Mengkaji Ulang Objektivitas Media dalam Pemberitaan Covid-19

Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Kolomnis; Penulis puluhan buku; trainer kepenulisan, pembicara. Twitter: IG: nurudinwriter.
Konten dari Pengguna
13 Juni 2020 17:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pers tak boleh terjebak hanya menjadi corong pemberitaan pemerintah. Justru, pers tetap dituntut objektif dan kritis dalam pemberitaan Covid-19 (Foto: kompasiana.com)
Banyak orang berkomentar bebas, bahkan cenderung melebihi ahlinya, terkait berita Covid-19. Misalnya ada seseorang yang berkomentar begini, “Sebuah kampung di Dau, Malang terpaksa dikarantina karena ada seorang warga yang positif covid-19 lalu meninggal”. Pertanyaan kita kemudian adalah apakah yang dikatakan seseorang itu benar-benar sesuai fakta? Apakah dia benar-benar melihatnya langsung? Apakah yang dikatakannya itu bukan fakta yang dibentuk dari realitas media?
ADVERTISEMENT
Apa yang dikatakan seseorang tersebut bisa jadi bukan fakta sebagaimana yang dilihat dengan panca inderanya, tetapi fakta yang berdasar apa yang dia baca di media. Jadi, fakta yang diklaim seseorang tersebut juga tergantung pada media yang dia baca pula. Masalahnya, masing-masing media berbeda dalam mengungkap fakta yang ditangkap dari lingkungan sosialnya.
Lebih lanjut bisa dikatakan, sama-sama memberitakan kasus meninggalnya seseorang yang positif covid-19 di daerah Dau, Malang saja, masing-masing media berbeda dalam penyajiannya. Apalagi hanya dikatakan oleh seseorang berdasar kepentingan, latar belakang, ilmu pengetahuan, tujuan, dan organisasi sosial yang melingkupinya. Apalagi jika hanya mendasarkan informasi dari media sosial saja. Jadi, media massa ikut membentuk realitas apa yang harus dikatakan dan tidak dikatakan seseorang, bukan?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan dan asumsi di atas kemudian memunculkan problem lebih lanjut begini; “Kalau memang media massa itu bisa membentuk realitas sendiri atas sebuah fakta, berarti tidak ada berita media yang benar-benar objektif?” Pertanyaan jenis ini hampir dipikirkan oleh kebanyakan orang.
Sandaran Objektivitas
Sesuatu dikatakan objektif biasanya bersandar pada fakta yang diungkapkan oleh seseorang. Seseorang itu bisa melihat langsung objek kejadiannya atau fakta itu didapatkan seseorang dari apa yang dibaca, ditonton, didengar dari media. “Di Indonesia tidak ada yang terkena covid-9”, ini contoh sebuah fakta. Artinya, fakta yang didasarkan pada pernyataan seseorang. Pernyataan bahwa seseorang itu mengatakan bahwa di Indonesia tak ada yang terkena virus covid-19, itu tetap fakta. Tetapi fakta itu akan menjadi lain jika yang mengucapkannya seorang pejabat tinggi di pemerintahan. Namun demikian seseorang boleh mengatakan bahwa omongan dari orang lain itu sebuah fakta tetap boleh. Hanya saja itu fakta berdasar dari omongan.
ADVERTISEMENT
Untuk memperjelas apa dan bagaimana fakta itu berkembang bisa mempunyai dua arti. Pertama, fakta ada keberadaannya berdasar apa yang bisa diindera oleh manusia secara langsung. Kalau misalnya seseorang melihat petugas medis menyemprotkan disinfektan dengan memakai Alat Perlindung Diri (APD) di daerah Dau, Malang, maka ia sah mengatakan pada orang lain, “kampung itu sedang disterilisasi”. Saat ada mobil tabrakan di tol Surabaya-Malang sementara seseorang itu menginderanya (mendengar suara rem diinjak, mendengar bunyi tabrakan dan melihat rongsokan mobil) ini jelas fakta.
Kedua, fakta yang dikonstruksi oleh pikiran seseorang yang dikemukakan pada orang lain. Saat teman Anda melihat penyemprotnan disinfektan secara langsung lalu menceritakan pada Anda, itu juga bernama fakta. Fakta di sini berarti fakta yang didasarkan pada cerita dari orang lain. Namun demikian, fakta yang Anda dengar tersebut sudah dikonstruksi oleh pikiran teman Anda tersebut. Bisa jadi fakta yang Anda tangkap akan berbeda jika Anda melihat sendiri secara langsung. Di sinilah penting kiranya mendiskusikan fakta berita yang seringkali sering dijadikan sandaran objektivitas.
ADVERTISEMENT
Permasalahan kita sekarang adalah apa yang dinamakan fakta? Menurut C.A Van Puersen, kata fakta diasalkan dari “penilaian”, “ada” diasalkan dari seharusnya. Jika dikatakan secara sederhana, fakta atau lebih tepatnya mengungkap fakta tak bisa bebas dari nilai-nilai yang dianut oleh si pengungkap. Dari sini pun bisa dikatakan bahwa fakta “ada” setelah mendapat penilaian dari seseorang (Puersen, 1990).
