Suara Betharia: dari Pencekalan hingga Kekerasan dalam Rumah Tangga

NM Dian N Luthfi
Peneliti Hukum dan HAM yang tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, hukum, budaya, pendidikan, gender dan antropologi.
Konten dari Pengguna
14 Desember 2022 7:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NM Dian N Luthfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: YouTube Musica Klasik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: YouTube Musica Klasik
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jauh sebelum menyadari bahwa ada sebuah pesan yang penting yang ingin disampaikan oleh perempuan dari lagu tersebut —yang barangkali juga mewakili suara-suara perempuan yang tidak pernah tersampaikan, mengingat perempuan dibentuk untuk menjadi seorang yang “penurut” dan tidak memiliki ruang untuk menyampaikan pendapat— dikutip dari Tempo.com, sejarah telah mencetak pencekalan beberapa lagu yang dianggap “cengeng”, “Hati yang Luka” ciptaan Obbie Messakh adalah salah satunya.
ADVERTISEMENT
Harmoko, yang saat itu Menteri Penerangan mengatakan bahwa lagu-lagu cengeng harus distop karena dianggap menghambat pembangunan. Hal tersebut menambah daftar panjang represifitas yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada masa itu. Selain itu, pemerintah Orde Baru tidak menganggap Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai sesuatu yang penting, sehingga kritik (terhadap penindasan perempuan) yang dibangun melalui musik, menjadi hal yang tidak perlu karena “melumpuhkan semangat.”
Suara Betharia dan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Tak jarang musik menjadi sebuah pelarian dari sebuah kenyataan. Pesan “Hati yang Luka” yang bahkan masih sangat relevan sampai hari ini, menggambarkan perempuan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang speak-up setelah berusaha untuk seuat tenaga mempertahankan rumah tangganya. Perempuan yang rela menjadi sasaran empuk oleh sang suami ketika sang suami terbukti “membagi cinta.”
ADVERTISEMENT
Selain itu, situasi yang tidak mudah juga menjadi alasan perempuan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), sehingga harus “terpaksa” mempertahankan rumah tangganya. Perempuan akan dihadapkan dengan berbagai pertimbangan seperti: masa depan anak tanpa orangtua yang lengkap atau ketakutan untuk menjadi janda. Kedua hal tersebut menjadi faktor yang paling sering mempengaruhi perempuan sampai pada akhirnya ia harus “bertahan.”
Tidak cukup menjadi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), stigma negatif terhadap ibu tunggal dan janda memiliki ruang tersendiri yang memaksa perempuan untuk memikirkan ulang dan tak jarang, perempuan, lagi-lagi perempuan harus menjadi korban untuk penindasan yang berlapis.
Penggambaran situasi perempuan dalam lirik lagi tersebut persis seperti apa fenomena yang menggemparkan masyarakat Indonesia ketika salah seorang penyanyi dangdut berinisial LK menjadi korban kekerasan oleh sang suami (RB). Kasus yang berakhir pada pencabutan laporan oleh LK atas dugaan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dilakukan oleh suaminya, RB, dilakukan untuk kepentingan sang anak.
ADVERTISEMENT
Tak sedikit yang menganggap tindakan LK sebagai prank kepada publik yang sejak awal mendukungnya. Anggapan tersebut ada karena alpanya pemahaman publik bahwa LK adalah korban dan perempuan yang rentan serta dikonstruksikan untuk tidak memiliki banyak pilihan. Dalam hal ini LK, menjadi korban yang berlapis: korban dalam rumah tangga dan stigma masyarakat.
Space bagi Pelaku KDRT
Terlepas dari pesan penting dari seorang perempuan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), hal lain yang patut disoroti adalah keterlibatan pelaku dalam pelantunan lagu “Hati yang Luka.” Hal ini menjadi menarik karena sangat relevan dengan kasus-kasus KDRT di Indonesia yang masih memberikan ruang bagi para pelaku untuk berpendapat bahkan menyanggah tuduhan dugaan KDRT.
Pelaku, yang seringkali adalah laki-laki, sekalipun telah melakukan KDRT akan dengan mudah mendapatkan ruang di dalam masyarakat bahkan hukum di negara kita. Pasal 34 ayat (2) UU 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Pasal ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi perempuan (istri) sebagai korban KDRT. Jika perceraian terjadi, yang kerap kali disalahkan adalah istri, sebab tidak mampu mengatur rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya janda, di masyarakat sering dipandang sebagai sesuatu yang “salah” sehingga banyak hal yang harus ia “perbaiki”. Setiap tindakan dan penampilannya akan selalu menjadi topik pembicaraan masyarakat, bahkan sesama perempuan yang kerap kali khawatir akan keberadaan “janda lebih menggoda”. Penindasan yang justru hadir dari sesama perempuan hari ini, adalah bentukan dari dominasi patriarki yang mendiskreditkan peran perempuan sehingga salah satu cara perempuan untuk “terlihat” adalah dengan menjatuhkan perempuan lain.