Normal dan Tidak Normal: Apa yang Menjadi Tolak Ukurnya?

NAILAH MIFTAHUL FATHAMMUBIINA
Mahasiswa Psikologi, Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
24 Maret 2022 13:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NAILAH MIFTAHUL FATHAMMUBIINA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menormalisasikan. Zaman sekarang ini banyak sekali suatu hal yang sebelumnya dikatakan tidak normal tetapi sekarang menjadi suatu hal yang biasa. Adapun beberapa kasus seperti Oki Setiana Dewi yang dikatakan menormalisasikan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) dalam ceramahnya. Tapi apakah kita sendiri tahu apa yang dimaksud dengan normal? Apa yang menjadikan hal tersebut dikatakan normal? Sebelum itu, mari kita cari tahu apa arti normal itu agar tidak salah mengartikan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Gambar 1. Seseorang yang sedang menyampaikan pendapatnya (sumber : canva.com)
Kata normal dalam KBBI diartikan sebagai menurut pada aturan atau menurut pada pola yang umum; sesuai dan tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah; sesuai dengan keadaan yang biasa; tidak ada kelainan; bebas dari gangguan jiwa. Maramis W. F. dalam bukunya tentang ilmu kedokteran jiwa pada tahun 1999 mengatakan bahwa normal adalah keadaan sehat atau tidak patologis dalam hal fungsi keseluruhan, sedangkan tidak normal atau abnormal adalah suatu yang menyimpang dari yang normal atau yang tidak biasa terjadi. Tapi apa yang mendasari nilai dari normal tersebut?
ADVERTISEMENT
Cepatnya arus globalisasi saat ini menjadikan kita dapat mengakses ataupun membagikan informasi dengan sangat mudah. Tentu dibalik semua manfaat yang kita dapatkan pasti juga memiliki dampak yang buruk jika tidak digunakan secara bijak. Globalisasi sangat berkaitan dan bergantungan dengan seluruh aspek dalam kehidupan kita, dari segi sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, dan lain-lain. Satu di antaranya ialah ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan teknologi, pertukaran informasi pada umumnya dapat diakses oleh siapapun dengan mudah, tidak terbatas, dan tidak tersaring dengan baik.
Semakin banyaknya individu itu mengakses suatu informasi maka akan semakin banyak pula yang dapat diambil oleh individu tersebut. Seperti ideologi atau pemikiran-pemikiran yang sebelumnya ia tidak ketahui kemudian individu tersebut menjadi setuju dengan pemikiran itu atau bisa saja berdebat dengan pemikirannya. Tanpa pemikiran yang panjang dan tidak mempunyai landasan itu tersendiri mengakibatkan individu terus terombang-ambing dengan opini-opini masyarakat. Tidak sedikit pula ditemui banyaknya individu yang menormalisasikan sesuatu yang sebelumnya hal itu masih dianggap hal tabu. Penormalisasian suatu hal inilah yang sangat dipertanyakan, karena dari mana hal tersebut dapat dijadikan hal yang normal jika sebelumnya itu dianggap tidak normal atau tidak biasa.
ADVERTISEMENT
Dalam hidup kita sebagai manusia, kita pasti mempunyai suatu pedoman untuk menjalankan kehidupan ini dengan lebih terarah dan teratur. Berpegang teguh dengan suatu pedoman itulah yang membuat kita mengetahui hal tersebut dapat dikatakan sebagai hal yang normal atau hal yang tidak boleh dilakukan. Namun, sekarang ini banyak sekali individu yang menormalisasikan hal-hal yang sudah jelas salah. Mereka mulai melupakan ataupun kurangnya pengetahuan tentang pedoman mereka sendiri, mereka mulai mencampuri berbagai macam pemikiran dari pedoman yang mungkin tidak bisa disamakan.
Seperti contoh kasus yang baru-baru ini menghebohkan warga Indonesia yakni, diperbolehkannya pernikahan beda agama. Ada saja beberapa individu yang menganggapnya sebagai puncak tertinggi dari toleransi, padahal disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 221 Allah melarang keras pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik sebelum mereka beriman kepada Allah SWT. begitupun sebaliknya. Toleransi yang benar juga dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Kafirun ayat 6 yang berisi “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
ADVERTISEMENT
Jika masih ada yang berpikiran bahwa pernikahan beda agama tersebut merupakan suatu toleransi yang tertinggi, maka individu tersebut sudah salah mengartikan arti dari definisi toleransi itu tersebut dan bahkan tidak mempunyai toleransi sama sekali. Toleransi itu bukanlah pluralisme yang semua dianggap sama, setara, dan bisa digabungkan perbedaannya. Toleransi itu menghargai, menghormati perbedaan dengan membiarkan perbedaan itu tanpa menggabungkannya.
Masih banyak lagi kasus-kasus seperti ini yang terjadi di negara kita. Seperti LGBT, berpacaran, dan lain sebagainya. Apakah hal-hal tersebut dianggap normal dalam pedoman yang kita pegang? Apakah hal demikian dapat dinormalisasikan tanpa melewati batas-batas yang sudah ditentukan dalam pedoman yang kita percayai? Maka dari itu fungsi dari pedoman sangatlah penting. Semua itu dikembalikan lagi pada pedoman yang kita pegang. Kita dapat mengukur baik-buruk atau normal dan tidak normalnya suatu hal berdasarkan pedoman kita tanpa menjelekkan pedoman-pedoman yang lain.
ADVERTISEMENT
Berpikiran terbuka atau yang biasa disebut orang zaman sekarang 'open minded' itu memang perlu, tetapi kita juga harus memperhatikan nilai-nilai dari pedoman yang kita percaya bukan malah menyalahartikan hal tersebut. Tentu dalam pedoman yang sudah dipilih masing-masing individu mempunyai penjelasan di baliknya peraturan-peraturan tersebut.
Untuk itu perlulah kita sebagai penerus bangsa ini mulai mempertimbangan dan lebih bijak lagi dalam menggunakan media sosial terutama dalam membaca dan membagikan informasi. Perlu adanya proses-proses tertentu sebelum menulis atau membagikan informasi, seperti kita menelaah lebih dalam informasi tersebut apakah berasal dari pemikiran yang benar adanya, apakah pemikiran tersebut sejalan dengan pedoman yang kita miliki agar kita tidak gampang berubah pikiran dan berpegang teguh dengan prinsip yang sudah ada tanpa menjatuhkan satu sama lain.
ADVERTISEMENT