Derita Sakit Gigi Kala Pandemi

Konten dari Pengguna
10 Agustus 2020 19:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sakit gigi. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sakit gigi. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indah Fajarwati dibuat pening karena harus menahan nyeri dan ngilu di giginya. Sejak Maret silam, dia sedang melakukan perawatan terhadap tiga giginya yang berlubang. Satu gigi sudah kelar ditangani, gigi kedua juga sudah memasuki tahap perawatan akhir.
ADVERTISEMENT
“Tapi per Maret, dokter berhenti melakukan tindakan,” ujar Indah Fajarwati di Yogyakarta, awal Agustus ini.
Padahal jika perawatan gigi tidak dilakukan sampai selesai, maka konsekuensinya harus diulangi dari awal. Kepalanya makin pening, setelah gigi pertama yang sudah selesai ditangani kini mulai bermasalah lagi.
“Selain sakit, biasanya kalau gigi lubang bisa berkomplikasi ke migraine dan vertigo, ini masalahnya,” lanjutnya.
Indah bukan tanpa upaya. Dia juga sudah berusaha mencari di mana dokter gigi yang sudah buka praktik. Beberapa klinik yang dia hubungi tidak memberikan tindakan medis yang berarti, tak lebih dari memberikan pengobatan oral saja. Beberapa rumah sakit juga mewajibkan pasien untuk melakukan tes cepat dulu sebelum mendapatkan tindakan, dan tentu akan menambah biaya.
ADVERTISEMENT
“Belum tahu besoknya gimana, ini baru cari-cari info dokter mana yang bisa menerima tindakan,” ujar Indah.
Arif Nur Rifki juga mengalami hal yang sama dengan Indah: pusing mencari dokter gigi yang bersedia memberikan tindakan medis. Dia bermaksud untuk membersihkan karang gigi atau scaling yang selalu rutin dia lakukan enam bulan sekali.
Terakhir, dia melakukan scaling pada Desember tahun lalu, dan Juli ini mestinya dia harus melakukan scaling lagi. Membersihkan karang gigi menurutnya sangat penting, sebab karang gigi menyebabkan bau mulut.
“Jadi suka sungkan bicara ke teman apabila memiliki aroma bau mulut tidak enak,” ujar Arif Nur Rifki.
Selain itu, Arif juga mengkhawatirkan karang yang ada di giginya membuat gusinya bengkak. Jika itu terjadi, maka masalah yang dia hadapi akan makin serius.
ADVERTISEMENT
Biasanya dia melakukan scaling di sebuah rumah sakit di daerahnya, tapi karena pandemi, poli gigi dan THT tutup dengan alasan mencegah penyebaran COVID-19. Dia juga sudah ke puskesmas di dekat rumahnya, hasilnya sama, tutup juga.
“Terakhir saya mencoba ke dokter gigi yang membuka praktik pribadi, juga tidak bisa melayani tindakan ini,” lanjutnya.
Arif sempat mendapatkan rekomendasi dari kawannya, tapi setelah mengecek harganya melalui media sosial, ternyata harganya tidak masuk akal. Harga scaling di tempat tersebut mencapai empat hingga lima kali lipat dibandingkan dengan biaya di tempat langganannya.
“Jadi saya mikir-mikir lagi, apalagi saya masih mahasiswa dan belum kerja, jadi uangnya mepet. Sampai sekarang belum scaling lagi,” ujar Arif.
Dihibur dengan Obat Pereda Nyeri
Ilustrasi obat pereda nyeri. Foto: Pixabay
Sakit dan nyeri yang ada di geraham Enny sungguh mengganggu aktivitasnya. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang juga berdagang, aktivitasnya setiap hari sangat padat. Namun sebulan ini bebannya makin berat ketika geraham paling belakangnya ternyata berlubang dan menyebabkan sakit yang teramat sangat.
ADVERTISEMENT
“Sudah sebulanan terakhir, akhir-akhir ini si sudah agak mendingan, tapi masih sering kambuh apalagi kalau kemasukan makanan,” ujar Enny.
Sebenarnya dia bisa saja mencabut giginya. Tapi klinik gigi langganannya tutup. Puskesmas di daerahnya di Karawang memang buka, tapi karena pandemi dia memilih untuk menahan rasa sakitnya. Dia takut, jika ke puskesmas mungkin giginya sembuh, tapi siapa yang bisa menjamin kalau dia tidak tertular COVID-19?
“Sekarang cuman minum obat pereda nyeri kalau pas kambuh. Dulu pernah dikasih resep sama dokter, dan ternyata ampuh jadi dibeli terus. Mereknya lupa, tapi itu ampuh banget,” lanjutnya.
Dua hari ini Anggun Yuniar juga merasakan nyeri pada giginya. Dia tidak tahu pasti penyebab rasa nyeri di giginya, tahu-tahu nyeri saja. Karena sedang pandemi, dan dia belum punya waktu libur akhirnya sampai sekarang di memilih untuk menahan rasa nyeri itu.
ADVERTISEMENT
“Masalahnya dokter gigi bukanya juga jam lima sore, sedangkan aku masuk kerja malam. Takut enggak sempat waktunya,” ujar Anggun.
Sebelumnya dia juga sempat merasakan nyeri yang sama, terutama ketika badannya sedang kurang sehat. Jika merasakan nyeri seperti itu, biasanya dia juga menggantungkan harapan pada obat pereda nyeri, ibuprofen namanya.
“Harusnya si emang ke dokter gigi langsung, tapi aku belum tahu. Belum ada solusi,” lanjutnya.
Protokol Ketat Buat Pasien Merasa Aman
Ilustrasi pemeriksaan gigi. Foto: Pixabay
Awalnya Astuti Handayani juga ragu untuk memeriksakan giginya. Tapi setelah mendapatkan informasi bahwa salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta memberlakukan protokol kesehatan yang ketat dan telah menerima lagi pasien gigi, dia membulatkan tekad untuk pergi ke poli gigi ketimbang masalah di giginya makin serius.
ADVERTISEMENT
Ternyata benar, protokol kesehatan yang diberlakukan lebih ketat dari biasanya. Dia harus cuci tangan, suhu badannya dicek, dan jarak tempat duduk diperjauh. Pasien juga dibatasi untuk mencegah penumpukan. Sebelum mendapatkan penanganan, dia juga harus mengisi formulir yang di dalamnya berisi sejumlah pertanyaan terakhir apakah dia sebelumnya melakukan perjalanan ke luar kota, apakah mengalami gejala flu atau demam, serta apakah dia pernah melakukan kontak dengan pasien COVID-19, entah yang positif, PDP, maupun ODP.
“Memang lumayan ketat, tapi malah nyaman kok. Jadi ngerasa lebih aman aja, jadi percaya kan kita kalau tempat itu memang aman,” ujar Astuti Handayani.
Setelah mengisi formulir dan dinyatakan aman, baru Astuti mendapatkan tindakan medis. Menurutnya dokter yang memberikan penanganan juga menggunakan APD berlapis, seperti hazmat, masker, face shield, sarung tangan, dan sebagainya. Melihat APD yang berlapis itu, Astuti makin percaya diri dan merasa aman selama mendapatkan tindakan.
ADVERTISEMENT
“Tapi saya pilih juga rumah sakitnya. Kalau rumah sakit yang menangani COVID-19 saya blas enggak berani masuk,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)