Menimbang-nimbang Naiknya Tarif KRL

Muh Faishal Nur Kamal, SST
Statistisi Ahli Pertama di Badan Pusat Statistik
Konten dari Pengguna
9 Januari 2023 11:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Faishal Nur Kamal, SST tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line memasuki Stasiun Citayam. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line memasuki Stasiun Citayam. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kenaikan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) yang sedang diwacanakan oleh pemerintah berpotensi menimbulkan masalah. Meskipun kenaikan tarif tersebut disebut hanya akan menyasar “orang kaya”, namun dampak yang ditimbulkan dikhawatirkan akan mempengaruhi masyarakat secara luas.
ADVERTISEMENT
Sebagai warga yang tinggal di Depok dan bekerja di Jakarta, keberadaan moda transportasi KRL merupakan solusi murah untuk berpergian dan beraktivitas. Selain tarif yang murah, waktu tempuh yang jauh lebih cepat dibandingkan kendaraan pribadi dan kendaraan umum lain menjadi alasan untuk setia pada moda transportasi ini. Kini, muncul wacana jika tarif KRL akan dinaikan. Kira-kira, apa saja efek yang akan ditimbulkan?

Membebani pengeluaran

Sebagai warga yang “tidak sepenuhnya kaya”, kenaikan tarif KRL akan terasa membebani pengeluaran sehari-hari. Dengan tarif Rp. 3.000 per 25 km, dan Rp. 1.000 per 10 km berikutnya, dari Jakarta Kota ke Bogor sejauh hampir 70 km dapat ditempuh dengan tarif Rp. 6.000 saja menggunakan moda KRL. Wacana yang muncul dari pemerintah menyebutkan bahwa tarif KRL akan naik menjadi berkisar antara Rp. 10.000 s.d. 15.000 sebagaimana yang dinyatakan oleh Menteri Perhubungan dalam Jumpa Pers Akhir Tahun 2022 di Gedung Kemenhub, Jakarta, Selasa 27 Desember 2022. Jika diambil batas terendahnya saja yaitu Rp. 3.000 dibandingkan dengan Rp. 10.000 (wacana tarif yang baru), kenaikan mencapai lebih dari 300 persen. Tentunya bagi orang yang benar-benar kaya, kenaikan tarif ini mungkin tidak seberapa, atau bahkan mereka dengan mudah beralih ke kendaraan pribadi atau kendaraan listrik yang sedang digembor-gemborkan oleh pemerintah. Namun jika yang kayanya hanya pas-pasan, hal ini akan semakin mencekik pengeluaran mereka.
ADVERTISEMENT

Memperparah kemacetan

Adanya transportasi publik yang murah diharapkan mampu mendorong peralihan moda transportasi masyarakat dari kendaraan pribadi ke transportasi publik, begitu juga dengan KRL. Tarif yang murah dan jangkauan wilayah yang luas diharapkan mampu menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk menggunakan moda transportasi ini. Sempat menurun akibat pandemi, rata-rata jumlah pengguna KRL Commuterline harian pada tahun 2022 (November) mencapai 745.106 penumpang per hari, meningkat dari tahun 2021 sejumlah 350.210 penumpang per hari seperti yang dilansir dari situs Bisnis.com. Dikhawatirkan, momentum pemulihan pasca pandemi tersebut menjadi hilang diakibatkan beralihnya penumpang KRL untuk kembali menggunakan kendaraan pribadi akibat kenaikan tarif KRL. Dampak langsungnya akan mudah kita rasakan bahwa kemacetan panjang di jalan-jalan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) akan semakin meluas. Dilansir dari situs CNBCIndonesia.com, Wadirlantas Polda Metro Jaya menyatakan jumlah kendaraan bermotor yang melintas di wilayah hukum Polda Metrojaya mencapai 22,23 juta kendaraan setiap hari atau rata-rata tumbuh 3 persen setiap tahun. Hal ini tidak sebanding dengan pertumbuhan panjang jalan yang hanya 0,01 persen per tahun.
ADVERTISEMENT

Meningkatkan Polusi

Dampak selanjutnya dari bertambah parahnya kemacetan sebagai akibat naiknya tarif KRL adalah meningkatnya polusi. Menurut laporan Pemprov DKI dan Vital Strategies, organisasi global di bidang kesehatan seperti yang dilansir dari Katadata.co.id, sektor transportasi merupakan kontributor utama polusi udara PM2,5 di Jakarta, yakni sebesar 67,04 persen dengan volume mencapai 7.842 ton pada tahun 2018. Bahaya yang ditimbulkan dari partikel tersebut diantaranya iritasi, batuk-batuk dan kesulitan bernapas hingga kematian dini bagi penderita penyakit jantung dan paru-paru. Dengan adanya kenaikan tarif KRL, sebagian besar orang dengan ekonomi menengah akan beralih dari moda KRL ke kendaraan pribadi yang tentu akan berkontribusi besar bagi meningkatnya kadar polusi di Jabodetabek.

Boleh naik, asal…

Dengan segala mudharat yang telah disebutkan, tentunya kita perlu melihat wacana ini dari sudut pandang yang lain. Dengan kenaikan tarif KRL untuk kalangan “orang berduit”, diharapkan subsidi tarif KRL yang selama ini diberikan oleh pemerintah dapat lebih tepat sasaran. Namun sebelum diterapkan, perlu kajian mendalam untuk menentukan cut off point orang kaya yang dimaksud. Jangan sampai kenaikan ini merugikan orang-orang yang rela meninggalkan kendaraan pribadinya untuk naik KRL menuju ke tempat kerja dan beraktivitas. Tentu ada cara yang lebih baik dibandingkan harus menaikan tarif KRL yang sudah sangat “merakyat”. Diantaranya adalah membebankan kenaikan tarif KRL ke dalam bentuk pajak progresif dalam kepemilikan kendaraan bermotor yang berpotensi menurunkan keinginan masyarakat untuk memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu dan secara tidak langsung mendorong mereka beralih ke transportasi publik.
ADVERTISEMENT
Selain itu, jika memang jadi dinaikkan, dimohon dengan sangat kepada operator KRL untuk memperbaiki pengelolaan yang ada. Meningkatkan jumlah armada, sarana prasarana, personil keamanan, dan mengefisienkan jadwal perjalanan KRL. Sudah saatnya KRL memiliki jalur yang steril dan armada yang ditambah, tidak terpengaruh kereta api jarak jauh. Jangan sampai headway antar kereta terlalu lama dari standar lima menit karena harus bergantian jalur dengan kereta api jarak jauh. Pun dengan fasilitas dalam gerbong, sekiranya pendingin udara sudah tidak optimal sebisa mungkin diganti atau minimal diperbaiki. Hal itu sangat terasa di jam sibuk berangkat dan pulang kantor. Jumlah personil keamanan juga perlu ditingkatkan, minimal ada satu orang petugas keamanan di masing-masing gerbong, bahkan jika perlu ada dua orang, yaitu di masing-masing ujung gerbong dekat kursi prioritas. Hal ini berangkat dari pengalaman pribadi, seringkali melihat ibu hamil ber-pin yang tidak diberikan tempat duduk oleh orang yang telah menduduki kursi prioritas terlebih dahulu, hal ini perlu jadi perhatian serius oleh petugas keamanan. Agar hal ini berjalan efektif maka jumlah personil keamanan perlu ditingkatkan.
ADVERTISEMENT