Fenomena Fujoshi, dan Polemik Penerimaan LGBT di Baliknya

Muhammad Khatami
A final year journalism student of Universitas Padjadjaran, aspiring to be a future writer. Always up to discuss about social issues and pop culture. Dont hestitate to hit me up through my Instagram, would love to expand my networking!
Konten dari Pengguna
22 Mei 2021 5:44 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Khatami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Vachirawit Chivaare dan Metawin Opas-iamkajorn, Foto: 2gether The Series
zoom-in-whitePerbesar
Vachirawit Chivaare dan Metawin Opas-iamkajorn, Foto: 2gether The Series
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Entah apa yang sebenarnya memulainya, namun jika anda adalah seorang pengguna twitter aktif dalam kurun waktu setahun terakhir maka hampir pasti anda menyaksikan bagaimana fenomena “Fujoshi” semakin marak mengekspos diri di sosial media tersebut.
ADVERTISEMENT
Secara bahasa, Fujoshi sebenarnya adalah istilah berbahasa jepang untuk para penggemar perempuan dari manga, novel, dan anime yang menampilkan hubungan romantis maupun seksual antara laki-laki atau sering disebut dengan Boys’ Love (BL).
Lebih dari sekedar menonton serial drama BL, berbagai jenis konten pun digandrungi oleh para Fujo (panggilan singkat dari Fujoshi seperti: video-video tiktok, gay editing, hingga cerita-cerita BL yang ditulis oleh akun-akun fanbase di twitter. Tak hanya itu, akun-akun hiburan seperti @thaiifess dan @txtdarithailand juga dapat dibilang naik daun dengan puluhan ribu pengikut dalam kurun waktu setahun terakhir.
Tak hanya hampir setiap minggu menjadi trending topic karena episode terbaru serial BL favorit mereka, namun istilah-istilah seperti “uke” yang mendeskripsikan pria submisif dan “seme” yang mendeskripsikan pria dominan dalam hubungan gay juga semakin populer bagi pengguna sosial media. Bahkan tak jarang komentar-komentar “nyasar” tentang uke-seme ditemukan di foto-foto selebriti yang bahkan bukan pemeran BL maupun bagian dari komunitas LGBT.
ADVERTISEMENT
Kenapa jadi Fujoshi?
Dalam ekstensinya, terdapat beberapa hal yang membuat orang-orang mulai tertarik dalam drama-drama BL ini. Sebut saja Mawar (bukan nama sebenarnya), Ia mengaku bahwa alasan awal kenapa ia menyukai drama BL adalah sebatas untuk “mencuci mata”.
“Aku sih biasanya nonton tv series-nya. Paling suka sih aku 2gether, karena memang alurnya bikin deg degan dan gemes banget. Tapi aku juga mulai suka baca-bacain cerita di akun-akun fanbase atau dari penulis lokal gitu, kalau yang aku ngikutin dan baru akhir-akhir ini tamat sih Sotus Lokalnya kak Nadin,” jelasnya melalui DM Twitter dari akun fanboying-nya.
“Karena pemainnya ganteng sih ya awalnya. Kaya ga sengaja ngeliat cuplikannya di timeline aku terus langsung deh jatuh cinta sama aktornya,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Walaupun menggemari romansa antara laki-laki, Mawar sebenarnya tak sepenuhnya setuju atas keberadaan mereka di kehidupan nyata. Ia berpendapat bahwa hubungan romantis “terlarang” tersebut tidak cocok dengan norma yang berlaku.
“Tapi aku sih bisa nikmatin kalau ngeliatnya di drama gitu, berasa beda aja gitu kalau dibandingin sama nonton serial biasa yang hubungannya cewe sama cowo. Guilty pleasure deh intinya,” jelasnya.
Berbeda dari mawar yang “mencuci mata”, Nida yang juga telah menggemari konten BL sejak tiga tahun terakhir mengaku bahwa Ia merasa bosan dengan heteroseksualitas dalam serial drama biasanya.
“Aku sih nontonnya sebagai hiburan aja ya, karena memang bosan sama series lain yang romance-nya hetero. Awalnya sih diajakin sama temanku yang gay buat coba nonton bareng, dan ya emang seru dan enjoyable banget jadinya keterusan deh nontonnya.” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kembali dengan pertanyaan yang sama seperti pada Mawar, Nida juga menjelaskan pandangannya mengenai kesetaraan seksualitas yang juga berbeda dari pandangan Mawar.
