Ali Shariati dan Haji yang Kuratif

Naldo Helmys
CPNS Diplomat Pusat Strategi Kebijakan Multilateral Kementerian Luar Negeri. Dosen Tutor Ilmu Pemerintahan Universitas Terbuka. Penulis Isu-isu Hubungan Internasional. Semua tulisan di platform ini adalah pandangan pribadi.
Konten dari Pengguna
4 Juli 2022 18:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naldo Helmys tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kedatangan kloter pertama calon jemaah haji dari Indonesia yang tiba di Bandara Internasional Prince Mohammed Bin Abdulaziz, Madinah pada 4 Juni 2022 (sumber: kemlu.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Kedatangan kloter pertama calon jemaah haji dari Indonesia yang tiba di Bandara Internasional Prince Mohammed Bin Abdulaziz, Madinah pada 4 Juni 2022 (sumber: kemlu.go.id)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mazinan, desa kecil di pinggiran Mashad, Iran, pada tahun 1933 pernah menjadi saksi bisu atas kelahiran sosiolog sekaligus filsuf Muslim modern berpengaruh. Yang dimaksud tidak lain adalah Ali Shariati, ideolog di balik Revolusi Iran 1979, yang justru terjadi dua tahun setelah kematiannya.
ADVERTISEMENT
Pemikiran Shariati, dalam konteks saat itu, revolusioner. Dia hadirkan interpretasi baru teologi Syiah yang pasif politik dan cenderung pasrah akan penindasan sebagai takdir yang harus diterima untuk berubah menjadi kekuatan revolusioner yang luar biasa. Shariati pula, dengan teologi pembebasan, mendorong ulama berperan nyata mengayomi umat. Sulit membayangkan Imam Khomeini berhasil memimpin revolusi tanpa pemikiran Shariati yang sebelumnya sudah menyusupi benak anak muda di Iran.
Ali Shariati, lahir di Mashad, Iran, 1933 dan wafat di Southampton, Inggris, 1977, dikenal sebagai pakar sosiologi agama yang pemikirannya turut melandasi lahirnya Revolusi Iran tahun 1979.
Salah satu karya Shariati yang menarik dibaca kembali, apalagi menjelang Hari Raya Idul Adha, adalah Hajj. Meski Shariati sendiri meraih doktor sosiologi dari Universitas Paris pada tahun 1964, Hajj jauh disebut sebagai karya ilmiah. Dalam Hajj, Shariati malah menjalin intelektualitas dengan spiritualitas akan pengalamannya dan penafsirannya tentang ibadah haji itu sendiri. Justru di sinilah sisi menariknya.
ADVERTISEMENT
Shariati tidak membicarakan haji dalam konteks fiqih dan ibadah. Tujuannya memang bukan menghadirkan panduan berhaji sesuai syariat agar diterima oleh Allah. Namun, penekanan Hajj adalah pada upaya bagaimana agar haji yang dilakoni dapat mengubah diri kita menjadi lebih baik atau mabrur secara makna.
Bagi Shariati, haji adalah suatu perjalanan evolusi manusia agar menjadi lebih baik, yaitu ketika manusia mampu menuju Allah. Di sini ditemukan ironi manakala haji bagi Shariati adalah perubahan perlahan, pemikirannya yang lain justru menyulut revolusi di Iran. Kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa generasi muda sekarang, haji merupakan healing atas kehidupan yang amat tidak menyenangkan. Lain kata, haji adalah suatu perjalanan kuratif nan menyembuhkan.
Lalu, sembuh dari apa? Singkatnya, dari hidup yang tidak bermakna, tanpa tujuan, membosankan, toxic, penuh keresahan dan ketakutan, penuh kerakusan, atau apapun yang lantas membuat manusia lebih menonjolkan sifat-sifat kebinatangannya. Shariati menyebutnya dengan serigala (keganasan dan penindasan), rubah (tipu muslihat), tikus (kelicikan), dan domba (perbudakan). Kalau hidup terjebak dalam ketiadaan makna seperti itu, manusia tidak lain seperti jiwa mati dalam bangkai yang hidup.
ADVERTISEMENT
Haji kemudian dimaknai sebagai antitesis dari hidup yang tidak bermakna itu. Berhaji berarti kembali kepada Allah. Berhaji berarti bergerak kembali kepada kesempurnaan, kebaikan, keanggunan, kekuatan, pengetahuan, dan nilai. Dalam setiap tahapan haji itu terkandung makna yang pada akhirnya membawa pelaku haji kepada perubahan.
