Moderasi Beragama dalam Circle Pertemanan

Sabilal Muhtadin
Mahasiswa UIN Jakarta
Konten dari Pengguna
7 Desember 2022 22:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sabilal Muhtadin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai makhluk sosial tentu kita tidak bisa hidup sendirian. Karena manusia pada dasarnya dari sejak lahir sampai lanjut usia selalu membutuhkan kehadiran orang lain selain dirinya. Oleh karena itu, kita sebagai manusia harus bersosialisasi dengan orang lain, seperti menjadikannya sebagai teman, sahabat, saudara, bahkan seperti keluarga.
ADVERTISEMENT
Dalam suatu pertemanan tentu kita mempunyai pendapat dan pemikiran yang terkadang sama dan terkadang berbeda. Karena pasti dari setiap orang mempunyai pemahaman dan sudut pandang yang berbeda. Pemikiran yang berbeda itu meliputi masalah ideologi, politik, dan agama.
Ketika kita berkumpul dengan tujuan selain bersilaturahmi, tentu kita bercerita atau curhat dengan teman-teman kita mengenai masalah hidup dan lain lain. Terkadang ketika kita sedang bercerita mengenai masalah–masalah, mereka membantu kita menyelesaikan masalah dengan beberapa saran yang berbeda dengan pendapat masing–masing.
Apabila masalah tersebut menyangkut hal yang berbau agama. Mereka juga saling mengeluarkan pendapat dan pemahaman mereka. Contohnya mengenai hukum halal dan haram suatu masalah dan lain-lain. Terkadang mengenai hal tersebut dapat memecahkan pertemanan yang berimbas pada permusuhan. Pendapat yang satu mengatakan ini lalu pendapat yang lain mengatakan itu. Dan mereka pun tetap berpegang teguh dengan pendapat mereka.
ADVERTISEMENT
Mereka yang berpegang teguh pada pendapatnya, karena mereka mempunyai landasan yang kuat dan jelas. Mereka menafsirkan Al Qur’an dengan pemahaman mereka dari sudut pandang yang berbeda. Al Qur’an ialah multitafsir karena kata yang ada di dalam alqur’an bisa mengandung beberapa makna. Bahkan Quraish Sihab mengatakan bahwa “ Ada satu kata dalam Al Qur’an yang mengandung makna yang bertolak belakang , sehingga lahir ada perbedaan dalam ketetapan hukum “.
Oleh karena itu, kita harus menjadi penengah di antara teman–teman kita yang saling berbeda mengenai pendapat mereka. Apabila teman kita berpendapat dan berbeda dengan yang lain, maka kita harus bersikap Wasathiyah ( tengah–tengah ) atau moderation ( tidak berpihak ). Jadi cara pandang, sikap, dan perilaku kita di posisi tengah–tengah, yaitu selalu bertindak adil dan tidak ekstrem dalam beragama.
ADVERTISEMENT
Dalam budaya multikultural, interaksi antar pribadi agak intens, sehingga penting bagi setiap anggota masyarakat untuk memiliki keterampilan sosial untuk berurusan dengan orang lain. Menurut Curtis, kemampuan ini termasuk dalam tiga kategori: keterikatan, kolaborasi, dan resolusi konflik (kerja sama dan resolusi konflik), dan kebaikan, kepedulian, dan keterampilan kasih sayang/empatik (keramahan, perhatian, dan kasih sayang) (Akhmadi, 2019).
Kita juga berusaha untuk memberikan pemahaman dan mengajak mengenai moderasi beragama kepada teman kita. Jadi, tidak terlalu berpaham kanan dan berpaham kiri. Walaupun banyak orang yang beranggapan bahwa bersikap moderat dalam beragama berarti tidak teguh pendirian, tidak serius, dan orang yang bersikap seperti itu tidak sungguh–sungguh dalam mengamalkan ajaran agama.
Padahal moderat dalam beragama ialah percaya diri dengan ajaran agama yang dipeluknya. Karena prinsip moderat dalam beragama ialah adil dan berimbang. Hal yang menojol dari moderasi beragama ialah adanya keterbukaan, penerimaan, kerjasama dari masing–masing pendapat yang berbeda. Mereka harus mau saling mendengarkan satu sama lain dan mampu mengatasi perbedaan pemahaman keagamaan diantara mereka.
