilayah Muntilan sekitar Candi Borobudur, tak pernah sampai ke selatan di DIY. Disebut Medang, karena saat itu di daerah tersebut terdapat banyak pohon medang, sedangkan di sebelah selatan banyak pohon saliman atau randu alas yang fungsinya lebih untuk pemujaan terhadap dewa-dewa.
ADVERTISEMENT
“Jauh sebelum Kerajaan Mataram islam, Saliman sudah ada, istilah itu sudah ditulis di Kakawin Ramayana,” ujarnya.
Pada zaman dahulu, brahmana menempati posisi strategis di dalam kerajaan. Meski tak menduduki jabatan struktural di kerajaan, namun merekalah yang mengendalikan bagaimana seharusnya kerajaan dijalankan. Merekalah yang mewujudkan kejayaan pada masa Mataram Kuno, Majapahit, bahkan sampai era Sriwijaya.
“Raja itu hanya seperti pion yang dijalankan oleh para brahmana, para intelektual, sehingga mereka bisa jaya betul. Kalau sekarang kan yang mengendalikan peradaban ya ekonomi, bakul,” kata KRT Manu. (Widi Erha Pradana / YK-1)