Terima Kasih Indomie

Tiara Hasna R
Journalist and Bachelor of Engineering ITB
Konten dari Pengguna
17 November 2019 17:01 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tiara Hasna R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Supaya bisa membayangkan bus Damri dan ikan julung-julung terbang. Maaf lupa foto sampul bukunya dengan baik dan benar...
zoom-in-whitePerbesar
Supaya bisa membayangkan bus Damri dan ikan julung-julung terbang. Maaf lupa foto sampul bukunya dengan baik dan benar...
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Andaikan bus Damri dan ikan julung-julung terbang dalam buku Semua Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie benar-benar nyata. Aku akan dengan senang hati dibawa kabur oleh mereka; menjelajahi luar angkasa, melihat bumi dari jarak yang paling jauh, bahkan ikut kembali ke masa Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
Meskipun harus berteman dengan kecoak dalam bus itu, aku rela, karena kecoaknya pintar, bule pula. Apalagi membayangkan bisa bertemu Beliau--salah satu tokoh dalam Semua Ikan di Langit. Ah, pasti akan sangat menyenangkan, mungkin bisa aku tulis di CV saking kerennya, hehehe.
Biarlah bus dan ikan julung-julung terbang itu jadi teman imajinasiku saja, sambil sesekali jadi portal untuk bertemu cerita lama.
Bus Damri itu bernama Saya. Dalam Semua Ikan di Langit, Saya mengerti bahasa manusia, dia juga bisa bertanya dengan telepati. Seperti saat ini, dalam imajinasiku, tiba-tiba bus trayek Dipatiukur-Leuwipanjang itu menghampiri dan bertanya,
"Hari ini gabut, sepi, nih. Kalau boleh membawamu ke masa lalu, kamu akan memilih diantar ke mana?"
ADVERTISEMENT
Tumben ditanya, biasanya dia asal. Nyelonong bawa aku ke memori liburan keluarga, pernikahan sahabat, sampai pernah ke momen-momen manis sama mantan pacar. Asem.
"Aku suka masa SMA, tapi mainstream ah, lagi kangen jadi anak SD," jawabku sekenanya.
"Berangkaaaat," teriak Saya diikuti para ikan julung-julung terbang.
SDN 4 Pandeglang. (Foto: Kemendikbud)
*TRIIIING*
Coba tebak aku yang mana......
Tahun 2002, aku sekolah di SDN 4 Pandeglang. Iya, Pandeglang, Banten. Banten yang terkenal dengan santet, Suku Baduy, eks gubernur yang korupsi, dan baru-baru ini kembali tersorot karena anak Bupati Pandeglang yang jadi salah satu DPR RI 2019-2024 termuda dengan kekayaan 9,6 M itu.
Dulu sekolahku memang favorit, tapi aku enggak menyangka usulan Rintisan Sekolah Dasar Bertaraf Internasional itu beneran jadi nyata di tahun 2010--sekarang sudah enggak ada embel-embel RSDBI, kok. Padahal waktu aku sekolah di sana, toiletnya masih bau dan gelap. Enggak ada bagus-bagusnya.
ADVERTISEMENT
"Mas Agus, aku mau beli mi goreng bakso, ya. Tapi jangan bilang mama," ujarku sambil celingak-celinguk ketakutan.
"Hahaha, siap, neng," jawab Mas Agus dengan topi andalan dan nampan di tangannya.
Aku sangat ingat warung Mas Agus yang letaknya menempel di samping sekolah dasarku. Bentuknya seperti warung biasa, selain jual Indomie bakso, di sana juga ada bubur dan minuman dingin.
Warung Mas Agus selalu ramai, segala jenis geng ibu-ibu kerap nongkrong sembari menunggu anak-anaknya habis jam pelajaran. Dari semua ibu-ibu, cuma ibuku yang melarang anaknya jajan Indomie, minum minuman berkarbonasi, bahkan mengenal duit.
Sampai-sampai guru matematika di kelas 2 menegurnya soal nilai ulanganku yang (tumben) enggak 100. Antara enggak matre sama beneran bingung beda-beda tipis, ya.
ADVERTISEMENT
Semenjak itu, aku dikenalkan sama uang. Tapi tetap saja, hanya dikasih saat pulang sekolah buat beli isi binder, mainan BP--'Bongkar Pasang' dari kertas yang bisa digunting-gunting itu, lho-- atau beli jajanan kue cubit dan jaring laba-laba.
Mainan BP. Astaga aku rindu..... (Dok. Pribadi)
Walaupun bisa jajan, tapi hukum beli Indomie tetap haram. Padahal wangi Indomie goreng itu terus menusuk hidung walau aku di kelas dan Mas Agus masak di warungnya. Astaga.
Tahun 2003 harga mi goreng bakso cuma Rp 1.500, sekarang mah buat parkir pun enggak bisa. Tapi saat itu rasanya mahal banget cuuuuyy, harus nabung dari uang jajan hari-hari sebelumnya.
Setelah rela enggak beli BP selama seminggu, aku pun nekat bersekongkol dengan Mas Agus.
"Nih, neng," kata Mas Agus sambil meletakkan harta karun berwujud Indomie goreng bakso ke hadapanku.
ADVERTISEMENT
"Jangan bilang mama ya, Mas," ujarku lagi, saking takut diciduk, padahal cuma makan Indomie, lho, bukan berbuat aneh-aneh.
Oke. Setelah mencoba....
