Indonesia di Tengah Pandemi dengan Segala Kesuramannya

Nauval Pally Taran
Sarjana Hukum Universitas Syiah Kuala - Pedagang paruhwaktu, pelajar purnawaktu
Konten dari Pengguna
3 Agustus 2021 18:59 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nauval Pally Taran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Mario Hagen, pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Mario Hagen, pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di tengah pandemi yang belum kelihatan ujungnya di mana, Indonesia masih tampak seperti pasar bebas bagi pikiran-pikiran yang mencemaskan. Sejumlah orang kerap menjajakan pikiran-pikiran suram untuk meyakinkan orang agar ramai-ramai lari dari kenyataan, mengingkari pandemi yang penyebarannya sudah tidak biasa-biasa saja.
ADVERTISEMENT
Orang-orang itu mungkin akan terus begitu, kendatipun pandemi itu meledak tepat di hadapannya. Manusia dengan segala keteguhannya (mungkin Anda bisa menyebutnya kebebalan) senantiasa dapat membuat banyak alasan untuk menolak hal-hal yang sedari awal tak ingin dia percaya. Ketidaksukaan atas dasar-dasar politis menambah kesanggupan untuk itu.
Kita mendapati kisah-kisah memilukan; tentang mereka yang kehilangan keluarganya karena kadung mempercayai bahwa Covid-19 adalah rekayasa dan akhirnya enggan dirujuk ke rumah sakit dan akhirnya meninggal. Ada banyak orang yang meyakini bahwa tenaga kesehatan punya semacam rutinitas baru di masa pandemi ini; mengcovid-covidkan pasien.
Cukup rumit untuk dipikirkan, bagaimana orang ramai-ramai bisa percaya bahwa tenaga kesehatan yang begitu banyaknya, yang tentu orang-orang baik masih tersedia di sana, dapat didakwa telah melakukan satu persekongkolan yang luar biasa jahatnya. Sementara itu, ganasnya pandemi ini telah merenggut ribuan nyawa tenaga kesehatan itu yang sejak lama pasang badan dengan tabahnya.
ADVERTISEMENT
Indonesia di tengah pandemi menjadi ladang persemaian hoaks. Ada cukup banyak orang yang begitu siap dan terbuka untuk menerima dan percaya terhadap informasi-informasi yang tidak benar. Hoaks memang istimewa; ia sering lebih menarik untuk dipercaya karena acap membawa potensi kegemparan.
Saya jadi ingat satu pernyataan menggugat dan memikat dari Kiai Zainuddin MZ: “Orang Indonesia ini seperti daun kering; berisik, gampang dikumpul, dan lekas terbakar.” Itu adalah sifat-sifat yang sempurna bagi ladang persemaian hoaks.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mendata bahwa dalam rentang waktu 23 Januari 2020-25 Juni 2021 ditemukan sebanyak 1.670 hoaks seputar Covid-19. Itu bukan angka yang biasa dan tentu meresahkan.
Syukur bahwa dari angka seribuan itu, ada 113 perkara hoaks sedang ditangani oleh aparat penegak hukum. Negara memang perlu bersikap tegas dalam masalah ini, sebab, problemasi hoaks dalam masa pandemi ini, perkaranya bukan hanya soal pengelabuan terhadap masyarakat, tapi sudah berurusan langsung dengan nyawa manusia.
ADVERTISEMENT
Hoaks menghujamkan dalam-dalam kesadaran palsu pada alam pikiran masyarakat. Dan itu, dalam banyak hal, mematikan empati.
Ketika media-media merilis berita duka tentang korban pandemi, ada banyak orang menyambut berita-berita itu dengan emotikon tawa. Itu suram sekali. Sulit membayangkan, bagaimana mungkin ada orang yang sanggup menyambut berita duka dengan emotikon-emotikon tawa.
Namun, di balik segala kesuraman itu, negara ini semestinya dapat menyadari satu hal yang lebih mendasar. Pandemi ini menyingkap bahwa betapa masih rapuhnya kita sebagai sebuah bangsa. Rapuh, bukan soal kerentanan jasmaniah terhadap serangan penyakit atau virus atau apa saja yang semisalnya, tapi soal rapuhnya nalar dan kesadaran publik, bahkan kadang untuk memahami kenyataan yang begitu sederhana sekalipun.
Kita jadi paham, bahwa amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, perjalanannya masih sangat panjang, bila memang selama ini kita benar-benar telah memulainya, dan syukur-syukur bila kita telah memulainya di atas jalan yang benar.
ADVERTISEMENT
Namun yang jelas, sampai sudah sejauh ini perjalanan kita, perangai ilmiah rasanya masihlah semacam privilese atau barang mewah, tentu tidak hanya bagi kalangan rakyat, tetapi juga banyak pejabat—yang sikapnya juga sering bermasalah. Dan itu kerap memunculkan banyak soal kemanusiaan. Dalam pandemi ini kita melihatnya lebih terang.