Sampai Bertemu Lagi, Jakarta!

Muhammad Khoirur Rohman
Lulusan program studi Statistika yang asyik bekerja di industri media.
Konten dari Pengguna
28 Juni 2022 17:16 WIB
comment
24
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Khoirur Rohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu sudut Jakarta. Credit: Dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu sudut Jakarta. Credit: Dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahun keempat merantau di Jakarta, saya diterima kerja di salah satu perusahaan yang berkantor di Jalan Jenderal Sudirman. Sebagai seseorang yang lahir, besar, dan tinggal di Yogyakarta selama lebih dari dua dekade, kadang saya masih terpesona dengan pemandangan gedung-gedung tinggi di sana. Ndeso sekali.
ADVERTISEMENT
Berbeda dari kantor pertama, jam kerja di kantor kedua saya ini terbilang normal. Masuk jam 10 pagi dan pulang saat matahari terbenam.
Jarak indekos dan kantor yang cukup jauh akhirnya membuat saya memilih untuk membawa kendaraan pribadi yakni sepeda motor. Meski sudah puluhan tahun lulus ujian Surat Izin Mengemudi, tapi saya merasa berkendara di ibu kota tak semudah seperti saat masih di kampung halaman.
Selain kemacetan yang terjadi di mana-mana, saya kadang masih dibuat geleng-geleng kepala dengan tingkah para pengendara kendaraan di Jakarta. Di setiap persimpangan hingga lampu merah, suara klakson senantiasa terdengar. Belum lagi umpatan yang kerap keluar dari para pengendara yang tak sabaran.
Ada pula aksi para pengendara motor yang seperti tanpa dosa merebut hak para pejalan kaki dengan berkendara di trotoar jalan. Sebuah kebiasaan buruk yang bodohnya beberapa kali saya tiru ketika diburu waktu.
ADVERTISEMENT
Tapi di sisi lain, saya juga begitu menikmati privilege bekerja di jantung ibu kota. Salah satu yang paling membuat saya jatuh cinta adalah nyamannya trotoar di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin. Rasanya tak sia-sia gelontoran biaya senilai ratusan miliar rupiah digunakan untuk membiayai proyek penataan trotoar di ruas jalan ini.
Di kantor kedua ini pula saya akhirnya bisa punya rutinitas seperti kebanyakan orang. Ketika ada waktu luang, sesekali saya mengunjungi sejumlah fasilitas umum seperti lapangan Taman Menteng, Taman Suropati, hingga Lapangan Banteng.
Keberadaan fasilitas publik yang bisa dinikmati secara gratis inilah yang juga menjadi hal yang begitu saya nikmati selama tinggal di Jakarta.
Namun tak seperti di kantor pertama, saya bekerja di perusahaan kedua ini kurang dari satu tahun. Ada tawaran pekerjaan di kampung halaman tak sanggup saya tolak. Meski pendapatan jelas akan berkurang, bayangan bisa berkumpul dengan keluarga akhirnya memantapkan hati saya untuk kembali pulang ke Jogja.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, Stasiun Pasar Senen menjadi tempat pertama sekaligus terakhir dalam kisah hidup saya sebagai seorang perantauan. Kini setelah dua tahun terlalu, saya kadang masih merindukan masa-masa penuh perjuangan di Jakarta.
Hingga saat ini saya masih ingat betul enaknya sajian makanan di Warteg Putri yang berlokasi di ujung Jalan Padurenan Masjid, ramainya bakso wonogiri depan indekos, sampai ramahnya mas-mas penjaga warung burjo yang kerap menyapa ketika saya pulang kerja.
Orang bilang Jakarta itu kejam. Tapi saya tak sepenuhnya setuju. Di Jakarta saya beberapa kali bertemu dan melihat orang-orang baik.
Pada 22 Juni kemarin, Jakarta genap berusia 495 tahun. Sebagai seseorang yang pernah tinggal di sana selama hampir empat tahun, saya selalu berharap Jakarta bisa menjadi rumah yang menyenangkan bagi orang-orang yang melabuhkan mimpinya di sana.
ADVERTISEMENT
Terima kasih Jakarta, sampai bertemu lagi!
Terima kasih juga untuk Kumparan lewat #HUTDKI495 Lomba Menulis HUT ke-495 Jakarta yang membuat saya bisa bernostalgia dengan cerita hidup di ibu kota!