Zina dan Sesat Pikir Kaum Intelektual

Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Konten dari Pengguna
4 September 2019 17:27 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi seks Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi seks Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pendahuluan
Beberapa hari belakangan ini, dunia akademik dikejutkan oleh sebuah peristiwa yang menyentakkan intelektual kampus. Sebuah disertasi yang diduga “keluar dari tradisi ajaran Islam” lolos untuk diuji dan dipertahankan oleh Doktor Abdul Azis di depan sidang ujian terbuka dengan delapan orang penguji, di Kampus UIN Sunan Kalijaga dan mendapat predikat kelulusan sangat memuaskan, Rabu (28/8/2019).
ADVERTISEMENT
Tulisan ini tidak hanya dianggap “berani” tetapi juga oleh sebagian kalangan umat Islam–termasuk Majelis Ulama Indonesia–menganggap tulisan ini telah menjungkirbalikkan ayat-ayat Allah yang secara tegas mengharamkan perzinaan (hubungan seks non-marital).
Jika disertasi ini dimaksudkan oleh Abdul Azis “sang promovendus” untuk menghilangkan kriminalisasi terhadap pelaku zina dan hasil studinya digunakan sebagai bahan masukan untuk penyempurnaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata Nasional, maka di sinilah letak kekeliruannya.
Azis telah menempatkan “manusia” sebagai benda berwujud atau barang yang boleh ditransaksikan. Perjanjian akad nikah ditempatkan Azis dalam konteks “muamalah” bukan “ibadah”. Tak ada lagi nilai sakral dalam ikatan perkawinan. Hubungan antara pria dan wanita bukan lagi dipandang sebagai ibadah yang sarat dengan nilai-nilai kesucian. Tetapi pernikahan dinilai hanya untuk memuaskan hawa nafsu.
ADVERTISEMENT
Uraian berikut ini paling tidak dapat dijadikan sebagai bahan renungan atau setidak-tidaknya menjadi bahan diskusi, betapa pemikiran manusia yang terbatas tak selamanya mengantarkan kaum intelektual pada kebenaran yang hakiki. Dunia kampus semakin hari semakin liberal, bebas tak terikat lagi dengan norma religius, tak terikat lagi dengan akhlak dan tercerabut dari adab.
Kaum intelektual yang mengandalkan pendekatan rasio dan filsafat kerap kali melahirkan pemikiran yang sesat karena bertolak dari paradigma yang salah dan pendekatan parsial yang tidak “kaffah”.
Paradigma yang Salah
Jika pepatah Romawi kuno mengatakan “Abusus non tollit usum” yang bermakna penyimpangan tak boleh menjadi kebiasaan, maka saya akan mengatakan "kebiasaan yang menyimpang tak boleh menjadi hukum atau dicarikan pembenarannya untuk dijadikan hukum".
ADVERTISEMENT
Disertasi Abdul Azis berasal dari kegelisahannya melihat fenomena kriminalisasi terhadap orang yang melakukan hubungan intim di luar nikah, dengan alasan suka sama suka yang kemudian dijatuhkan hukuman. Peristiwa itu oleh Azis dipandangnya bertentangan dengan hak azasi manusia (Tempo, 29/8/19).
Ia mengemukakan contoh hukuman rajam di Aceh (1999) dan Ambon (2001) atas peristiwa itu. Bertolak dari paradigma Milk Al Yamin yang dikembangkan oleh Muhammad Syahrur (asal Suriah) yang mengabsahkan hubungan seksual non-marital, Abdul Azis meletakkan pijakan berpikirnya dan dasar analisisnya pada paradigma Syahrur.
Perlu diketahui Muhamamd Syahrul ini adalah seorang insinyur lulusan Dublin University di Moskow yang menggunakan pendekatan hermeneutika. Beliau sendiri tak punya latar belakang akademik dalam bidang kajian Hukum Islam, walaupun buku-buku yang ditulisnya cukup banyak dengan tema ke-Islaman.
Ilustrasi Al Quran Foto: pexels
Hermenutika adalah sebuah pendekatan yang lazim digunakan dalam filologi, cabang filsafat dengan prinsip antisinonimitas, sehingga pemikirannya sangat liberal dan progresif.