ADVERTISEMENT
Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama yang ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi lain, ada juga umat beragama yang ekstrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi yang tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka bisa disebut ekstrem liberal. Keduanya perlu di moderasi.
Gambar moderasi beragama. Foto : Pixabay.com
Maka dari itu penting bagi kita untuk moderat dalam beragama karena untuk mencari persamaan dan bukan mempertajam perbedaan. Karena ketika kita sudah bisa menghargai pendapat orang lain dan bisa berdamai maka kita bisa mempererat tali persaudaraan sehingga tidak ada lagi paham kanan dan paham kiri yang dapat memacah belah pertemanan. Dan kita juga tidak boleh mudah terprovokasi oleh orang–orang yang ingin menghancurkan ukhuwah kita. Karena dalam moderasi beragama kita harus berilmu, berbudi, dan berhati hati.
ADVERTISEMENT
Penguatan moderasi beragama tidak cukup dilakukan secara personal oleh individu, melainkan harus dilakukan secara sistematis dan terencana secara kelembagaan, bahkan oleh negara. Negara harus hadir memfasilitasi terciptanya ruang-ruang publik yang sehat untuk menciptakan interaksi masyarakat lintas agama dan kepercayaan.
Pembahasan kita mengenai moderasi beragama tentu kita harus tau lebih dalam mengenai apa itu moderasi. Sebagaimana pendapat dalam buku Moderasi Beragama (Saifuddin, 2019).
“Moderasi sering dijabarkkan melalui tiga pilar, yakni: moderasi pemikiran, moderasi gerakan, dan moderasi perbuatan. Terkait pilar yang pertama, pemikiran keagamaan yang moderat, antara lain, ditandai dengan kemampuan untuk memadukan antara teks dan konteks, yaitu pemikiran keagamaan yang tidak semata-mata bertumpu pada teks-teks keagamaan dan memaksakan penundukan realitas dan konteks baru pada teks, tetapi mampu mendialogkan keduanya secara dinamis, sehingga pemikiran keagamaan seorang yang moderat tidak semata-mata tekstual, akan tetapi pada saat yang sama juga tidak akan terlalu bebas dan mengabaikan teks. Pilar kedua adalah moderasi dalam bentuk gerakan. Dalam hal ini, gerakan penyebaran agama, yang bertujuan untuk mengajak pada kebaikan dan menjauhkan diri dari kemungkaran, harus didasarkan pada ajakan yang dilandasi dengan prinsip melakukan perbaikan, dan dengan cara yang baik pula, bukan sebaliknya, mencegah kemungkaran dengan cara melakukan kemungkaran baru berupa kekerasan. Pilar ketiga adalah moderasi dalam tradisi dan praktik keagamaan, yakni penguatan relasi antara agama dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat. Kehadiran agama tidak dihadapkan secara diametral dengan budaya, keduanya saling terbuka membangun dialog menghasilkan kebudayaan baru.”
ADVERTISEMENT
Dengan demikian ketika kita sedang berkumpul dengan teman kita lalu membicarakan persoalan agama, ada baiknya kita bersikap moderat. Dan kita harus bisa menghargai pendapat orang lain agar kita bisa menjaga ukhuwah kita. Dan apabila terjadi perdebatan kita harus menjadi penengah di antara teman kita. Selain itu kita juga harus meminimalisir fanatisme terhadap golongan serta memahami firman Allah swt. pada surah Al-Baqarah : 143 tentang umat yang moderat dan adil.
"Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya, melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petuunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah maha pengasih, maha penyayang kepada manusia."
ADVERTISEMENT
Daftar Referensi :
Akhmadi, A. (2019). Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia. Jurnal Diklat Keagamaan, 13(2), 45-55. https://bdksurabaya.e-journal.id/bdksurabaya/article/download/82/45. Accessed 11 12 2022.
Saifuddin, L. H. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Kementerian Agama RI