Dari Peraba Aksara Beralih jadi Pendengar Kata

Konten dari Pengguna
10 Juni 2019 15:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Hijriah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya belajar kembali mengasah sensitivitas, jari jemari ini meraba titik-titik yang timbul dari sebuah lembaran kertas. Titik tersebut terdiri atas enam, tersusun atas dua banjar dan satu banjar terdiri dari tiga titik. Otak ini mencoba mencerna kiranya apa arti dari kumpulan titik-titik ini.
ADVERTISEMENT
Karena dalam setiap posisi titik serta gabungan antar titik memiliki makna dan pesan tertentu. Melalui papan ajar aksara braile Saya belajar bagaimana membaca setiap huruf, setiap kalimat dan setiap paragraf yang ada dalam buku braile. Itulah aksara braile yang digunakan oleh para penyandang tunanetra. Biasanya aksara braile ini dikemas untuk beberapa buku pengetahuan umum, buku agama seperti kitab suci dan buku yang bersifat praktis.
Diajari langsung oleh Pak Hepi selaku penyandang tunanetra, Saya semakin terdecak kagum akan kemampuan yang mereka miliki. Tidak disangka, dibalik kekurangan terdapat banyak kelebihan. Yang kemudian kelebihan tersebut menjadi kekuatan karena tidak dimiliki oleh semua orang.
Papan ajar aksara braile inventaris Perpustakaan BLBI Bandung
Itulah cerita Saya saat belajar mengenal aksara braile dan mencoba menerka kalimat yang ada di dalam buku braile. Ternyata tidaklah mudah, perlu kejelian dan sensitifitas tinggi agar tulisan yang kita raba sudahlah betul dan sesuai dengan arti sebenarnya. Tidak hanya itu, perlunya mengingat gabungan titik pada setiap huruf dan angka diperlukan ingatan kuat dan praktik secara berkala agar selanjutnya dapat membaca aksara braile secara lancar.
ADVERTISEMENT
Perkembangan Teknologi Literasi Bagi Penyandang Tunanetra
Namun zaman semakin berkembang, kian kini teknologi semakin maju. Meninjau masalah yang ada yaitu kurang fleksibelnya buku-buku braile yang cukup tebal untuk dibawa kemana-mana. Melahirkan sebuah solusi agar penyandang tunanetra dapat memiliki akses yang mudah untuk melakukan kegiatan literasi.
Audio Mobile Learning (AML) merupakan sebuah perangkat digital yang sedang dalam tahap pengembangan. Nantinya penyandang tunanetra dapat memasang perangkat tersebut di komputer maupun pada ponsel pintarnya. Mereka dapat mengakses sumber literasi apapun dengan mudah dan mendengarkannya dimana saja dan kapan saja.
Pengembangan perangkat digital AML ini serupa dengan pengembangan perangkat digital Qsaff For The Blind. Yang mana perangkat tersebut merupakan aplikasi alquran digital bagi para penyandang tunanetra. Aplikasi alquran digital tersebut bukan lahir dari alasan keengganan membawa kitab suci alquran kemana-mana.
ADVERTISEMENT
Buku Braile Kurang Fleksibel dan Masih Terbatas
Namun ukurannya yang cukup besar dan bobot alquran braile yang berat tidak memungkinkan untuk muat dalam tas maupun saku. Saat Saya berbincang ringan dengan beberapa orang tunanetra saat hendak berjalan ke masjid Saya bertanya mengenai alquran braile. Diantaranya mereka mengutarakan bahwa alquran braile itu sangat tebal dan beratnya hingga 20 kilogram.
“Susah apalagi jika seorang dai tunanetra bawa alquran braile kemana-mana. Karena satu alquran braile itu bisa setebal satu kardus dan berat 20 kilogram,” ujar Editor Aksara Braile, Balai Literasi Braile Indonesia (BLBI), Hepi Septian pada Selasa (21/05) sembari berjalan menuju masjid di kawasan Wyta Guna, Bandung.
Rupa dari Alquran Braile Juz 30 koleksi Perpustakaan BLBI Bandung
Selain dari segi ukuran dan berat yang kurang fleksibel untuk dibawa kemana-mana. Buku-buku braile pun memiliki kendala dari segi jumlah cetakan dan kelengkapan. Hal ini disebabkan oleh biaya produksi buku braile yang tidak murah karena kertas yang digunakan pada buku braile ini merupakan kertas khusus. Terutama dalam pencetakan alquran braile yang harga produksinya lebih mahal dibanding buku braile biasa. Satu juz alquran braile saja dapat mencapai harga percetakaan senilai 55 ribu.
ADVERTISEMENT
“Para penyandang tunanetra itu kesulitan dari segi aksesnya, baik dari akses buku maupun akses fisiknya. Jadi di Perpustakaan Nasional (Perpusnas) juga bukunya masih terbatas yang braile itu. Itupun sebagian di suplai dari kita dan sebagian oleh yayasan swasta,” Sebut Kepala Balai Literasi Braile Indonesia (BLBI), Isep Sepriyan.
