Guru Besar IPB Paparkan Penanganan Cacing Parasit Schistosoma japonicum

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
Konten dari Pengguna
15 Juli 2022 14:18 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Guru Besar IPB University Paparkan Rekomendasi Penanganan Cacing Parasit Schistosoma japonicum
zoom-in-whitePerbesar
Guru Besar IPB University Paparkan Rekomendasi Penanganan Cacing Parasit Schistosoma japonicum
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Prof Fadjar Satrija, Guru Besar IPB University dari Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB) sarankan konsep one health untuk mengatasi cacing Schistosoma japonicum, penyebab schistosomiasis. Ia menjelaskan, cacing parasit Schistosoma japonicum merupakan sumber penyakit demam keong yang endemis di Sulawesi Tengah, tepatnya di dataran tinggi Lindu, Napu, dan Bada.
ADVERTISEMENT
“Cacing dewasa hidup di dalam pembuluh darah. Daur hidup S. japonicum memerlukan induk semang antara keong Oncomelania hupensis lindoensis yang hanya ditemukan di wilayah Sulawesi Tengah,” kata Prof Fadjar saat Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar yang digelar secara daring, 14/7.
Ia menyebut, selain menginfeksi manusia, cacing S. japonicum juga dapat menginfeksi hewan domestik seperti sapi, kerbau, kuda dan babi serta beberapa satwa liar seperti tikus hutan, musang, rusa, dan babi hutan. Namun demikian, pengetahuan tentang schistosomiasis pada hewan di daerah endemik sangat kurang.
“Penelitian yang Saya lakukan bersama tim terkait peran hewan dalam transmisi schistosomiasis di daerah Danau Lindu menunjukkan bahwa prevalensi schistosomiasis pada hewan peliharaan tinggi yaitu rerata 35,8 persen,” katanya.
ADVERTISEMENT
Dosen IPB University itu melanjutkan, berdasarkan spesies hewan peliharaan yang diperiksa, prevalensi schistosomiasis tertinggi ditemukan pada sapi (61,5%), disusul kerbau (43,3%), babi (35,6%), kuda (25%) dan terendah pada anjing (12,5%). Menurutnya, kerbau, sapi, dan kuda adalah sumber utama kontaminasi telur S. japonicum di lingkungan dengan indeks transmisi relatif masing-masing sebesar 62,34%, 24,03%, dan 11,18%.
Prof Fadjar menjelaskan, berbagai upaya pengendalian telah dilakukan. Pengendalian schistosomiasis yang dilaksanakan secara intensif sejak tahun 1982 dengan kesehatan manusia sebagai leading sector telah berhasil menekan prevalensi penyakit dari 33,8% menjadi sekitar 1-2%.
Selain itu, prevalensi schistosomiasis pada penduduk dataran tinggi Lindu, Kabupaten Sigi, serta dataran tinggi Napu dan Bada, Kabupaten Poso dalam lima tahun terakhir berfluktuasi di bawah 2%. “Hal ini menunjukkan bahwa infeksi ulang selalu terjadi di lapangan, meskipun program pengobatan sudah rutin dilaksanakan,” kata Prof Fadjar Satrija, pakar Parasitologi Veteriner dari IPB University.
ADVERTISEMENT
Prof Fadjar menjelaskan, dalam rangka membebaskan Indonesia dari schistosomiasis, Kementerian Kesehatan bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, bermitra dengan Kementerian terkait, dan Pemerintah Daerah endemis dengan dukungan WHO Indonesia Office, bersama-sama menyusun “Roadmap Eradikasi Penyakit Demam Keong (Schistosomiasis) Tahun 2018-2025”. Roadmap tersebut disusun dengan pendekatan one health. Hal ini didasarkan atas pelajaran utama yang didapatkan dari usaha pengendalian schistosomiasis di Indonesia sejak tahun 1975, yaitu pentingnya pelaksanaan usaha pengendalian di semua induk semang S. japonicum secara terpadu dan bersamaan.
Dalam proses implementasi road map tersebut, katanya, terdapat sejumlah kendala teknis yang menghambat pencapaian sasaran. Terlepas dari kendala dan permasalahan yang dihadapi, kolaborasi antar lintas disiplin ilmu yang dibangun pada saat proses penyusunan roadmap masih terus berjalan, sehingga memungkinkan identifikasi masalah secara cepat dan akurat.
ADVERTISEMENT
“Identifikasi kendala dalam proses implementasi roadmap secara kolaboratif memungkinkan perumusan dan penerapan langkah penyelesaian masalah dengan segera. Hal ini merupakan bukti nyata relevansi konsep one health dalam usaha pengendalian schistosomiasis,” kata Prof Fadjar.
Oleh sebab itu, katanya, aplikasi konsep one health dalam roadmap eliminasi schistosomiasis hendaknya diadaptasi dan diterapkan untuk pengendalian cacing zoonotik lainnya. (*)