Mukaku langsung sumringah dan berubah jadi Dian Sastro. WOWWW. (Foto: kumparan)
Gila. Sejak tahun 2003 rasanya aku sudah tahu kelak Indomie akan jadi mi terenak sedunia. Benar saja tahun ini jadi juara. Mungkin aku cenayang, cocok nulis di akun Madam Elena, hehehe. Tapi seriusan, rasa micinnya adalah penemuan luar biasa. Ibaratnya, baru kenal sudah langsung sayang.
Tapi manusia memang enggak pernah merasa puas, bahkan pemikiran itu sudah tertanam sejak SD, ya. Aku kecanduan, ingin beli Indomie lagi, dan tergoda minuman Fanta.
Alih-alih ambil duit tabungan sekolah--dulu masih zaman bisa nabung di sekolah--aku yang cukup sok ide ini memutuskan untuk bisnis kecil-kecilan di tahun 2006. Iya, demi jajan Indomie (sering-sering).
Indomie dan Kolaborasi. (Dok. Pribadi)
Zaman SD, aku berlangganan Majalah Bobo. Saking suka banget baca majalah, aku terinspirasi bikin majalah. Bukan majalah yang diketik dan dicetak di kertas glossy, ya, malih. Majalah yang kubuat saat itu: Hand made.
ADVERTISEMENT
Judulnya 'FRIENDS', padahal dulu belum mengenal TV series legendaris yang berjudul serupa. Entahlah, aku pun enggak ingat kenapa namanya FRIENDS. Majalah itu berukuran A6 (10,5 cm x 14,8 cm), hanya 10 halaman, dan sepenuhnya diisi tulisan tangan.
Di dalamnya memuat teka-teki, cerita pendek yang dilansir dari Majalah Bobo--wah parah, bahaya juga, ya--sampai konten zodiak yang sejujurnya aku sudah lupa melansir atau mengarang dari mana. Tuh kan, sekali lagi, sepertinya aku punya bakat menulis di akun Lifehack atau Madam Elena, hehehe.
Satu majalah dibanderol Rp 1.500. Setiap minggu ada edisi terbaru, sistemnya pre-order. Awalnya yang beli hanya 1-3 orang, tapi dua minggu berjalan, pemesannya membludak.
Aku cuan, tapi lelah. Ternyata masalah kenapa satu hari hanya 24 jam sudah ada sejak dulu, ya. Alhasil bisnis itu dirampungkan pada akhir 2007. Bukan karena ada yang komplain, alhamdulillah trusted, para pelanggan puas dengan produknya, sis. Tapi 2008 aku mulai fokus dengan Ujian Nasional dan persiapan masuk SMP di 'Kota Kembang'.
ADVERTISEMENT
Sayangnya aku juga enggak punya bukti fisik--mungkin terselip di boks pindahan ke Bandung, pun zaman dulu belum bisa pamer di Instagram story, bisa main Space Impact di ponsel saja sudah bagus. Satu-satunya bukti dan saksi kunci adalah temanku yang dulu membantu, namanya Sovania. Tanya saja kalau enggak percaya.
Ini prototipe sampul Majalah FRIENDS, hahahhahhaa aduh jelek banget. Tapi yang kujual jauuuh lebih niat, banyak gambar dan warna. Sekarang sudah lupa cara menulis indah pakai tinta. (Dok. Pribadi)
Dengan masa kecil di Pandeglang yang agak absurd, aku tetap berhasil kuliah di kampus Ganesha. Setelah lulus dari kampus berisi mahasiswa yang suka pergi pas lagi sayang-sayangnya itu, aku teringat percakapan dengan ayah waktu lagi galau menentukan tempat kuliah.
"Kamu enggak mau komunikasi aja? Kan dari kecil hobinya nulis, bikin buku," tanya ayah yang sepertinya agak ragu dengan pilihanku ke kampus teknik.
ADVERTISEMENT
Saat itu kalimatnya bak angin lalu, aku tetap kekeuh pilih fakultas arsitektur dan perencanaan kota ITB--Institut Tai Burung kalau kata Pidi Baiq. Meski sempat yakin bisa jadi arsitek atau perancang kota yang andal, akhirnya sadar juga kalau kesukaannya bukan di sana. Untung cepat lulus, ya.
Memang pilihan pertama (katanya) selalu tepat, mungkin iseng-iseng 'nulis majalah' waktu dulu adalah tanda semesta.
Jadi ingat masa-masa itu, heran juga, kok, ada yang mau beli majalahku, ya. Enggak kebayang tulisannya se-acak-kadut apa. Sekarang juga masih, sih. Tapi seenggaknya sudah bernaung di kantor yang benar (re: kumparan), insyaallah.
"Ah, masih banyak kisah menarik semasa SD, bahkan aku sempat dapat piala yang ada bintangnya, kayak piala penghargaan untuk kumparan beberapa waktu silam," kisahku pada Saya si bus.
Best Digital News Start-up (kiri), Juara II Pemilihan Siswa Teladan (kanan)--Wewwww terakhir kalinya punya piala. Mohon maaf bukan sombong, sedang butuh motivasi.
"Wah! Kok bisa? Ternyata di Banten juga ada piala seperti itu, ya?" guraunya sambil terkekeh.
ADVERTISEMENT
Hahaha sial.
"Nanti kita ke sini lagi, deh, aku ceritakan. Sekarang pulang dulu, mobilku masih parkir di GI (Grand Indonesia), nih. Harga parkirnya, kan, enggak mungkin Rp 1.500," jawabku.
"Siaaap, neng," teriak ikan julung-julung terbang dari luar jendela Saya.
*WUSHHH*
Terima kasih Indomie. Karenamu, aku terbebas dari segala jenis peta dan irigasi. Tanpamu, (mungkin) aku enggak akan jadi jurnalis di Kolaborasi.