Seksisme dan Iklan di Indonesia

Nara Rakhmatia
Diplomat Indonesia
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2018 1:19 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nara Rakhmatia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seksisme masih banyak ditemukan dalam berbagai iklan produk. Masa’ sih? Meskipun kita tidak menyadari, jawabannya, iya! Eits, jangan salah, seksisme ini menimpa baik laki-laki maupun perempuan.
ADVERTISEMENT
Sebuah artikel berjudul “Which adverts drew complaints over sexism”, yang ditulis di BBC News oleh Jennifer Scott, pada tahun 2017, mengangkat kasus sebuah iklan susu formula untuk bayi yang mengundang kontroversi di Inggris. Dalam iklan terdapat seorang bayi perempuan yang digambarkan akan menjadi penari balet ketika dewasa, dan bayi laki-laki yang akan menjadi insinyur.
Ilustrasi stop seksisme (Foto: fr.wikipedia.org)
Sekilas hal ini terlihat wajar. Apa salahnya jika perempuan menjadi penari balet dan laki-laki menjadi insinyur? Ternyata iklan ini dianggap menegaskan stereotip negatif peran gender bahwa perempuan “hanya” memiliki aspirasi pekerjaan yang secara tradisional dianggap “feminin”, dan begitu juga sebaliknya laki-laki untuk pekerjaan yang dianggap “maskulin”. Oleh karena alasan ini, iklan tersebut dianggap seksis, atau mengandung unsur seksisme.
ADVERTISEMENT
Hal serupa terjadi pada iklan sebuah merk pakaian anak dari Amerika Serikat yang menggambarkan anak laki-laki sebagai pelajar kecil seperti ilmuwan Albert Einstein, sementara anak perempuan lebih senang bergaul, atau menjadi “social butterfly”.
Iklan ini dianggap tidak memberi nilai yang baik untuk diteladani oleh anak-anak dan seolah menggambarkan bahwa anak perempuan tidak secerdas anak laki-laki. Akibat penayangan iklan semacam ini, Advertising Standards Authority (ASA), organisasi yang mengatur periklanan di Inggris, mulai tahun 2018 menerapkan aturan yang lebih ketat terhadap iklan-iklan berbau seksisme di Inggris.
Marie Curie, ilmuwan perempuan penerima hadiah Nobel dalam bidang fisika dan kimia. (Foto: lesuricate.org)
Galak juga ya, pengaturan iklan di Inggris. Apa salah iklan-iklan ini? Nah, sebelum kita mulai menggaruk aspal karena kebingungan, coba kita pahami pengertian dari seksisme.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia serta kamus Merriam-Webster, Cambridge, dan Oxford, dapat ditarik unsur-unsur pengertian dari seksisme, yaitu:
• meremehkan atau menghina berkenaan dengan kelompok, gender, ataupun individual;
• prasangka, stereotip, diskriminasi, umumnya terhadap perempuan, berdasarkan jenis kelamin;
• Tindakan, situasi, atau perilaku yang menekankan stereotip peran sosial berdasarkan jenis kelamin;
• Kepercayaan bahwa anggota salah satu jenis kelamin kurang cerdas dan kurang mampu melakukan suatu aktivitas atau pekerjaan dibanding jenis kelamin yang lain.
Lebih lanjut Nona Gae Luna dalam tulisannya berjudul “Setop Seksisme dalam Kehidupan Sehari-hari” di media online kumparan telah melakukan telah sejarah dari kata “seksisme”. Kata tersebut mulai menyebar di Amerika Serikat pada tahun 1960-an, pada saat tokoh-tokoh feminisme menyadari bahwa penindasan dan diskriminasi yang dialami perempuan dilakukan oleh seluruh masyarakat, termasuk perempuan sendiri. Para pelaku pun melakukannya tanpa kesadaran penuh karena tindakan yang sejatinya merupakan penindasan dan diskriminasi ini dianggap sebagai sesuatu yang normal.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan iklan-iklan di Indonesia? Mari kita amati bersama. Saat perhelatan Asian Games 2018 di Indonesia digelar, muncul sebuah iklan minuman penambah daya dengan tagline yang menyatakan bahwa olahraga itu bersifat kelaki-lakian. Sebuah tagline yang menggelikan mengingat terdapat 17 atlet perempuan dari 54 atlet yang berhasil mempersembahkan total 30 medali emas atas nama Indonesia, baik dalam cabang beregu ataupun individu.