ADVERTISEMENT
Kata hermeneutik sendiri berasal dari kata “hermeios” yang diperkenalkan oleh seorang pendeta bernama Delphic yang dihubungkan dengan Dewa Hermes yang dipercayai sebagai penyampai pesan dari Jupiter kepada manusia atau menyampaikan pesan Tuhan dari Gunung Olympus menjadi bahasa yang dimengerti manusia. Sehingga hermeneutika itu adalah suatu metodologi penafsiran (interpretasi) mengubah sesuatu atau sistuasi yang tidak bisa dimengerti sehingga dapat dimengerti (Richard E.Palmer).
Banyak juga para intelektual Muslim mengadopsi konsep ini dalam menafsir ayat-ayat Alquran (yang semula digunakan untuk menafsirkan kitab suci agama lain). Padahal Islam punya metodologi penafsiran sendiri. Dalam disertasinya, Azis mencoba menggunakan model penafsiran ini dan menempatkan hubungan antara manusia yang suci itu menjadi hubungan transaksional. Hubungan seks tanpa nikah dalam batas tertentu dianggap tidak melanggar syariat Islam.
ADVERTISEMENT
Batas tertentu itu antara lain adalah:
1. Hubungan itu tidak dilakukan secara terbuka di depan umum (privasi).
2. Tidak dilakukan terhadap wanita yang sedang terikat dalam perkawinan yang sah (wanita yang bersuami).
3. Tidak dilakukan dengan wanita yang mempunyai hubungan darah (saudara kandung, dan lain sebagainya).
4. Tidak dilakukan dengan wanita yang menjadi ibu tirinya (istri orang tua laki-laki).
5. Wanita yang bercerai atau pisah karena kematian harus menunggu masa iddah.
6. Dilakukan dengan sukarela, suka sama suka tanpa paksaan.
Bagaimana cara untuk mengukur keenam syarat tersebut, jika tidak ditelusuri asal wanita tersebut? Wanita yang tidak bersuami, wanita tidak mempunyai hubungan darah, bukan istri dari ayah kandung si laki-laki, telah berakhir masa iddah, dilakukan atas dasar suka sama suka, semuanya memerlukan pembuktian. Tidak cukup hanya dengan pengakuan saja.
ADVERTISEMENT
Di sinilah kontradiktif pemikiran Azis, hubungan seks di luar nikah itu menjadi sah jika dilakukan di tempat tersembunyi. Di sini juga letak sesat pikir Abdul Azis, yang meletakkan peristiwa hubungan seks tanpa nikah itu sebagai sebuah peristiwa muamalah, sama halnya dengan perikatan perdata yang diatur dalam buku III KUH Perdata.
Menempatkan manusia sebagai benda berwujud atau dalam term Pasal 449 KUH Perdata sebagai barang. Padahal manusia adalah subjek hukum, bukan objek hukum, oleh karena itu tak boleh menyamakan manusia dengan barang.
Ilustrasi Alquran Foto: Pixabay
Hubungan Seks yang Halal
Surah Al-Mukminun Ayat 5-7 menetapkan bahwa; orang yang memelihara kemaluannya dengan menjauhkan diri dari perbuatan zina, homoseksual dan perbuatan keji lainnya. Mereka adalah orang-orang yang menjaga diri dari maksiat dan suci (5). Kecuali terhadap istri-istri atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya (perbuatan) mereka dalam hal ini tidak tercela (6). Barang siapa yang mencari selain itu, mereka itu adalah orang-orang yang melampaui batas (7).
ADVERTISEMENT
Pada ayat yang lain Allah tak suka orang yang berbuat melampaui batas (Surah An Nisa: 171). Pemaknaan yang luas dan berlebihan tentang “budak yang dimiliki” yang halal untuk disetubuhi tanpa akad nikah yang dilakukan atas dasar suka sama suka adalah kesimpulan yang didasarkan pada hermeneutik yang menggunakan pemikiran atau logika yang “melampaui batas”. Batas yang tidak boleh dilampaui adalah tentang asbabun nuzul surah Al-Mukminun ayat 6 yang menghendaki tafsir historis dengan memperhatikan semua sistem syariat Islam yang turun sesudah ayat itu.
Khusus untuk perbudakan itu adalah praktik sebelum Islam yang tidak serta merta dapat dihapuskan seketika. Islam secara perlahan-lahan menghapuskannya dengan berbagai wahyu dan praktik untuk mengangkat harkat dan martabat manusia khususnya wanita yang ditempatkan Alquran di tempat yang dimuliakan.
ADVERTISEMENT
Namun begitu, budak yang dimaksudkan dalam hal ini adalah budak yang diperoleh dalam peperangan atau tawanan sebagai akibat dari peperangan. Itu pun harus dimiliki seutuhnya, tidak boleh sebagian, dan tidak boleh budak yang dimiliki lebih dari satu orang laki-laki.
Jadi sama seperti pernikahan juga. Budak tidak boleh diperoleh di luar peperangan. Itulah konsep Milk Al Yamin pada zaman itu. Kini perbudakan sudah tidak ada, oleh karena itu konsep Milk Al Yamin itu menjadi terdisrupsi, hilang dengan sendirinya.
Peristiwa itu harus ada nyata, barulah syariat itu dapat diberlakukan. Seumpama tayammum hanya boleh dilakukan terhadap peristiwa tertentu, jika air ada dan orang yang akan bersuci itu tidak mudharat menggunakan air, maka tak boleh orang bersuci dengan menggunakan debu.
ADVERTISEMENT
Jika pada masa pemberlakuan Milk Al Yamin itu dibolehkan melakukan hubungan seks dengan budak (hamba sahaya) karena pada waktu itu faktanya perbudakan itu masih ada dan belum dilarang. Bahkan budak menjadi objek jual beli dan dibagi-bagikan jika dalam peperangan itu banyak wanita yang ditawan.
Setelah beberapa lama berselang, Islam menghapuskan perbudakan. Manusia bukan barang, bukan benda. Itulah sebabnya beberapa puluh tahun silam putusan Pengadilan Tinggi Medan, kala itu hakimnya Prof. Bismar Siregar, pernah dibatalkan Mahkamah Agung. Alasannya karena menyamakan manusia dengan barang, sehingga perbuatan laki-laki yang tidak bersedia menikahi perempuan yang sudah dinodainya oleh Bismar diklasifikasikannya sebagai tindak pidana penipuan.
Oleh Mahkamah Agung, dalam dasar pertimbangannya mengatakan tindak pidana penipuan itu adalah kejahatan terhadap harta kekayaan. Sedang manusia bukan harta kekayaan, bukan benda, bukan barang, jadi tidak boleh menjadi objek transaksi, tidak boleh menjadi objek perjanjian. Menyamakan wanita dengan benda atau barang sama dengan memposisikannya dengan hewan.
ADVERTISEMENT
Melindungi Wanita dari Praktik Prostitusi
Dalil umum dalam hukum Islam untuk hubungan muamalah adalah: Allah membolehkan seluruh perbuatan sepanjang tidak dilarang, sedangkan dalam hal ibadah, Allah hanya membolehkan perbuatan sepanjang yang diperintah.
Jika hubungan antara laki-laki dan perempuan dipandang sebagai ibadah maka perbuatan itu hanya sah sepanjang apa yang diperintahkan Allah. Berbeda jika hubungan pria dan wanita itu dipandang sebagai hubungan muamalah, maka boleh dilakukan sepanjang tidak dilarang. Di sini berlaku asas suka sama suka atau dalam term hukum perdata Belanda asas kebebasan berkontrak, praktik otonomi, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (asas konsensualisme).
Mengapa syarat yang diajukan oleh Abdul Azis harus tersembunyi, tidak di depan umum? Ketika syarat yang dijadikan harus tidak boleh di depan umum, di sini menimbulkan hal yang kontradiktif.
ADVERTISEMENT
Jika perbuatan itu adalah sebuah hubungan muamalah atau perikatan untuk beralihnya benda itu (wanita) ke tangan pihak laki-laki harus memenuhi syarat publisistas. Syarat publisistas itu untuk melahirkan hak kebendaan, sehingga wanita yang diikat itu dapat dipertahankan dari tuntutan pihak ketiga lainnya. Jadi tak boleh disembunyikan. Kalau wanita yang tidak bersuami itu disamakan dengan benda, maka levering-nya harus disaksikan, minimal dua orang saksi.
Foto: Pixabay
Penyempurnaan dari penerapan asas publisistas itu harus diikuti dengan pendaftaran. Tenggang waktu pendaftaran disediakan untuk memberi peluang kepada pihak-pihak ketiga lainnya untuk mengajukan keberatan. Penerapan asas publisitas pada masa Rasulullah dikenal dengan Walimatul ‘Urs. Pasangan yang menikah itu diperkenalkan kepada publik. Itulah sebabnya Islam mewajibkan para tamu yang diundang untuk menghadiri walimah.
