Solusi Kelesuan Ekonomi atas Startup

Carrera Zenitha Niqi
Content writer
Konten dari Pengguna
9 Juni 2022 19:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Carrera Zenitha Niqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Publik dikejutkan dengan kabar beberapa Startup “raksasa” yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya. Dari Zenius, JD.id sampai Link Aja ikut dalam daftar perusahaan Startup apes. Banyak alasan yang melatarbelakangi, mulai dari kondisi ekonomi yang lesu akibat pandemi, untuk meningkatkan efisiensi perusahaan, berkurangnya pendanaan akibat surutnya investor, sampai metode bakar uang yang semakin merugikan perusahaan.
ADVERTISEMENT
Peristiwa PHK massal sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun juga hampir di seluruh dunia. Data dari Laysoff.fyi menyebutkan bahwa kebanyakan perusahaan melakukan PHK karyawan yakni pada pertengahan tahun 2020 lalu, dimana terjadi sesaat setelah pandemi COVID-19 muncul. Total jumlah karyawan yang terkena imbas pemecatan secara global pada kuartal kedua tahun 2022 saja berjumlah 19.519 orang. Ini adalah angka yang besar, sehingga patut dicermati mengapa kondisi ini bisa terjadi.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, fenomena technology bubble burst bukan suatu hal yang mustahil terjadi di Tanah Air. Problematika ekonomi dunia hari ini dari lesunya ekonomi dunia imbas pandemi sampai krisis Rusia-Ukraina membuat banyak perusahaan kesulitan menarik minat investor terutama investor asing, yang kemudian sangat mungkin dikaitkan dengan fenomena bubble burst. Pendapat tersebut juga diamini oleh Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini yang mengatakan bahwa fenomena PHK massal yang terjadi di sejumlah startup di Indonesia dalam waktu berdekatan ini bisa dibilang sebagai bubble burst.
ADVERTISEMENT
---
Dalam ekonomi Kapitalistik, kita sudah lazim dengan istilah bubble economy atau gelembung ekonomi. Kondisi ini mengingatkan kita akan peristiwa meletusnya gelembung ekonomi berupa Depresi Besar (The Great Depression) di tahun 1929-1939, gelembung Dotcom (Dotcom Bubble) pada tahun 1998-2000, maupun krisis keuangan yang disebabkan oleh ambruknya perusahaan peminjaman utang pembelian rumah (subprime mortage) pada tahun 2007-2009 yang lalu.
Gelembung ekonomi dapat didefinisikan sebagai siklus ekonomi di mana terdapat peningkatan yang sangat cepat terhadap nilai suatu objek. Dinamakan bubble atau gelembung karena peningkatan yang cepat ini kelamaan akan pecah, layaknya gelembung. Dengan kata lain, harga yang melambung tinggi tersebut, pada suatu titik, akan menjadi sangat rendah. Fenomena bubble economy lazim terjadi pada efek, pasar saham, dan bisnis properti.
ADVERTISEMENT
Kalau diamati lebih dalam sebenarnya fenomena bubble burst ini tidak bisa terjadi secara sendirian atau tiba-tiba. Sistem kapitalisme jika ditelaah dengan jujur, berperan sebagai pemicu terjadinya krisis-krisis ekonomi maupun keuangan global yang berulang, dengan dampak yang semakin parah. Krisis demi krisis terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Dari krisis di Asia, Amerika Serikat, Eropa maupun berbagai belahan dunia lainnya. Akar masalahnya adalah adanya pertumbuhan sektor non riil yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor riil. Sedangkan tumpuan utama sistem ekonomi kapitalis adalah ekonomi non riil.
Sistem ekonomi non riil inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya gelembung ekonomi, dimana telah menjadikan uang sebagai komoditas. Seperti transaksi yang terjadi di pasar modal, bursa saham dan lembaga keuangan ribawi lainnya. Pecahnya gelembung ekonomi sebenarnya juga bisa dipicu oleh sektor riil, terutama pada harga aset dan properti yang harganya meningkat tajam sehingga harganya sangat fantastis dan tidak rasional. Inilah yang terjadi pada perusahaan startup tersebut, dimana nilai yang disorot jauh melebihi nilai intrinsiknya.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya semua itu akan memunculkan fenomena bubble burst, yaitu suatu perdagangan dalam volume besar yang harga barang atau benda itu terjadi perbedaan antara nilai nominal dan nilai intrinsiknya. Gelembung ekonomi terjadi terutama di sektor ekonomi non riil maupun sektor riil yang berkelindan dengan sektor non riil.
Di sisi lain, perusahaan Startup juga sangat bergantung pada investasi asing. Ini justru akan memperparah kondisi. Sebagaimana pendapat Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik Junaidi Rachbini, investasi asing pada perusahaan startup dalam negeri menyebabkan terjadi defisit transaksi berjalan, sehingga modal berpindah ke luar negeri.
Peneliti INDEF, Bhima Yudhistira juga mengatakan, keberadaan startup yang didanai asing memperparah defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan. Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal-I 2019 tercatat sebesar US$ 7 miliar atau 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
ADVERTISEMENT
---
Fakta yang nampak menunujukkan ekonomi kapitalistik memunculkan banyak krisis sehingga tidak layak digunakan jika manusia menginginkan kesejahteraan. Sudah saatnya kita mencari jalan ekonomi alternatif yang mampu menjawab tantangan ekonomi di masa depan, yaitu ekonomi Islam. Sebuah aturan unik yang diturunkan oleh Sang Maha Kuasa.
Sistem ekonomi Islam berbeda jauh dengan ekonomi kapitalis. Ekonomi islam hanya berfokus pada pembangunan ekonomi sektor riil dan menutup ruang untuk sektor ekonomi nonriil. Karena dalam kacamata islam, ekonomi nonriil bertentangan dengan sistem Islam. Sehingga perusahaan Startup juga hanya diperbolehkan berjalan dalam koridor ekonomi riil.
Negara yang mengambil ekonomi Islam akan menjalankan ekonominya diatas ekonomi riil, sehingga industry menjadi prioritas dan produksipun terus berkembang inovatif. Maka negara tidak akan bergantung pada keran impor.
ADVERTISEMENT
Islam juga tidak memperkenankan untuk bergantung pada investasi asing. Karena hal tersebut akan memberi peluang masuknya asing untuk mengacak-acak kedaulatan negara. Apalagi startup bisa dijadikan jalan bagi para pemodal asing untuk menguasai big data.
Permasalahan mendasar dan turunan dari sistem ekonomi kapitalisme sangat kompleks, mulai dari kesenjangan ekonomi yang makin menganga, gelembung ekonomi, sampai bisa berimbas pada naiknya angka kriminalitas dan permasalahan sosial lainnya. Dengan demikian sudah saatnya kita beralih pada sistem ekonomi Islam yang insyaAllah akan menjadi solusi masalah ekonomi umat.