“Kalau aku sih ya biasa aja, kalau ngomongin dosa ya dosa masing-masing. Kalau aku sih aku dukung ya karena bagaimanapun ini (homoseksualitas) kan hak asasi manusia. Dan ga ngerugiin siapa-siapa juga,” jelasnya.
Lalu bagaimana fenomena ini dari perspektif pria gay?
“Sebenernya nontonnya sih seru ya, ngehibur. Tapi ya kalau menurut aku pribadi sih cerita-cerita BL masih ga nge representasi aku sebagai seorang queer,” jelas Riko.
Sebagai pria gay yang menggemari serial drama BL, Riko menjelaskan bahwa banyak konten-konten BL yang penggambarannya masih kurang homogen dan menggambarkan kehidupan romantis yang kurang realistis baginya.
ADVERTISEMENT
“Mungkin karena biasanya romance queer di kehidupan nyata ga semulus itu ya banyak tantangannya, dan tantangan-tantangan tersebut masih jarang banget digali lebih dalam cerita-cerita BL ini,” jelasnya.
Ketika berbicara tentang fujoshi, Riko mengaku ia memiliki love-hate relationship dengan komunitas penggemar ini. Ia menceritakan bahwa Ia beberapa kali menemukan komentar-komentar tidak senonoh maupun menghakimi di video-video tiktok yang menunjukkan romansa antara laki-laki. Padahal, ketika Ia teliti lebih lanjut, ternyata yang berkomentar tersebut adalah seorang fujoshi.
“Kalau menurut aku sih, bisa dibilang budayanya itu aneh ya. Karena fasnya masih banyak yang punya double standart soal homoseksualitas, misalnya cuma suka nontonnya dan tapi judgemental banget sama pasangan homoseksual yang ada di dunia nyata. Kaya yang di tikok-tiktok misalnya,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Ia juga menggambarkan bagaimana harapannya terhadap produksi drama BL kedepannya. Menurutnya, hal tersebut dapat membantu komunitas LGBT yang bisa dibilang menjadi fokus utama dalam serial drama BL.
“Seharusnya pihak-pihak yang memproduksi konten BL bisa lebih bijak dalam membuat kontennya. Mungkin bisa mulai dengan memberikan edukasi atau lebih menggali lebih dalam struggle dan diverse-nya komunitas lgbt,” jelasnya.
“Mungkin ini bisa jadi jalan buat penerimaan ya, tapi kalau sekarang sih masih banyak yang cuma sekedar fetisisasi doang,” tambahnya.
Terus gimana menurut produsen konten BL?
Berbicara tentang para Fujo yang hanya sebatas “mencuci mata” dan menjadikan serial drama sebagai pemenuhan fantasi, tentu sebenarnya hal itu merupakan hal yang berada diluar kekuasaan sang penulis serial drama. Namun, Gee selaku penulis drama BL lokal di twitter mengaku bahwa penggemar BL pencuci mata adalah sebuah hal yang tidak baik.
ADVERTISEMENT
“Fujo yg masih homofobik itu gak lain dari munafik sih,” jelasnya. Memang, hal ini juga sesuai dengan gambaran Riko mengenai standar ganda dalam budaya Fujoshi.
Gee juga menjelaskan, bahwa seharusnya penggambaran struggle komunitas LGBT seharusnya dapat lebih ditonjolkan dalam serial drama dan konten-konten BL.
“Karena ada banyak banget struggle yang kurang enak kalo di-preach secara gamblang,” jelasnya.
“BL kan hubungannya dengan fiksi ya (contoh: script writing, fanfiction, dan lain-lain) jadi kesannya lebih santai. Dengan gitu jangkauan ke orang-orang jadi lebih enak. Sekutu komunitas LGBT bisa jadi lebih paham sama struggle-nya dan Fujo yang sebatas memfantasikan homoseksual jadi mikir dua kali,” tambahnya tegas.
Ia menjelaskan, bahwa produksi BL yang realistis ini dibutuhkan untuk menggambarkan apa yang terjadi dalam komunitas LGBT sebenarnya. Ia juga tidak menolak ketika membicarakan kemungkinan cerita yang dihasilkan bisa jadi lebih membosankan, namun menurutnya dengan hal itu BL bisa menjadi lebih representatif terhadap komunitas yang mereka representasikan.
ADVERTISEMENT