Mitigasi Risiko dalam Aspek Perjanjian Pranikah

Yayang Nanda Budiman SH
Legal Content Writer, Freelance Researcher, Kontributor Lepas dan Alumni S1 Hukum Universitas Galuh
Konten dari Pengguna
31 Januari 2024 12:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayang Nanda Budiman SH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perjanjian pranikah. Foto: sabthai/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perjanjian pranikah. Foto: sabthai/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mitigasi risiko dalam perjanjian pra-pernikahan menjadi pembahasan yang kerap dikesampingkan sebagian banyak orang. Mempunyai pasangan yang cocok kemudian membangun rumah tangga yang harmonis dan menyenangkan adalah keinginan dari setiap orang. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil. Maka benar bahwa pernikahan dianggap sebagai ibadah yang panjang dan perikatan yang sakral.
ADVERTISEMENT
Tak terlepas dari dimensi tradisi dan budaya, menjelang hari perayaan tiba setiap pasangan calon mempelai biasanya mempersiapkan beragam hal, mulai dari soal dekorasi pesta, seserahan, pembiayaan hingga pemeriksaan kesehatan. Namun sebagian banyak pasangan sering lupa atau bahkan tidak tahu persiapan lain yang tak kalah penting, yaitu aspek hukum yang akan timbul pasca pernikahan.
Perjanjian pra-nikah masih dianggap tabu oleh banyak kalangan. Adanya perjanjian pra-nikah tak luput dari tuduhan sebagian pihak sebagai ketidakpercayaan terhadap pasangan, dan seringkali juga orang menganggap bahwa melibatkan aspek hukum seperti perjanjian dalam pra-nikah akan merumitkan hubungan. Anggapan semacam itu sangat keliru. Perlu kita pahami bahwa melibatkan hukum dalam pra-pernikahan setidaknya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada setiap pasangan untuk dapat melindungi haknya dalam pernikahan.
ADVERTISEMENT
Ada istilah populer yang mengatakan begini:
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Semesta selalu bekerja dengan skenarionya, tidak hanya soal bahagia tapi juga bencana. Tentu kita tak mengharapkan bencana itu tiba menimpa diri kita, tapi sebagai manusia yang realistis kita perlu untuk memitigasi risiko supaya bencana itu tak berpotensi terjadi.

Perjanjian Pra-Nikah

Dalam praktiknya perjanjian pra-nikah seringkali diasosiasikan sebagai perjanjian pisah harta dan perjanjian perkawinan (prenuptial agreement). Perjanjian pra-nikah diatur dalam ketentuan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”. Tetapi pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 bahwa pencatatan perjanjian pra-nikah dapat dilakukan selama ikatan perkawinan dilangsungkan.
ADVERTISEMENT
Tak kalah penting perlu diperhatikan bahwa perjanjian pra-nikah harus didaftarkan agar unsur publisitas dari perjanjian yang telah dibuat terpenuhi. Pencatatan prenuptial agreement dilakukan supaya pihak ketiga mengetahui dan tunduk pada aturan yang dibuat dalam perjanjian. Untuk pembuatan perjanjian pra-nikah sendiri harus dibuat dalam bentuk akta otentik. Dalam hal persyaratan, pada dasarnya calon pasangan suami-istri bebas menuangkan syarat apa pun selama keduanya sepakat, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan ataupun ketertiban umum (vide Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Pernikahan).

Utility dan Substansi

Apabila dilihat dari aspek utilitas, perjanjian pra-nikah memiliki beragam kemanfaatan yang baik untuk pasangan seperti misalnya soal pemisahan harta kekayaan antara pihak suami dan istri; utang yang dimiliki suami atau istri akan menjadi tanggung jawab masing-masing; menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga; melindungi kepentingan pihak istri apabila pihak suami melakukan poligami, menghindari motivasi perkawinan yang tidak sehat, dll.
ADVERTISEMENT
Dari beragam manfaat yang didapat kita dapat melihat hampir sebagian besar menyangkut soal kebendaan. Harta kekayaan seringkali menjadi masalah sensitif dalam hubungan, terutama ketika terjadi konflik bahkan hingga berujung perceraian. Tidak sedikit rumah tangga harus usai karena faktor ekonomi yang mendasari.

Mitigasi Risiko

Menurut hemat penulis, pernikahan adalah seni berkompromi. Dari pernikahan kita belajar untuk terbiasa menurunkan intensitas ego yang kita miliki. Menyatukan dua isi kepala yang berbeda bukanlah perkara yang mudah, dan komunikasi adalah faktor penting guna mencapai keharmonisan itu terjadi. Penulis percaya bahwa tidak sedikit permasalahan datang karena ketidaksesuaian pemahaman dan misskomunikasi.
Dan dalam konteks pembahasan soal perjanjian pra-nikah, komunikasi dan keterbukaan memiliki peran penting. Dari perspektif hukum, perjanjian pra-nikah bukanlah kewajiban, melainkan opsional. Namun dari perjanjian pra-nikah  kita dapat membiasakan diri untuk berdialog atas banyak hal seperti bagaimana kita mengelola keuangan, rencana pendidikan anak, asuransi, harta benda dan atas banyak hal yang akan terlibat dalam pernikahan. Secara tak langsung dari perjanjian pra-nikah kita juga belajar untuk terbiasa mendengarkan, terbuka, saling memahami dan membiasakan memecahkan masalah secara bersama.
ADVERTISEMENT