Isep dengan hangat menyapa Saya dan menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan setelah mengisi pembukaan kegiatan Bedah Buku OTW Masjid pada Selasa (21/05) pagi di Lantai 2 Perpustakaan BLBI Bandung. Dalam kegiatan tersebut ditunjukkan untuk penyandang tunanetra dan kemudian buku yang telah dibedah akan diterbitkan ke dalam cetakan braile.
(Foto bersama setelah pembukaan kegiatan Bedah Buku Bagi Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (PDSN)) pada Selasa (21/05) pagi bertempat di Lantai 2 Perpustakaan Balai Literasi Braile Indonesia (BLBI) Bandung. / Foto Kepala BLBI, Isep Sepriyan (Barisan pertama kedua dari sebelah kanan).
Kegiatan Bedah Buku Bagi Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (PDSN)) pada Selasa (21/05) pagi bertempat di Lantai 2 Perpustakaan Balai Literasi Braile Indonesia (BLBI) Bandung. Dengan Buku yang dibedah berjudul OTW Masjid Karya Hilman Indrawan.
Tingkat Literasi di Kalangan Tunanetra
Isep menyebutkan kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan daya literasi di kalangan tunanetra. Buku yang dibedah biasanya bertajuk buku-buku praktis, namun kali ini buku yang dipilih merupakan buku yang bertema motivasi dan pelajaran hidup. Dalam kegiatan yang dihadiri 20 orang penyandang tuna netra dari berbagai kalangan tersebut, peserta cukup antusias dan sesekali bertanya kepada pemateri.
ADVERTISEMENT
Setelah selesai membuka acara dan sesi foto bersama, Isep mengutarakan beberapa permasalahan terkait tingkat literasi yang ada pada penyandang tunanetra. Selain kendala teknis seperti biaya produksi yang mahal dan cetakan buku braile yang belum banyak. Isep pun menyebutkan bahwa ingin meningkatkan pula tingkat literasi di kalangan netra.
Pada saat ini jumlah buku braile masih terbatas, hanya dapat diakses dan didapatkan di beberapa perpustakaan saja, diantaranya perpustakaan BLBI. Salah satu tujuan didirikannya perpustakaan BLBI di tengah lingkungan Wyta Guna pun dimaksudkan agar akses menuju literasi mudah. Karena Wyta Guna merupakan salah satu lembaga untuk memberikan pembekalan dan keterampilan bagi penyandang tunanetra agar dapat berdaya.
Oleh karena itu pada saat ini sedang dikembangan AML yang nanti mediumnya menggunakan audio. Namun meskipun begitu, dalam salah satu pernyataannya Isep masih menekankan pentingnya mempelajari aksara braile. Karena menurutnya hal tersebut akan membantunya ketika dalam kondisi tertentu.
ADVERTISEMENT
“Bagi saya belajar aksara braile bagi tunanetra itu sangat penting, itu dasar, sama pentingnya dengan kita belajar membaca,” ucap Isep saat ditanya mengenai seberapa penting penyandang tunanetra belajar aksara braile.
Peserta Bedah Buku sedang membaca aksara braile yang merupakan sinopsis buku OTW Masjid
Ia menambahkan bahwa beberapa ruangan sudah memiliki aksara braile di depannya. Sehingga penyandang tunanetra dapat mengenali ruangan tersebut difungsikan untuk apa. Seperti halnya di bandara maupun dalam lift.
Namun memang Isep menyebutkan bahwa tingkat literasi alquran di kalangan tunanetra kurang. Sehingga ia menuturkan bahwa diadakanlah program Bimbingan Teknis Dalam Membaca Alquran Braile. Isep menyebutkan bahwa hal ini disebabkan oleh banyaknya penyandang tunanetra yang lebih memilih menghafalkan alquran dengan audio murotal melalui gawainya masing-masing.
“Saya pernah berkunjung ke Denpasar dan menemukan hafiz alquran 15 juz, tetapi ternyata mereka tidak bisa membaca alquran braile,” cerita Isep saat melanjutkan pernyataanya mengenai tingkat literasi alquran yang rendah.
ADVERTISEMENT
Untuk tingkat literasi di kalangan tunanetra sendiri Isep belum bisa pastikan berapa jumlah angkanya. Karena ia menyebutkan bahwa terkait tingkat literasi pada penyandang tuna netra pada saat ini masih dalam tahap pemetaan oleh BLBI. Sehingga menurut klaim Isep, bahwa tingkat literasi di kota dan di daerah berbeda kondisinya.
“Ada kecenderungan literasi di kalangan tunanetra meningkat, tetapi ada trennya jika di kota tren buku braile menurun tapi audio meningkat. Seperti buku digital dan buku bicara itu jika di kota trennya meningkat dibanding braile,” pungkas Isep.
Oleh Moch Rizqi Hijriah – Mahasiswa Jurnalistik, Universitas Padjadjaran