Dimulainya haji ditandai dengan miqat. Lalu, jemaah ditutup dengan kain ihram: lembar putih tak berjahit. Di sini Shariati menekankan bahwa manusia bukan ‘mengenakan’ pakaian ihram, melainkan ‘ditutup’ olehnya. Ini pun ada makna tersendiri. Jika sehari-hari, manusia mengenakan pakaian yang melambangkan status, kelas, klan, kelompok, posisi, keluarga, dan nilai, maka ketika berhaji, segala jenis pakaian yang sifatnya ‘membatasi’ dan ‘diskriminatif’ itu ditanggalkan. Lalu, manusia hanya ditutupi dengan kain ihram, pertanda kembalinya manusia pada satu kelas yang sama, setara. Ketika itu, tidak ada lagi ‘aku’ yang ada hanya butir-butir yang membentuk keseluruhan samudera umat.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ketika jemaah haji tiba di hadapan Kakbah, yang mereka temukan adalah ketiadaan. Kakbah, bagi Shariati, adalah perlambang dari ketiadaan. Hanya bangunan hitam berbentuk kubus, tanpa arsitektur menarik, tanpa bubuhan seni. Tidak ada pula di sana orang suci atau nabi yang dapat ditemui. Tidak ada apa-apa. Kosong. Menurut Shariati, tidak ada apapun pada Kakbah menunjukan bahwa itu bukanlah tujuan, melainkan petunjuk arah (kiblat) menuju Allah.
Para jemaah mengelilingi Kakbah yang dikenal sebagai tawaf. Pada proses tawaf, tidak ada lagi keakuan, yang ada hanya kesatuan membentuk umat yang bersama-sama menuju Allah. Yang menarik, bagi Shariati ini menunjukkan bahwa sebelum mendekati sang ilahi yang transenden, manusia harus hidup atau terjun ke dalam persoalan manusia. Di sini Shariati menolak kesalehan yang individualis dan terisolasi dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Shariati tidak melihat kesalehan sosial dan pembebasan sebagai sesuatu yang terpisah. Tampak dari bagaimana dia melihat perjalanan Nabi Ibrahim dan istrinya Hajar dalam ibadah haji. Berdiri salat di maqam Ibrahim adalah perlambang pembebasan jiwa dari masa lalu yang kelam. Sebab, Nabi Ibrahim dikisahkan telah bertransformasi dari seorang anak dari pembuat berhala menjadi seorang yang merdeka secara pikiran untuk mendirikan sendiri rumah Allah. Sedangkan perjalanan Hajar terlihat dari ritual safa dan marwah. Pemaknaan paling dalam di sini adalah meneladani Hajar berulang kali bolak-balik dari kedua bukit itu untuk mencari makan bukan untuk dirinya semata, tetapi juga untuk orang lain.
Salah satu rukun haji yang tidak ada pada umrah tentunya adalah wukuf di Padang Arafah. Bagi Shariati, proses ini menarik. Penanda haji justru adalah ketika jemaah meninggalkan Kakbah dan bertolak ke Arafah. Ini kembali mempertegas bahwa Kakbah bukan tujuan, melainkan petunjuk arah. Di Arafah, manusia merepetisi penciptaan manusia sebab proses ini berkaitan dengan kisah Nabi Adam dan Hawa. Tema Adam ini sering muncul dalam pandangan sosiologi Shariati, yang sedikit banyak berpengaruh pada teologi pembebasannya untuk mengubah Iran.
ADVERTISEMENT
Interpretasi Shariati akan haji memang tidak terlepas dari lingkungan psikologis Syiah. Sehingga dalam menjabarkan metafora dalam ritual haji, Shariati cukup sering mengambil contoh pada figur-figur yang dihormati umat Syiah. Tentunya, pemikiran Shariati terbuka untuk dikritik agar relevansinya terus ada. Jika tidak demikian, Hajj sebagai salah satu literatur penting dalam pemikiran Islam, hanya akan terjebak dalam aspek yang dogmatis semata.
Paling tidak, Hajj dapat menjadi referensi tambahan manakala kita hendak memperkaya pemahaman mengenai ibadah haji yang akan segera berlangsung di Makkah. Semoga ibadahnya dapat menjadi haji yang menyembuhkan, agar hidup kembali bermakna.