Melihat Penggunaan Ganja di Dunia Medis

1 April 2017 7:31 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi daun ganja. (Foto: Pixabay)
Bak pedang bermata dua. Demikianlah jika kita menggunakan ganja sebagai obat medis di beberapa negara, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, penggunaan Cannabis sativa untuk pengobatan beberapa penyakit memang bermanfaat. Namun di sisi lain, legalitas hukum dilanggar dan efek samping akibat penggunaan ganja medis masih diperdebatkan. [Baca:
Padahal, kebutuhan ganja sebagai salah satu obat dalam dunia medis sudah ada sejak berabad-abad lalu. Di dalam ganja, para peneliti menemukan komponen zat aktif yang kemungkinan bisa membantu pengobatan. Komponen itu ialah senyawa kimia yang disebut cannabinoids.
Cannabinoids banyak ditemukan dalam ganja. Dua senyawa aktif cannabinoids yang sudah diteliti antara lain delta-9-tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD).
Zat-zat tersebut konon bisa membantu menyembuhkan dan mengurangi gejala penyakit tertentu seperti radang usus (inflammatory bowel disease/IBD), kanker, juga dapat meningkatkan nafsu makan pada penderita HIV/AIDS, hepatitis C, gangguan stres, pascatrauma, glaukoma, epilepsi, dan beberapa penyakit lain.
ADVERTISEMENT
“(Ganja) untuk mengobati beberapa penyakit seperti penyakit pencernaan memang bisa, namun untuk kasus lain seperti kanker, ganja digunakan hanya untuk mengurangi gejalanya. Tapi masih banyak obat lain yang bisa digunakan, jadi bukan obat pilihan utama,” kata dokter Albert.
[Baca juga:]
Ganja sebagai obat. (Foto: Dok. Wikimedia Commons)
Dilansir cancer.org, penggunaan ganja sebagai obat di Amerika Serikat pun masih diawasi secara ketat. Badan obat-obatan Amerika, Drug Enforcement Administration (DEA) melarang ganja untuk diresepkan, dimiliki, dan dijual secara bebas.
Begitu pula dengan Food and Drug Administration (FDA) atau badan pengawas makanan dan obat-obatan yang melarang semua jenis produk dari ganja. [Baca: ]
Meski demikian, terdapat pengecualian di 28 negara bagian di Amerika Serikat seperti Arizona, Florida, dan Washington yang memperbolehkan ganja digunakan hanya untuk pengobatan pada beberapa kondisi medis.
ADVERTISEMENT
Aturan ketat penggunaan ganja untuk medis di AS pun berbeda-beda antarnegara bagian. Di Alaska misalnya, penggunaan ganja sebagai obat dibatasi hanya 28 gram untuk satu kali pemakaian, sementara di Arkansas 85 gram untuk periode 14 hari penggunaan.
[Baca juga: ]
Penggunaan ganja sebagai obat. (Foto: Dok. Wikipedia)
Meski penelitian soal manfaat ganja untuk medis terhitung belum begitu banyak, namun pada beberapa studi kasus kecil, penggunaan ganja pada pasien kanker dikabarkan bisa mengurangi mual dan pusing usai menjalani kemoterapi.
Para penderita kanker biasanya ‘menikmati’ pengobatan ganja melalui makanan seperti kue. Tetap, pemakaian ganja dalam makanan itu harus menggunakan izin tertentu. (Baca: )
Pengawasan ketat atas penggunaan ganja sebagai obat medis, tak lepas dari efek samping yang mungkin ditimbulkan. Dilansir webmd.com, pada kondisi pasien yang berbeda, penggunaan ganja bisa membuat perubahan mood seperti mendadak ceria, santai, mengantuk, atau justru jadi cemas. Efek samping ini bisa bertahan 1 hingga 3 jam.
ADVERTISEMENT
Sangat sulit memprediksi efek ganja medis pada pasien karena tanaman ganja punya banyak senyawa aktif. Efek bisa dirasakan berbeda-beda berdasarkan waktu pemakaian ganja dan dosis yang digunakan.
Medical marijuana atau ganja medis (Foto: Thinkstock)
Legalitas ganja sebagai obat medis baru-baru ini disetujui oleh senat Argentina. Negeri itu mengizinkan penggunaan ganja untuk dunia medis, baik dalam bentuk minyak atau turunan lain dari produk ganja, dengan ketentuan yang ketat.
Namun meski makin banyak negara yang melegalkan ganja untuk kepentingan medis, di Indonesia ganja masih termasuk narkotika kelas I dan dilarang penggunaannya dalam bentuk apapun. [Baca: ]
Ganja bisa digunakan untuk keperluan medis (Foto: Thinkstock)
Saatnya ganja untuk kepentingan kemanusiaan dibahas serius.
Ganja bisa digunakan di bidang medis (Foto: Thinkstock)