Keterkaitan Body Shaming dan Kolonialisme

Sakti Darma A
Alumni Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta (2021)
Konten dari Pengguna
8 Mei 2020 8:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sakti Darma A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi body shaming. Sumber: GOQii
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi body shaming. Sumber: GOQii
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Manusia adalah hasil karya Tuhan paling sempurna. Lantas mengapa masih ada yang saling hina?
ADVERTISEMENT
Dalam diri manusia tertanam akal dan pikiran untuk menentukan bagaimana hidup yang baik dan buruk. Salah dan benar kembali pada pilihan yang kita ambil. Penerapan hal tersebut tergambar pula dalam interaksi sosial dengan sesamanya.
Interaksi sosial di era digital banyak dilakukan secara daring. Kemudahan akses tersebut melahirkan budaya baru, yaitu membagikan sisi kehidupan di media sosial. Hal tersebut juga mendukung munculnya kebebasan mengomentari hidup orang lain, termasuk dari segi fisik. Kegiatan tersebut akrab kita kenal dengan sebutan body shaming.
Body Shaming dan Kolonialisme
Melansir dari BBC News, seorang asisten profesor bidang sosiologi di University of California, Irvine, dan penulis Fearing the Black Body: The Racial Origins of Fat Phobia bernama Sabrina Strings mengatakan penulis, jurnalis, dan komentator di masa kolonial mengidentikkan tubuh gemuk di daerah jajahan dengan keliaran, kemalasan, dan kelemahan.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi hal tersebut masih membekas dan tertanam dalam pemikiran masyarakat Indonesia, mengingat kita merupakan salah satu negara yang pernah dijajah oleh bangsa kolonialisme. Tetapi body shaming bukanlah hal yang patut dibenarkan. Banyak dampak yang akan dirasakan oleh korban, seperti stress, tidak percaya diri, enggan untuk bergaul, dan sebagainya.
Lantas mengapa fisik seseorang sepenting itu untuk dikomentari? Menurut Dr. Devie Rahmawati, seorang pengamat sosial yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Vokasi Komunikasi UI, mengatakan bahwa ada standar fisik yang muncul akibat post-kolonialisme. Pandangan tradisional tersebut memunculkan patokan kecantikan dengan bentuk tubuh ideal, kulit putih, hingga tubuh yang tinggi.
Pantas saja kita masih sering menemukan iklan kecantikan di televisi dengan menggunakan model yang putih, tinggi, dan langsing. Sebenarnya cantik atau tampan tidak hanya tergambar dari segi fisik, ada faktor lain yang dapat mewakili hal tersebut. Semisal dari pemikiran, pandangan, dan gagasan orang tersebut. Bukan berarti fisik tidak penting, tetapi merawat diri tidak selalu harus putih dan langsing.
ADVERTISEMENT
Kasus Body Shaming di Indonesia
Mengutip data dari Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, pada 2018 terdapat 966 kasus di seluruh Indonesia. Polri mengedepankan upaya mediasi untuk menyelesaikan kasus tersebut. Tetapi bukan tidak mungkin pelaku dikenakan hukuman penjara karena perbuatannya yang melanggar UU ITE.
Bukan hanya tugas Polri sebagai penegak hukum untuk mengatasi permasalahan body shaming ini, tetapi menjadi tugas kita semua. Gerakan kecil yang bisa dilakukan adalah dengan bersyukur atas keadaan fisik kita. Standar cantik atau tampan adalah diri kita sendiri yang menentukan, bukan bercermin pada orang lain.
Tak Hanya Wanita, Pria Juga
Komedian Soleh Solihun pernah memposting tweet terkait body shaming di akun twitter pribadinya. Ia mengeluhkan bahwa hanya perempuan saja yang dibela saat terkena body shaming, sementara lelaki tidak. Menurutnya, lelaki paling sering dikomentari bagian perutnya.
ADVERTISEMENT
Serupa dengan keluhan tersebut, saya pun sering mengalami apa yang disebut body shaming. Kurus menjadi salah satu kata andalan yang dilontarkan oleh orang lain pada saya. Tak hanya ‘kurus’, warna kulit juga sering menjadi olok-olokan teman ataupun keluarga. Saat hari raya Idul Fitri misalnya, ada saja yang berkata “Kamu jadi hitam ya sekarang, pasti panas-panasan terus.”
Body shaming adalah suatu perilaku yang harus kita tinggalkan. Apapun warna kulit, berapa tinggi dan berat badan, serta unsur fisik lainnya itu adalah anugerah yang tak perlu dikomentari. Terlepas dari segala perbedaan yang ada, Tuhan menciptakan manusia dalam wujud yang sempurna. Fisik bukan untuk dihina, tetapi untuk dijaga.