Sialnya Aku Jadi Fans Arsenal

Muhammad Fathir Al Anfal
Catfather. Chocolate Lover. Movie Enthusiast. Arsenal Fan. Follow akun satunya ya. Namanya sama :)
Konten dari Pengguna
24 Desember 2017 13:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fathir Al Anfal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
"Invincible" Arsenal 2003/04. (Foto: AFP/Odd Andersen)
zoom-in-whitePerbesar
"Invincible" Arsenal 2003/04. (Foto: AFP/Odd Andersen)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Arsenal Zaman Old Thierry Henry, Dennis Bergkamp, Patrick Vieira, Robert Pires, Sol Campbell. Nama-nama itu membuatku rindu. Sebenarnya tidak hanya itu. Intinya, aku kangen masa-masa ketika Arsenal begitu tangguh. Tapi semuanya sudah berlalu.
ADVERTISEMENT
Ya, bukan salah Arsenal. Mungkin aku yang sial. Aku tumbuh ketika Arsenal memang sedang jaya-jayanya di Liga Inggris. Alhasil, jadilah aku fans Arsenal.
Jika aku lahir lebih lambat 5 tahun saja, aku mungkin sekarang sudah jadi fans Real Madrid atau Barcelona. Di Liga Inggris pun, aku (mungkin) tidak akan punya alasan untuk menjadi fans Arsenal.
Terkadang aku berpikir, lebih kasihan fans Liverpool. Tapi tetap saja, mereka pernah menjuarai Liga Champions, lima kali pula. Memori manis yang tidak dimiliki kami, fans Arsenal.
Ya, semua memang ada masanya. Suatu saat, mungkin Arsenal atau Liverpool akan kembali berjaya di Liga Inggris. Mungkin akan ada masanya tim burem, seperti Burnley atau Bournemouth menjadi kekuatan baru di Inggris, seperti Manchester City kini. Akan ada saatnya, Liga Spanyol didominasi Las Palmas dan Alaves. Liga Italia jadi milik Benevento dan Liga Jerman dikuasai FC Cologne. Atau Eropa dijuarai oleh tim-tim dari liga-liga kecil. Siapa yang tahu?
ADVERTISEMENT
Dan, ketika masa itu tiba. Akan ada fans suatu tim yang berpaling menjadi fans tim lainnya, dengan berbagai alasan. Anehnya, aku tidak bisa begitu. Anak-anak zaman later pun pasti memiliki tim idola yang baru, mungkin bukan lagi Barcelona, bukan lagi Real Madrid. Kita lihat saja nanti.
Oke, kembali ke Arsenal.
Thierry Henry, itulah alasan utamaku begitu mengagumi Arsenal kala itu. Gesit dan cerdik. Dengan dua hal itu, Henry bisa mengkonversi berbagai macam peluang menjadi gol.
Total, selama masa baktinya di Arsenal, Henry mencetak 226 gol. Terbanyak dari semua pemain yang pernah berseragam Arsenal. Tidak heran, ia dijuluki The King Henry. Dan, berhak berstatus legenda di klub ini.
Selain Henry dengan magisnya dalam urusan mencetak gol, Arsenal begitu kuat dari segala lini. Pada masa itu, Arsenal tidak terlalu mementingkan permainan indah, seperti saat ini. Arsenal bahkan tidak selalu tampil apik.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti Manchester City era sekarang yang begitu digdaya. 18 kemenangan dan 1 hasil imbang di paruh pertama musim ini adalah bukti nyatanya. Arsenal dulu bahkan tidak sebaik itu. Dari 38 pertandingan yang dilalui Arsenal tanpa kekalahan di musim 2003/2004, Arsenal hanya meraih 26 kemenangan dengan 12 sisanya berakhir imbang.
Ya, Arsenal tempo dulu lebih mengutamakan semangat dalam bermain. Terlebih pada laga-laga besar. Dua kali menang melawan Liverpool dan Chelsea serta dua kali imbang ketika bersua Manchester United menunjukkan bahwa Arsenal punya mental juara.
Dalam laga bertajuk North London Derby (Ya, kamu tahulah lawan siapa), Arsenal sukses meng-comeback dan menang 2-1 di Highbury. Indahnya lagi, Arsenal juga memastikan gelar juara di markas rival abadi ini, White Hart Lane, ketika laga berkesudahan imbang 2-2.
ADVERTISEMENT
Peresmian status “Invicible” berlangsung di Highbury ketika Vieira dkk menghadapi tim yang sudah pasti terzonadegradasi, Leicester City. Meski sempat tertinggal satu gol di paruh pertama, Arsenal sukses menutup musim dengan kemenangan 2-1.
Sejak saat itu, aku merasa tidak punya kenangan yang begitu manis lagi bersama Arsenal. Final Piala Champions 2006 bisa dikatakan adalah kenangan pahit. 3 kali juara Piala FA dalam 4 musim terakhir hanyalah pelipur lara kegagalan di liga. Sekali lagi, tidak ada lagi kenangan manis.
