Betapa Lama dan Mahalnya Biaya Mengembalikan Sifat Asli Satwa Liar

Konten Media Partner
9 Februari 2021 16:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Primata yang sedang menjalani rehabilitasi di WRC Jogja. Foto: Koleksi WRC.
zoom-in-whitePerbesar
Primata yang sedang menjalani rehabilitasi di WRC Jogja. Foto: Koleksi WRC.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seperti namanya, sudah semestinya satwa liar hidup di alam liar. Tapi nyatanya, masih banyak orang yang memelihara satwa liar. Padahal, untuk mengembalikan satwa liar yang sudah sempat dipelihara ke habitat aslinya lagi bukan pekerjaan mudah, butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan Indonesian Center of Environmental Law (ICEL), jumlah kasus kejahatan satwa liar dilindungi di Indonesia dalam kurun waktu 2015 sampai 2018 masih tinggi.
Pada 2015, jumlah kasus kejahatan satwa liar dilindungi yang tercatat ada 106 kasus, pada 2016 120 kasus, pada 2017 naik menjadi 225 kasus, serta pada 2018 sedikit menurun menjadi 169 kasus.
Dari total 451 kasus yang terjadi sepanjang 2015 sampai 2017, kasus perdagangan satwa liar paling mendominasi sebesar 166 kasus atau 37 persen, diikuti kasus penyelundupan sebanyak 149 kasus atau 33 persen. Dari data itu menunjukkan bahwa tingkat pemeliharaan satwa liar dilindungi di Indonesia masih tinggi.
Direktur Center of Protection (COP) Orangutan, Daniek Hendarto, mengatakan bahwa sebelum dilepasliarkan ke habitat semula, satwa liar harus menjalani masa rehabilitasi yang lama dan memakan banyak biaya. Ditambah lagi dengan kerugian ekologi akibat hilangnya satwa liar tersebut di habitatnya.
ADVERTISEMENT
“Kerugian dari pengambilan satwa liar dari habitatnya itu luar biasa besar. Dan tidak banyak yang menyadari itu sehingga kejahatan terhadap satwa liar terus terjadi,” ujar Daniek Hendarto ketika dihubungi beberapa waktu lalu.
Manajer Konservasi Wildlife Rescue Center (WRC) Jogja, Reza Dwi Kurniawan mengatakan proses rehabilitasi satwa liar bisa bertahun-tahun lamanya. Di WRC Jogja, ada orangutan dan siamang yang sudah menjalani masa rehabilitasi lebih dari 10 tahun.
Lamanya masa rehabilitasi sangat dipengaruhi oleh kondisi satwa ketika datang. Semakin lama satwa pernah hidup dengan manusia, maka proses rehabilitasi akan semakin lama untuk menghilangkan trauma dan mengembalikan lagi sifat liarnya.
“Semakin lama satwa harus direhabilitasi, maka akan semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Di WRC Jogja, biaya operasional yang dikeluarkan untuk merehabilitasi 152 satwa mulai dari primata, beruang, raptor, kakatua, sampai reptil, mencapai angka Rp 100 juta tiap bulan,” papar Reza di WRC Jogja, Kamis (4/2).
ADVERTISEMENT
Untuk satwa-satwa yang habitat aslinya bukan di Jawa seperti beruang, orangutan, siamang, atau owa, sebelum dilepasliarkan harus ditranslokasi ke pusat rehabilitasi yang ada di habitat aslinya di Sumatera dan Kalimantan.
“Dan itu tentu biaya akan semakin besar lagi, karena ditambah biaya pengiriman satwa ke sana, perawatan di pusat rehabilitasi yang baru, sampai pelepasliaran,” ujarnya.
Mengembalikan Sifat Liar
Elang yang sedang direhabilitasi di WRC. Foto: koleksi WRC.
Satwa yang sudah terlampau jinak sangat sulit untuk diliarkan lagi. Misalnya ada beberapa ekor kakatua yang ada di WRC Jogja yang sudah bicara. Dalam kondisi bisa bicara seperti itu, tidak mungkin untuk dilepasliarkan ke alam. Dan untuk membuat mereka normal lagi layaknya satwa liar, akan memakan waktu yang sangat lama.
Raptor atau elang yang sudah terlalu lama dipelihara juga akan kehilangan sifat liarnya. Insting berburunya melemah, sehingga akan kesulitan mencari makan ketika langsung dilepasliarkan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengembalikan sifat liarnya, elang diberi pakan berupa mencit atau tikus putih yang masih hidup. Tujuannya, untuk melatih elang berburu mangsanya. Ketika dia menerkam dan memangsa tikus itu di tanah, maka dia belum siap ditempatkan di kandang yang lebih luas lagi. Tapi ketika dia membawa mangsanya ke dahan buatan, artinya dia sudah mengalami perkembangan dan siap untuk dipindahkan ke kandang yang lebih besar.
Di kandang yang lebih besar, elang akan terus dilatih untuk mengembalikan lagi sifat liarnya. Perkembangannya terus dicatat setiap hari, sampai dia siap untuk dipulangkan ke habitat aslinya.
Proses rehabilitasi pada primata lebih sulit, pasalnya mereka akan mempelajari apa ada di lingkungannya. Karena setiap hari bertemu dengan keeper atau penjaga, mereka akan mengamati dan mempelajari apa yang dilakukan oleh penjaga. Orangutan adalah yang paling ahli untuk urusan ini, dan itu membuatnya semakin sulit ditangani.
ADVERTISEMENT
“Jadi dia bisa belajar caranya buka gembok karena lihat keeper setiap hari,” ujar Sujarwo, koordinator animal keeper di WRC Jogja.
Pernah dulu orangutan di WRC mendapatkan tongkat besi dari luar kandang, lalu menggunakannya untuk mencongkel gembok sampai gemboknya patah. Pernah juga dia mengambil kunci dari keeper yang bertugas, lalu mencoba membuka gembok kandangnya seperti yang dilakukan oleh keeper tiap hari.
“Dia coba untuk buka, jadi kuncinya dimasukkan ke gembok meskipun kuncinya salah ya, tapi dia belajar,” ujarnya.
Risiko petugas yang menangani satwa liar juga tidak bisa diremehkan. Setiap satwa memiliki karakter masing-masing, dan petugas harus paham jika tidak mau celaka. Ada beberapa satwa yang terlihat sangat akrab dan jinak, tapi ketika petugas lengah dia bisa dengan sangat cepat menarik dan menggigitnya.
ADVERTISEMENT
“Kena gigit, kena cakar. Kalau udah kayak gitu minimal jahit (luka), ada yang sampai hilang ruas jari,” kata Sujarwo. (Widi Erha Pradana / YK-1)