Serba-serbi UU HPP dan Dampaknya bagi Pelaku Usaha Mikro

Olivi Sabilla
Dosen UAD, Peneliti, dan Pendamping Usaha
Konten dari Pengguna
14 Februari 2023 17:13 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Olivi Sabilla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Keuangan Sri Mulyani sosialisasi UU HPP di Bandung. Foto: Dok. Ditjen Pajak
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani sosialisasi UU HPP di Bandung. Foto: Dok. Ditjen Pajak
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
UU HPP atau Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan pemerintah pada bulan Oktober 2021 memberikan dampak bagi pelaku usaha mikro. Menurut peraturan pajak sebelumnya, PP No 23 tahun 2018 bagi pelaku usaha mikro dikenakan pajak penghasilan final dengan tarif sebesar 0,5 persen dari peredaran bruto. Pajak final adalah pajak yang telah selesai pengenaannya saat sudah dihitung, dibayar, dan dilaporkan oleh wajib pajak. Peredaran bruto yang dimaksud adalah besaran omzet dari kegiatan usaha.
ADVERTISEMENT
Dasar pengenaan pajak berdasarkan besaran omzet ini tidak melihat apakah terdapat keuntungan ataupun kerugian pada usaha. Adanya perubahan pada UU HPP yang menjadikan tidak dikenakannya pajak penghasilan bagi pelaku usaha mikro, diharapkan dapat memberikan rasa keadilan yang lebih baik bagi wajib pajak khususnya para pelaku usaha mikro dan dapat mendukung percepatan pemulihan perekonomian masyarakat.
Usaha skala mikro menurut pemerintah dalam UU No. 20 tahun 2008 tentang usaha mikro kecil menengah, adalah perusahaan yang memiliki omzet hingga Rp 300 juta selama satu tahun, dan kepemilikan aset atas usahanya masih di bawah Rp 50 juta, serta memiliki karyawan satu hingga sembilan orang. Kegiatan usaha skala mikro yang diperkenankan memanfaatkan peredaran bruto tertentu ini hampir semua jenis kegiatan usaha, kecuali bentuk usaha di bidang jasa perseorangan tertentu. Pengecualian bagi bidang jasa perseorangan tertentu ini dapat dicermati pada peraturan terbaru yakni PP No. 55 Tahun 2022 tentang penyesuaian pengaturan di bidang pajak penghasilan.
BRI ajak pelaku usaha semakin bertumbuh dengan program figur inspiratif UMKM. Foto: Bank BRI
Apabila pemilik usaha mikro masih memenuhi syarat sebagai wajib pajak karena memperoleh penghasilan dari sumber lain maka pelaku usaha mikro perlu melaporkan omzet usaha dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya dalam kolom penghasilan bukan objek pajak. Kemungkinan kondisi lain adalah apabila omzet usaha pada tahun sebelumnya telah melebihi Rp 500 juta atau skala usaha tahun sebelumnya di skala usaha kecil. Kemudian pada tahun 2022 ini mengalami penurunan maka dapat langsung tidak membayarkan pajak penghasilan finalnya dan melaporkan omzetnya di SPT tahunannya. Sedangkan apabila mengalami kenaikan omzet, maka pelaku usaha dapat langsung mengikuti peraturan terbaru yakni PP No. 55 Tahun 2022 untuk peredaran bruto di atas Rp 500 juta.
ADVERTISEMENT
Kembali kepada pemenuhan kewajiban pajak pelaku usaha mikro, pemerintah telah memberikan kemudahan melalui kebijakan pada UU HPP yang tidak mengenakan pajak penghasilan atas peredaran bruto usaha. Tujuan dari UU HPP salah satunya adalah agar dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak secara sukarela. Bagi pelaku usaha mikro yang memperoleh penghasilan hanya dari usahanya maka dapat menyatakan tidak memiliki kewajiban terkait pelaporan pajak usaha secara masa atau bulanan.
Namun untuk pelaporan SPT tahunan pemilik usaha mikro khususnya dengan bentuk usaha perseorangan, masih bisa dikatakan memiliki kewajiban pajak meskipun NIHIL. SPT Tahunan bagi Wajib pajak Orang Pribadi dapat dilaporkan secara online hingga bulan Maret tiap tahunnya. Karena sistem perpajakan di Indonesia yang menerapkan self assessment system maka dibutuhkan arahan maupun sosialisasi yang terus menerus terkait peraturan pajak dan tata cara pemenuhan kewajiban pajak agar tidak terjadi permasalahan yang merugikan wajib pajak nantinya.
ADVERTISEMENT