Arsenal Zaman Now
Para pemain Arsenal merayakan gol. (Foto: REUTERS/David Klein)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Arsenal merayakan gol. (Foto: REUTERS/David Klein)
Drama tersaji di Emirates, Sabtu (23/12) dinihari lalu. Arsenal beruntung bisa menahan imbang Liverpool 3-3. Mengapa beruntung?
Benar kata Jurgen Klopp, Arsenal hanya bermain 10 menit dalam pertandingan itu. Dan, dalam waktu 5 menit, secara ajaib, Arsenal mampu mencetak 3 gol. Ya, itu pula karena tertolong oleh kecerobohan lini belakang Liverpool.
ADVERTISEMENT
Sisanya, pertandingan adalah milik Liverpool. Dengan total peluang yang jauh lebih banyak, jelas Liverpool lebih menekan dan mengancam. Sementara Arsenal lebih sering memainkan bola di tengah. Untung saja, beberapa peluang emas Liverpool gagal berbuah gol.
Untungnya lagi, Liverpool tidak memiliki kiper setangguh De Gea, milik tim merah satunya lagi itu. Jika tidak, mungkin Arsenal kembali menelan kekalahan 1-3, seperti kala bersua Manchester United. Kekalahan yang menyiratkan bahwa terkadang begitulah hidup: tidak adil.
Ah, satu lagi problematika Arsenal: pertahanan. Oke, Arsenal telah meraih 9 kali clean sheet di Liga Inggris, terbanyak kedua setelah Manchester United (10 kali). Namun, ketika menjamu tim-tim besar, yang memiliki banyak pemain top di dalamnya, Arsenal terlalu mudah ditekan dan rentan dibobol dari serangan balik.
ADVERTISEMENT
Masalah lini serang Arsenal pun juga tidak bisa dibilang baik. Cenderung menurun ketimbang beberapa musim belakangan. Hal ini juga tidak lepas dari majalnya performa Sanchez. Ozil cukup apik, namun belum begitu konsisten. Begitu juga dengan Lacazette yang cukup bagus di awal musim namun cenderung menurun saat ini.
Peluang Arsenal untuk juara pun, saya rasa, sudah sirna. Manchester City sudah sulit dikejar. Namun, Arsenal punya kesempatan untuk meraih posisi 4 besar, juara piala Liga, mempertahankan Piala FA, dan unjuk gigi di Liga Eropa UEFA.
Namun, untuk turnamen yang terakhir saya sebut, Arsenal punya tantangan yang berat. Pasalnya, mereka yang terisisih dari Liga Champions turut ambil bagian: Dortmound, Napoli, dan Atletico Madrid. Sungguh, jika Arsenal dan mereka melaju mulus hingga semifinal, rintangan yang mahaberat harus dilalui anak asuh Arsene Wenger ini.
ADVERTISEMENT
Belanja Pemain Mungkin Adalah Solusi
Wenger Out (Foto: Goal.com)
zoom-in-whitePerbesar
Wenger Out (Foto: Goal.com)
Arsenal, yang hanya membeli Lacazette dan Kolasinac pada transfer musim panas lalu, jelas masih membutuhkan tambahan pemain. Selain menambah daya gedor dan menambah kedalaman squad, membangun tim yang tangguh bertahan juga mutlak dilakukan. Karena pertahanan adalah masalah terbesar tim ini.
Riyad Mahrez dan Thomas Lemar, yang gagal didapatkan sebelumnya, mungkin bisa direkrut pada transfer musim dingin nanti. Pembelian seorang bek tangguh juga harus dilakukan dan harus bisa. Bila memungkinkan, menjual Sanchez dan Ozil pun bukanlah masalah bagi Arsenal. Dengan satu syarat: mendapatkan pengganti yang sepadan.
Masalah Arsenal lainnya adalah tim ini begitu buruk jika bermain di laga tandang pada musim ini. Meraup poin di laga kandang pun tidak cukup, Arsenal harus konsisten mendulang 3 poin di laga tandang. Tak perlu skor 2-5 seperti ketika membantai Everton, skor tipis 0-1 yang diperoleh secara dramatis saja seharusnya sudah cukup.
ADVERTISEMENT
Praktis, Wenger hanya punya musim depan untuk memenangi Liga Inggris (itu juga jika kembali lolos dari pemecatan). Jika musim depan kembali gagal, aku sudah tak tahan, Wenger harus angkat kaki. Sebenarnya sudah lama tidak tahan, tapi seperti mayoritas fans Arsenal pendukung #WengerOut lainnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Arsenal ke depannya, siapa pun pelatihnya. Karena aku hanya akan menjadi fans Arsenal, tidak akan berpaling dan tidak akan pernah menyesal, sekalipun ini adalah hal sial.
Sekian.