Hajat Besar Para Pencinta Burung se-Indonesia, Asian Waterbird Census 2021

Konten dari Pengguna
20 Januari 2021 14:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilistrasi burung air. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilistrasi burung air. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Para pencinta burung di tanah air mengawali tahun 2021 dengan hajat besar, yakni Asian Waterbird Census (AWC) 2021. AWC merupakan agenda pemantauan dan pendataan burung air tahunan yang bersifat sukarela dengan Wetlands International sebagai koordinatornya.
ADVERTISEMENT
Kegiatan ini diadakan sejalan dengan sensus internasional yang meliputi wilayah Afrika, Eropa, dan Amerika di bawah naungan International Waterbird Census (IWC). Di Indonesia, sensus ini dikoordinasi oleh Wetlands International Indonesia. Tahun ini, Wetlands Indonesia juga bekerja sama dengan sejumlah komunitas lain di antaranya Burungnesia, Burung Indonesia, serta EKSAI Foundation.
Biasanya, kegiatan ini secara global selalu dilakukan setiap pekan kedua dan ketiga bulan Januari. Namun tahun ini dilaksanakan sejak Desember sampai Februari nanti. Sedangkan di Indonesia, AWC 2021 dilaksanakan pada Januari hingga Februari.
Koordinator Pelaksana AWC 2021 yang juga Senior Policy and Communication Officer Wetlands International Indonesia, Ragil Satrio Gumilang, mengatakan bahwa pemantauan bisa dilakukan di manapun di seluruh Indonesia asalkan di terdapat burung air.
ADVERTISEMENT
“Karena basisnya kan sukarelawan, jadi di mana saja yang penting ada burung air, tidak ada lokasi khusus yang sudah ditetapkan,” ujar Ragil ketika dihubungi, Selasa (19/1).
Kendati demikian, ada lokasi-lokasi penting yang selalu disampaikan kepada kontributor, yakni lokasi dengan jumlah burung air yang signifikan atau tempat singgah burung air migran. Misalnya ada di Taman Nasional Wasur di Papua, atau di Pantai Trisik di Yogyakarta.
Tahun ini, pelaporan data juga sudah bisa dilakukan secara digital menggunakan aplikasi Burungnesia, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang hanya dilakukan secara konvensional. Dengan adanya inovasi baru serta semakin banyak pihak yang terlibat, harapannya dapat meningkatkan efektivitas pemantauan dan menjaring lebih banyak orang untuk terlibat.
“Karena ini sifatnya sukarelawan, maka ini diperlukan kerja sama bareng-bareng. Harapannya kolaborasi ini juga bisa memantik berkembangnya citizen science,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kondisi Burung Air Indonesia
Kegiatan pengamatan burung air. Foto: dokumen Wetlands Indonesia.
Dari catatan Wetlands Indonesia, ada sekitar 200 spesies burung air di Indonesia. Namun menurut Ragil, masih banyak spesies tidak terlaporkan kondisinya setiap dilaksanakan AWC setiap tahun.
“Ada sekitar 32 persen yang tidak terlaporkan saat kegiatan AWC. Jadi dalam empat tahun terakhir yang terlaporkan dalam AWC hanya 133 jenis,” ujar Ragil Satrio.
Tingginya angka spesies yang tidak terlaporkan ini berkaitan dengan jumlah relawan dan sebaran pengamatan. Jika banyak pengamat, maka akan semakin banyak juga data yang teramati, begitu juga sebaliknya.
Permasalahannya, adanya kesenjangan baik lokasi maupun jumlah pengamatnya di kawasan Indonesia barat dan timur. Selama ini, pengamatan kebanyakan dilakukan di Jawa dan Sumatera, sementara di pulau-pulau lain seperti Kalimantan, Sulawesi, atau Papua, masih sangat sedikit sehingga spesies yang berhasil diamati juga lebih sedikit.
ADVERTISEMENT
“Jadi masalah itu diatasi dengan memperbanyak keterlibatan dan meningkatkan kapasitas sukarelawan, sehingga tujuan AWC tidak hanya menghitung burungnya, tapi ada tujuan lain seperti penyadartahuan, peningkatan kepedulian, peningkatan kapasitas,” ujarnya.
Sebagai sebuah kegiatan monitoring sekaligus pemutakhiran data, informasi keberadaan jenis-jenis burung tersebut sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan konservasi yang strategis. Sehingga, otoritas yang berwenang bisa membuat kebijakan yang lebih efektif.