Fakta yang didasarkan pada indera seseorang adalah realitas pertama. Sementara itu, fakta yang didasarkan pada “penilaian” seseorang adalah realitas kedua. Bisa dikatakan sebagai fakta kedua karena tak ada sebuah fakta yang didengar dari orang lain tidak dikonstruksi dalam pikirannya terlebih dahulu. Maka, jika ada pernyataan, “Saya tidak korupsi” dari seorang pejabat negara belum tentu kenyataan sebenarnya benar-benar begitu (dia tidak korupsi). Pernyataan itu telah dikonstruksi oleh nilai-nilai yang ada pada diri seseorang tersebut. Namun demikian, hal itu tetap bisa dikatakan fakta karena ada seseorang mengatakan ia tidak korupsi. Maka, sama-sama dituduh korupsi antar individu bisa jadi berbeda dalam mengungkap fakta sebagaimana dikatakannya.
ADVERTISEMENT
Secara teoritik Peter L Berger dan Thomas Luckmann (2013) pernah mengatakan terjadinya konstruksi sosial dari sebuah fakta sosial. Masyarakat berkembang secara dinamis yang daripadanya dipengaruhi oleh banyak hal misalnya; nilai, norma, pranata, dan aturan. Dari sini bisa dikatakan bahwa produk atas fakta itu tidak saja berbeda antara satu pihak dengan pihak lain tetapi juga akan berubah karena sifat manusia yang dinamis dengan berbagai tuntutan berbeda dan sejalan dengan dinamika masyarakat.
Realitas tidak bisa dibentuk secara alamiah juga tidak bisa dikatakan sebagai turunan dari Tuhan. Manusia itu dikonstruksi dan dibentuk. Konsekuensinya, setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda satu sama lain atas realitasnya itu sendiri. Itulah kenapa realitas atas fakta pula bisa dikatakan tidak tunggal, statis dan dinamis, tetapi juga sekaligus dinamis dan dialektis.
ADVERTISEMENT
Penjelasan lebih kongkritnya; setiap orang itu mempunyai pengalaman, lingkungan, berbeda, pergaulan yang tidak sama, pendidikan, latar belakang yang bermacam-macam. Sehingga seorang individu menafsirkan realitas sosial dengan konstruksinya masing-masing.
Objektivitas dan Subjektivitas
Mengacu pada pandangan konstruksionisme, sebuah berita itu tidak sama dengan realitas. Realitas bukan disajikan apa adanya dalam media. Berita yang disajikan dalam media hasil dari konstruksi realitas di lapangan. Maka jangan heran jika pewarta sendiri saat melihat fakta di lapangan kemudian mengonstruksikan dalam pikirannya (fakta pertama), kemudian melaporkan ke redaktur (realitas kedua), lalu media memberitakan ke masyarakat (realitas ketiga).
Lalu kita kembali ke permasalahan yang diajukan di awal tulisan ini; “Kalau memang media massa itu bisa membentuk realitas sendiri atas sebuah fakta berarti tidak ada berita media yang benar-benar objektif?” Melihat banyak faktor yang mengitari sebuah fakta, maka objektivitas dalam pemberitaan covid-19 pun berkait erat dengan problem fakta, realitas dan konstruksi media. Objektivitas tetaplah ada sesuai fakta di lapangan. Namun demikian jika sudah masuk dalam konstruksi pikiran seseorang, apalagi media massa objektivitas itu dipengaruhi banyak hal.
ADVERTISEMENT
Bisa dikatakan objektivitas yang ada pada media massa adalah subjektif karena tergantung dan dikonstruksi oleh reporter, redaktur, dan media massanya. Sebut saja objektivitas yang subjektif. Dengan kata lain, faktanya memang ada tetapi telah dikonstruksi sedemikian rupa maka telah menjadi subjektif. Itu pulalah yang membedakan masing-masing media mempunyai sudut pandang yang berbeda satu sama lain.
Maka apa yang kita lihat dan katakan, apalagi informasi berasal dari orang lain itu hanya sudut pandang. Ibarat jendela untuk mengetahui kejadian di luar jendela tak bisa didasarkan hanya dari sudut pandang sebuah jendela saja. Apalagi menyimpulkan bahwa kejadian yang dilihatnya dari satu jendela itu diklaim sebagai satu-satunya kebenaran yang ada. Kita bisa melihat dari banyak jendela, jika tidak bisa menanyakan ke seseorang yang melihat dari jendela lain meskipun informasi yang kita dapatkan sudah dikonstruksi orang lain itu. Tetapi itu lebih baik dari pada mengklaim satu jendela kemudian mengumumkan kepada banyak orang bahwa realitas dari dirinyalah yang paling benar.
ADVERTISEMENT
Media tak lain adalah windows of reality tetapi bukan realitas satu-satunya dan sebenar-benarnya. Dalam hal inilah sebaiknya kita juga mendudukkan pemberitaan virus covid-19 pada posisi semestinya. Menyimpulkan fakta hanya berdasar satu “pintu” media, apalagi pintunya seseorang, hanya akan mendangkalkan masalah dan membutakan diri pada fakta.
Daftar Pustaka
Berger, Peter L dan Thomas Luckmann. (2013). Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Puersen, C.A Van. (2000). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Penulis Nurudin: Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). IG/Twitter: nurudinwriter Tulisan ini pernah diterbitkan dalam buku kumpulan tulisan dengan Editor: Nurudin dkk berjudul Komunikasi Empati dalam Pandemi COVID-19 (hal. 165-168) yang diterbitkan ASPIKOM Korwil Jatim dengan Buku Litera,Yogyakarta (2020).
ADVERTISEMENT