Ketika Tuhan Tak Menghendaki Sama

Salwa Octaroina
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Jakarta. Fakultas Adab dan Humaniora. Program Studi Tarjamah.
Konten dari Pengguna
8 Desember 2022 12:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salwa Octaroina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Buku yang berjudul Kenali Dirimu Temukan Tujuan Hidupmu yang ditulis oleh Royhan Firdausy pada tahun 2020.
zoom-in-whitePerbesar
Buku yang berjudul Kenali Dirimu Temukan Tujuan Hidupmu yang ditulis oleh Royhan Firdausy pada tahun 2020.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagimana yang kita ketahui, salah satu bentuk kekuasaan Allah Swt. ialah terciptanya kita sebagai manusia sampai beranak-pinak, dari awal kehidupan sampai tiba kehancurannya. Bukan hanya tentang kuantitasnya, melainkan juga kualitas dan keunikan ciptaan itu. Dari sekian banyak manusia yang ada, tak satu pun memiliki keserupaan atau kesamaan, mulai dari seluruh bentuk tubuh jasmani dan ruhani, yang tampak maupun yang tidak tampak, hingga kepribadian kita masing- masing. Sekalipun kita kembar secara fisik, pasti akan ada perbedaan di antara kita. Bahkan, seandainya kita berusaha sekuat tenaga untuk menyamakan kita dengan orang lain, sampai kapan pun tidak akan pernah bisa. Sebab, ini ketentuan dan ketetapan Allah yang tak menghendaki sama.
ADVERTISEMENT
Allah Swt. berfirman:
وَمِنْ ءَايَتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَر تَنْتَشِرُون
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak." (QS ar-Rum [30]: 20)
Kekuasaan ini tidak bisa dijangkau dengan logika kita. Bagaimana tidak, dari benda yang mati mampu berubah menjadi benda hidup, kemudian benda hidup mampu membuat benda mati menjadi bermanfaat. Dari benda mati itu (tanah liat) menjadi sosok makhluk hidup yang bisa berinteraksi, beraktivitas, dan berkembang biak. Lebih unik lagi, kita mampu mengenal dan merasakan cinta. Kendali berbeda, kita akan tetap ada sebuah naluri untuk merefleksikan perasaan itu.
Berkenaan dengan bentuk kita sebagai manusia yang berbeda-beda, Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menjadikan Adam dari segumpal tanah yang di ambil-Nya dari segala macam tanah. Kemudian datanglah pada anak-anak Adam menurut tanah asal kita. Di antara kita ada yang putih, merah, hitam, dan sebagainya. Demikian juga ada yang jelek, baik, sederhana, bersedih. dan sebagainya".
ADVERTISEMENT
Hadis ini menjelaskan perihal perbedaan yang terjadi pada kita semua, bukan saja rupa dan fisik kita, akan tetapi karakter, kejiwaan dan pola berpikir kita. Itulah sebabnya, dalam setiap kali diadakan sebuah diskusi atau musyawarah tidak akan pernah satu kesempatanpun seluruh peserta yang hadir akan sependapat, pasti akan ada satu pendapat yang berbeda. Begitu juga tentang nasib hidup kita, ada yang kaya, miskin, selalu bahagia, sedih dan sebagainya. Ini semua adalah ketetapan Allah Swt. yang tidak bisa diubah oleh siapa pun.
Jika perbedaan tersebut dipandang sebagai masalah hidup, maka yang terjadi adalah disharmoni. Jika kita dinilai sebagai harga diri oleh orang lain, yang kaya bangga dengan kekayaannya dan yang miskin kecewa dengan kemiskinannya, maka yang terjadi adalah disorientasi. Begitu juga, ketika kita dijadikan sebagai penetapan nilai-nilai kebenaran oleh setiap golongan, maka yang terjadi adalah intoleransi.
ADVERTISEMENT
Saya selalu merasa iri kepada teman-teman saya yang mempunyai kecerdasan diatas saya. Akan tetapi, saya sangat bersyukur karena selalu ada teman yang mau mengajari dan selalu baik kepada saya. Dari sini saya belajar bahwa kita semua memang berbeda dari segi pandangan apapun. Karena Allah sudah menciptakan makhluknya dengan sempurna, tergantung kita ingin mensyukurinya atau tidak.
Oleh karena itu, kita harus benar-benar meyakini bahwa perbedaan merupakan cara Tuhan untuk membangun kebersamaan yang indah, bukan menjadikannya sebagai penyebab datangnya masalah. Taman hidup akan tampak indah bila bertaburan bunga yang bermacam-macam. Sebaliknya, kita akan tampak monoton bila hanya satu jenis bunga. Kita juga tak akan mengenal indahnya pelangi jika yang melintang hanya satu warna. Karena itu, ketika Tuhan tak menghendaki sama, di situlah kita harus mensyukurinya dan menyulamnya menjadi sesuatu yang indah. Yang kaya menolong yang miskin, yang miskin mendoakan yang kaya, yang alim mengajari yang bodoh, yang bisa melihat menuntun yang buta, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Permasalahan berkaitan dengan perbedaan sudah dinyatakan secara tegas dalam al-Quran. Kemudian, kita dituntut untuk memahami dan mengambil pelajaran dari kenyataan tersebut, sebagaimana dalam firman Allah Swt:
وَمَا كَانَ النَّاسُ إِلَّا أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا وَلَوْلَا كَلِمَة سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيْمَا فِيْهِ يَخْتَلِفُونَ
"Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalaulah tidak karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu." (QS Yunus [10]: 19)
Maksudnya, kita pada mulanya hidup rukun, bersatu dalam satu agama, sebagai satu keluarga. Namun, setelah berkembang biak dan kepentingan kita berlainan, timbul berbagai kepercayaan yang menimbulkan perpecahan. Oleh karena itu, Allah mengutus para rasul yang membawa wahyu dan memberi petunjuk kepada kita. Hal ini diisyaratkan dalam al-Quran:
ADVERTISEMENT
كَانَ النَّاسُ أُمَّةَ وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ إِلَّا الَّذِيْنَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوْا لِمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ، وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
"Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara kita sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada kita yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus." (QS al- Baqarah [2]: 213)
ADVERTISEMENT
Ayat tersebut menegaskan bahwa kemusyrikan baru ada atau terjadi pada kehidupan kita. Sebelum itu, manusia berada pada satu agama, yaitu Islam. Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Abbas bahwa jarak antara Adam dengan Nuh ialah sepuluh abad, dan semuanya menganut agama Islam. Namun, kemudian terjadi perpecahan di antara kita. Kita juga mulai menyembah berhala dan patung, sehingga Allah mengutus beberapa rasul dengan membawa ayat-ayat-Nya, keterangan-keterangan-Nya, bukti-bukti-Nya yang nyata, dan dalil-dalil yang pasti. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam al-Quran:
إذْ أَنْتُمْ بِالْعُدوة الدُّنْيَا وَهُمْ بِالْعُدْوَةِ الْقُصْوَى وَالرَّكْبُ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَوْ تَوَاعَدْتُمْ لَأَخْتَلَفْتُمْ فِي الْمِيْعَدِ وَلَكِن لِّيَقْضِيَ اللّٰهُ اَمْرًا كَانَ مَفْعُوْلًا ەۙ لِّيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْۢ بَيِّنَةٍ وَّيَحْيٰى مَنْ حَيَّ عَنْۢ بَيِّنَةٍۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَسَمِيْعٌ عَلِيْمٌۙ
ADVERTISEMENT
"(Yaitu) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh sedang kafilah itu berada lebih rendah dari kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), niscaya kamu berbeda pendapat dalam menentukan (hari pertempuran itu), tetapi Allah berkehendak melaksanakan suatu urusan yang harus dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasa dengan bukti yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidup dengan bukti yang nyata. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (QS al-Anfal [8]: 42)
Demikian penjelasan Ibnu Katsir.
Sebagian ahli tafsir memaknai ayat tersebut bahwa dahulu kita ketika baru dilahirkan dalam keadaan suci, tetapi kemudian pada usia balig atau ketika mereka sudah mampu berpikir, di situlah terjadi perselisihan atau perbedaan.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, yang menjadi penyebab kita berpecah belah adalah keengganan untuk hidup rukun kendali dari golongan yang berbeda. Bukan saja berada dalam satu bingkai agama, melainkan juga bagaimana kita tidak lagi mempermasalahkan perbedaan dan kembali merajut ukhuwah dan hidup rukun. Kesadaran bahwa agama ingin mempersatukan perbedaan harus benar-benar ditanamkan dalam pikiran hingga tidak ada sedikit pun keinginan untuk merusaknya.
Perlu diperhatikan kembali bahwa Allah tidak menghendaki atau menetapkan kita dalam satu umat atau satu golongan saja. Ini semua merupakan ketetapan Allah agar kita dengan akal yang dimilikinya mampu menentukan jalan yang telah Allah berikan kepada kita. Allah hanya menawarkan dua pilihan: mengikuti jalan-Nya atau tidak. Jika mengikuti jalan Allah maka akan memperoleh rahmat-Nya, dan jika tidak maka tidak ada perlindungan dari-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt.:
ADVERTISEMENT
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُدْخِلُ مَنْ يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ، وَالظَّلِمُونَ مَا لَهُمْ مِنْ وَلِي وَلَا نَصِيرٍ
"Dan kalau Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang- orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim, tidak ada bagi mereka seorang pun pelindung dan tidak pula seorang penolong." (QS asy-Syura [42]: 8)
Allah Swt. juga tidak menjadikan dan menetapkan manusia pada satu umat baik berada di jalan yang benar atau sesat saja. Tujuannya adalah untuk menguji kita atas apa yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Misalnya hidayah, sebuah jalan menuju kebenaran atau karunia akal yang dapat membantu mereka untuk menentukan sebuah pilihan. Dari situlah, mereka akan berlomba-lomba dalam setiap kebaikan. Hal ini sebagai- mana firman Allah Swt
ADVERTISEMENT
لكُل جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَا جَا وَلَوْ شَاءَ اللهُ لجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا مَاتَنكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُونَ
"Kami berikan aturan dan jalan yang terang Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu." (QS al-Ma'idah (5): 48).
Bukan perkara yang mustahil, jika Allah menghendaki manusia bersatu pada satu jalan, syiar, atau agama. Namun, ada tujuan lain dari perbedaan-perbedaan ini. Menurut Syaikh Fakhruddin ar-Razi, tujuannya agar kita dapat merenung dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Sebab, untuk mencapai derajat yang tinggi tidak bisa didapat dengan mudah atau dengan cara yang instan. kita butuh proses, usaha, dan kerja keras.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, perbedaan adalah ujian terbesar agar tetap bisa hidup rukun dan harmonis. Banyak jalan yang bisa kita lewati untuk mencapai hakikat kebahagiaan hidup yang diridhai Allah. Pada intinya, perbedaan jangan sampai membuat kita bertengkar, tetapi justru membuat kita saling membantu. Siapa saja yang mampu memelihara persatuan maka dialah pemenangnya.
Referensi:
Firdausy Royhan. 2020. Kenali Dirimu, Temukan Tujuan Hidupmu. Alifia Books: Tanggerang Selatan