“Manfaat lainnya, adanya kepastian. Kalau masih ada berarti kita kelola, kalau sudah tidak ada berarti enggak perlu dikelola. Atau misalnya yang tadinya dilindungi tapi jumlahnya sudah melimpah, berarti sudah tidak perlu dilindungi,” ujarnya.
Citizen Science Berkembang Pesat
Koordinator Pelaksana AWC 2021 yang juga Senior Policy and Communication Officer Wetlands International Indonesia, Ragil Satrio Gumilang. Foto: Istimewa.
Sejak 2017, Ragil mengatakan perkembangan citizen science di Indonesia, terutama di bidang pengamatan burung mengalami peningkatan yang signifikan. Meskipun sebenarnya cukup terlambat, sebab di negara lain citizen science ini sudah bergeliat sejak tahun 2000-an, tapi Ragil menyambut baik perkembangan ini.
ADVERTISEMENT
“Paling semangat dari pangsa burung, ada juga dari amfibi dan sebagainya. Dari teman-teman pengamat burung ini memang luar biasa perkembangannya,” ujar Ragil.
Perkembangan ini menurut Ragil tidak terjadi secara instan. Perkembangan citizen science yang signifikan di kalangan pengamat burung ini menurutnya merupakan hasil dari proses komunikasi yang panjang di antara pegiat burung, baik secara personal maupun komunitas.
Sayangnya, selama ini event-event serta pelaporan data yang ada masih belum terintegrasi. Sehingga dengan adanya kerja sama sejumlah komunitas dalam AWC 2021 ini, harapannya dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut.
“Adanya Burungnesia ini kami memandang juga semakin menggiatkan dan menggemakan citizen science,” lanjutnya.
Pada dasarnya, citizen science ini dibutuhkan karena adanya keterbatasan sumber daya manusia. Ragil melihat upaya-upaya monitoring seperti ini belum dilakukan secara rutin dan menyeluruh oleh otoritas terkait. Karena itu, dibutuhkan partisipasi publik untuk mengisi kekosongan tersebut.
ADVERTISEMENT
Citizen science di dunia ini konsepnya adalah adanya kebutuhan sumber daya dan keberlanjutan penelitian sains itu,” ujar Ragil.
Sejak 2016 sampai 2020, jumlah keikutsertaan cukup tinggi, nyaris mencapai 2.000 orang dengan rata-rata peserta sekitar 380-an. Setiap tahun, jumlah peserta terus meningkat, dari 148 pada 2016 hingga terakhir pada 2020 menjadi 560 orang. Namun dengan situasi pandemi seperti sekarang, ekspektasi partisipasi publik mereka tidak terlalu tinggi.
“Kalau dengan situasi seperti sekarang sih dugaan kami akan menurun, tapi kami sangat memahami itu,” ujar Ragil.
External Sources Manager Burungnesia, Devi Ayu Mandasari. Foto: Istimewa.
Sementara itu, External Sources Manager Burungnesia, Devi Ayu Mandasari, berharap AWC tahun ini dapat lebih memperbesar minat keterlibatan publik dalam kontribusi data burung, apalagi dengan adanya kemudahan akses melalui form maupun checklist aplikasi.
ADVERTISEMENT
“Sehingga dapat diperoleh data informasi yang komprehensif tiap tahunnya,” ujar Devi.
Semua orang bisa menjadi kontributor dalam AWC dengan mengirimkan data catatannya ke surel [email protected]. Selain itu, bisa juga menggunakan aplikasi Burungnesia Beta 3.0 yang bisa diunduh di Google Playstore.
AWC menurutnya sangat berperan penting dalam membangun euforia publik dan keterlibatannya dalam upaya konservasi biodiversitas Indonesia, khususnya burung air. Kegiatan ini bisa menjadi pendahuluan dalam membangun minat publik untuk terus mengenali dan menjaga keberadaan burung air di sekitarnya.
Pengamatan ini juga bisa dimulai dari yang terdekat, misalnya dari lingkungan rumah, sebab konservasi tidak harus mencari tempat-tempat yang jauh dan sulit dijangkau.
“Sedikit apapun catatan dan keterlibatan publik dalam database ini, sangat penting untuk dasar pengelolaan tata ruang ekosistem di masa depan,” ujar Devi. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT