Nasib Perempuan dan Anak-anak Terpapar Radikalisme

Nukila Evanty
Executive Director Women Working Group (WWG)
Konten dari Pengguna
13 Januari 2020 10:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nukila Evanty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ibu dan anak. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ibu dan anak. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan , ada sekitar 6 ribu WNI (Warga Negara Indonesia) diidentifikasi sebagai teroris asing atau foreign terrorist fighters (FTF) dan sebanyak 187 di antaranya berada di Suriah, dari jumlah tersebut terdiri 31 laki-laki dan sisanya perempuan dan anak-anak ( media online 10 Januari 2020).
ADVERTISEMENT
Ada dugaan bahwa mereka terpapar ajaran teroris yang diberikan oleh organisasi teroris di Suriah. Kejadian seperti ini pernah terjadi pada tahun 2015, dengan pemulangan warga Indonesia dari perbatasan Turki. Sekitar 45 sampai 50 persen adalah perempuan dan anak-anak. Perempuan-perempuan ini berniat bergabung dengan kelompok bersenjata ISIS.
Dalam kasus-kasus radikalisme di Indonesia keterlibatan perempuan cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Pertanyaannya adalah bagaimana nasib perempuan dan anak-anak tersebut? Bolehkah mereka balik dan bagaimana agar perempuan dan anak-anak itu terlindungi, bebas dari radikalisme dan melebur kembali ke masyarakat?
Penyebab terpapar Radikalisme
Banyak penelitian menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan perempuan tertarik kepada paham radikalisme salah satu di antaranya yaitu karena ideologis dan religius, yaitu perempuan didoktrin dengan pemahaman bahwa agamanya atau kepercayaannya lah yang sempurna.
ADVERTISEMENT
Faktor lainnya adalah banyak perempuan yang terlibat tersebut sebelumnya mengalami berbagai ketidakadilan sosial , politik, ekonomi sehingga sangat mudah bagi kelompok radikalisme tersebut untuk merekrut para perempuan apalagi kondisi perempuan tersebut misalnya dalam keadaan sangat tergantung pada suami, perempuan tersebut sulit memperoleh pekerjaan, perempuan tidak mempunyai tempat tinggal, mereka menyangsikan masa depan anak-anak mereka dan sebagainya. Malah perempuan-perempuan tersebut di lingkup masyarakat mengalami stigma dan diskriminasi. Di beberapa kasus radikalisme, perempuan ternyata juga berperan besar dalam menggerakkan orang-orang terdekatnya, anggota keluarga untuk bergabung dengan kelompok radikalisme.
Rights of Return (Hak untuk Kembali)
Memang tidak pernah terpikirkan di masyarakat kita sampai saat ini, bahwa perempuan telah banyak diabaikan hak-haknya dan mengalami diskriminasi , di sisi lain terjadi peningkatan jumlah perempuan yang terlibat dalam radikalisasi.
ADVERTISEMENT
Dapat kah mereka kembali ke tanah air di tengah polemik bahwa mereka "tidak pamit" dan berkhianat dengan bergabung ke Suriah .
UDHR (Universal Declaration of Human Rights) atau Deklarasi HAM Universal yang diproklamasikan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tahun 1948, dalam Pasal 13 (b); "Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country," artinya setiap orang berhak untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri, dan kembali ke negaranya.
UDHR ini adalah standar HAM international yang menjadi panduan negara dan bangsa di dunia.
Dalam Hukum Internasional, "hak untuk kembali" adalah hak universal yang bersifat mengikat. Hak-hak ini dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa memandang dari mana asalnya. Kemudian, 'hak untuk kembali' ditegaskan dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR-International Covenant on Civil and Political Rights) pasal 12 (4) menyatakan bahwa "No one shall be arbitrarily deprived of the right to enter his own country."
ADVERTISEMENT
Artinya, tidak seorang pun boleh secara sewenang-wenang kehilangan hak untuk memasuki negaranya sendiri.
Di samping itu, pada saat pemulangan mereka, tetap mengedepankan prinsip the right to be presumed innocent (hak atas praduga tak bersalah)
Program yang Tepat
Pemerintah melalui BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ) telah membuat program deradikalisasi yang menyasar individu yang melakukan tindakan radikal melalui suatu kebijakan dan program kontra-radikalisasi yang bersifat mencegah individu yang berisiko terhadap radikalisasi.
Dari beberapa penelitian menyebutkan deradikalisasi meliputi komponen kognitif dan melakukan perubahan ideologi. Oleh karena itu istilah deradikalisasi diterapkan mencakup proses reintegrasi orang-orang yang telah meninggalkan kelompok-kelompok radikal yang keras tersebut dan kembali ke masyarakat mereka.
Indonesia adalah salah satu negara yang meluncurkan program deradikalisasi generasi pertama, yang terdiri dari pendidikan berbasis penjara, pemantauan paska-penahanan dan program perawatan.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, sebagian besar program deradikalisasi dirancang terutama untuk laki-laki, dan ada beberapa upaya untuk ke depan membuat program khusus untuk perempuan.
Perempuan sebenarnya dapat memainkan peran kunci , sebagai pemantau, pendidik dan membina perempuan dan anak-anak yang terpapar radikalisme seperti melibatkan pemimpin agama perempuan, psikolog, guru, pemimpin di desa, pemimpin masyarakat sipil, dan lainnya yang dapat berfungsi sebagai pembina, sebagai mentor pendidik, mengajarkan anak-anak untuk menyayangi sesama manusia dan hidup bertoleransi. Karena secara psikologis, mungkin perempuan dan anak-anak yang terpapar radikalisme tersebut lebih nyaman berbincang dengan perempuan juga.
Pemerintah perlu melibatkan lembaga-lembaga perempuan untuk khusus melakukan pendampingan terhadap perempuan dan anak-anak yang diduga terpapar terorisme.
*Direktur Eksekutif Women Working Group (WWG)
ADVERTISEMENT