ADVERTISEMENT
Rasul mengatakan barang siapa yang tidak mendatangi undangan walimah dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasulnya (H.R.Muslim). Jadi hubungan seks tanpa nikah itu tidak boleh dilakukan di tempat privat atau tersembunyi, jika itu dilakukan maka perbuatan itu menjadi tidak halal.
Kemiskinan Ekonomi dan Kemiskinan Pengetahuan
Para wanita yang dalam konteks disertasi Azis diposisikan sebagai benda termasuk wanita nonmuslim menjadi halal disetubuhi tanpa ikatan pernikahan yang dalam konteks syariat Islam dikualifikasikan sebagai perbuatan zina. Konsep zina menjadi kabur dalam pemikiran Azis. Jika itulah yang dimaksudkan Azis, maka wanita itu adalah pekerja seks yang korban "kemiskinan secara ekonomis dan kemiskinan iman". Sedang para laki laki hidung belang adalah "miskin ilmu dan miskin iman".
ADVERTISEMENT
Untuk menelusuri keabsahan Milk Al Yamin setiap peneliti pun tak boleh "miskin ilmu, miskin iman, dan miskin data" dan itu berlaku juga untuk promotor dan penguji sebagai ulama (intelektual orang berilmu). Jika itu terjadi maka ijtihadnya sesat dan konklusinya juga sesat. Intinya kita tak boleh "miskin", karena Rasul telah bersabda "hampir-hampir saja kefakiran itu mengantarkan kamu pada kekufuran".
Kesimpulan yang sesat pikir biasanya diawali dari paradigma yang sesat dan diikuti dengan metodologis yang sesat. Menghubungkan fakta masa lalu dengan fakta masa kini tidaklah dapat dilakukan secara serampangan. Apalagi tujuannya untuk membenarkan pelacuran dan menghindari proses kriminalisasi atas perbuatan hubungan seks nonmarital. Konklusi ini bukan justru mengangkat derajat wanita, tetapi menjatuhkan posisi wanita dan setara dengan hewan dan bias gender.
ADVERTISEMENT
Penutup
Ketika Islam semakin diterima di kalangan masyarakat, banyak budak yang dibebaskan dan dinikahkan dengan pasangannya serta diberi biaya dari majikannya. Budak-budak itu kebanyakan dari korban peradaban pada waktu itu, korban perang, dan korban perdagangan riba sehingga kekayaan menumpuk di tangan orang-orang tertentu. Mereka dimiskinkan oleh sistem jahiliah. Maka banyaklah wanita-wanita yang dari golongan miskin nenjadi budak.
Kunci hubungan seks yang halal dalam Islam adalah "akad nikah yang berisikan ijab dan kabul". Hubungan nikah itu bukan semata-mata antara manusia dengan manusia, tetapi hubungan manusia dengan Allah sebagai pencipta karena kelak anak-anak yang lahir dari pasangan itu akan menjadi titipan dan amanah Allah. Jadi ada hubungan yang suci. Manusia adalah subjek bukan objek. Karena itu manusia dengan manusia tak boleh mentransaksikan yang objeknya manusia juga.
Umat muslim membaca Al Quran di Masjid di Masjid Al Markaz Al Islam, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (8/5). Foto: Antara/Abriawan Abhe
Perbuatan melakukan hubungan seks tanpa ikatan nikah adalah perbuatan zina, meskipun dilakukan di tempat tertutup atas dasar sukarela. Zina adalah perbuatan keji yang dikecam Alquran.
ADVERTISEMENT
Pernah ada seorang wanita yang menghadap Rasul mengaku telah berzina dan meminta diterapkan hukum rajam. Tapi kemudian Rasul meminta kepada wanita itu siapa yang menyaksikan. Wanita itu mengatakan, tak ada yang menyaksikan. Berarti peristiwa hubungan seks itu dilakukan di tempat tertutup. Tapi Rasul kemudian menyuruh wanita itu pulang.
Rasul tidak menerapkan hukum rajam, tapi harap diingat Rasul tak membenarkan peristiwa hubungan seks di luar nikah atas dasar suka sama suka itu menjadi halal. Alasannya adalah, keesokan hari wanita itu datang lagi dan mengatakan hal yang sama dan meminta sanksi hukum yang sama, hari kedua itu pun Rasul menyuruhnya pulang. Sampai hari ketiga dengan tiga kali pengakuan, barulah Rasul menerapkan hukum rajam dan Rasul tidak mengatakan hubungan seks nonmarital yang tersembunyi itu menjadi sah.
ADVERTISEMENT