Iklan di Indonesia, masih disuguhi iklan-iklan seksis. Misalnya menetapkan standar kecantikan perempuan, atau perempuan yang tak bisa hidup tanpa pria.
Seksisme dalam iklan turut menimpa laki-laki. Iklan minuman penambah daya yang mengidentikkan laki-laki dengan olahraga seperti disebut sebelumnya merupakan bentuk seksisme terhadap laki-laki. Jadi, apakah iklan ini menganggap laki-laki yang tidak suka atau bisa olahraga tidak layak disebut laki-laki?
ADVERTISEMENT
Namun, di balik berbagai iklan yang masih berbau seksis, penulis melihat ada perkembangan yang cukup mencerahkan dalam dunia periklanan di Indonesia. Sudah muncul iklan-iklan yang menggambarkan laki-laki yang turut aktif terlibat dalam kegiatan yang secara tradisional menjadi ranah “pekerjaan perempuan” seperti memasak di dapur atau mengganti popok bayi.
Mulai bermunculan juga iklan-iklan yang mengusung pesan kesetaraan antara suami-istri, pesan bahwa perempuan bisa memilih jalan hidupnya sendiri termasuk untuk urusan karier, hingga pesan bahwa kecantikan yang hakiki berasal dari dalam hati. Meski jumlahnya masih minimal, perkembangan ini adalah sebuah awal yang cukup baik. Lalu, bagaimana kita bisa terus mendorong perkembangan positif ini?
Pertama, perlu terus dikembangkan industri periklanan Indonesia yang kreatif menghasilkan konten iklan yang dapat menangkap pergeseran interaksi dan peran sosial dalam masyarakat Indonesia. Data yang dikeluarkan International Labour Organization (ILO) menyatakan bahwa angka partisipasi pasar kerja perempuan pada tahun 2016 mencapai 50,8 persen. Ini berarti separuh perempuan Indonesia adalah perempuan pekerja. Identitas para perempuan pekerja ini belum sepenuhnya terwakili oleh iklan-iklan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kedua, memperketat pengawasan terhadap dunia periklanan Indonesia untuk mematuhi Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang mengatur tata krama isi iklan, yang disusun oleh Dewan Periklanan Indonesia. Isi EPI mencakup komitmen mengukuhkan paham kesetaraan gender serta larangan melecehkan, mengeksploitasi, mengobyekkan, dan mengornamenkan perempuan sehingga memberi kesan yang merendahkan kodrat, harkat, dan martabat perempuan.
Ketiga, perubahan positif juga dapat didorong oleh perusahaan-perusahan multinasional melalui komitmen untuk menghapus unsur seksisme dalam iklan produk-produk mereka, seperti yang dilakukan oleh Unilever. Shierine Wangsa Wibawa dalam kompas.com menyebut bahwa komitmen tersebut diambil Unilever setelah hasil riset menunjukkan bahwa standar kecantikan yang tidak manusiawi dalam iklan justru mengakibatkan ketidakpercayaan diri perempuan.
Ditemukan juga minimnya penggambaran perempuan cerdas, berselera humor, hingga menempati posisi pimpinan, dalam berbagai iklan. Lebih lanjut, 40 persen perempuan responden dalam riset merasa tidak dapat mengidentifikasikan diri mereka dengan penggambaran perempuan dalam iklan.
ADVERTISEMENT
Keempat, yang paling relevan dengan kita, jadilah konsumen yang cerdas yang terlibat dalam upaya menghapus seksisme dalam iklan di Indonesia. Kita bisa mulai dengan tidak membeli produk-produk yang menampilkan iklan seksis. Mengapa kita harus turut peduli terhadap tampilan iklan di Indonesia? Apa pentingnya iklan? Iklan diputar berulang-ulang di media massa untuk periode waktu yang cukup lama. Pesan apapun yang disampaikan melalui iklan tersebut, akan dapat terserap oleh masyarakat penikmat iklan tersebut dan lama-kelamaan akan mempengaruhi pembentukan nilai dan budaya masyarakat Indonesia.
Jadi, dapat dikatakan bahwa iklan adalah bagian penting dari penciptaan nilai dan budaya di Indonesia. Oleh karena itu, mari kita ciptakan dunia periklanan Indonesia yang bebas seksisme.
ADVERTISEMENT
---