Mahameru: Pergolakan Batin dan Mimpi yang Menjadi Nyata

Muhammad Fadjar Hadi
masih hidup dan masih bertahan
Konten dari Pengguna
4 Mei 2020 5:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fadjar Hadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana Puncak Mahameru di 2015
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Puncak Mahameru di 2015
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Meski sudah lima tahun yang lalu, perjalanan menuju puncak Mahameru masih teringat dengan jelas dalam benak pikiran ini. Sama halnya dengan kenangan manis kita di 2018 lalu yang tidak akan pernah bisa untuk aku hapus dan lupakan.
ADVERTISEMENT
Kala itu, semua terasa begitu sangat menyiksa. Terus menanjak, seolah tak ada ujungnya. Memang terlihat dekat di depan mata, namun kenyataannya masih begitu jauh. Ya, mungkin seperti hubungan kita saat ini.
Beberapa kali aku hampir kena longsoran batu yang ada di atas sana. Andai kata salah satu batu jatuh dan kena kepalaku, hampir dipastikan selesai sudah perjalananku di kehidupan yang fana ini. Tapi sepertinya, Tuhan masih ingin aku hidup di dunia ini. Buktinya, hingga kini aku masih sehat dan terus bernapas.
Aku masih ingat hempasan angin yang 'sangat-sangat' tidak normal kala itu. Angin menusuk tulang dan hati yang rapuh ini. Padahal pakaian yang aku kenakan sudah berlapis-lapis. Aku frustasi, aku depresi. Hingga kata-kata itu muncul dibenak ini "Apa semua cukup sampai di sini saja ?".
Iya, dekat di mata. Tapi aslinya aduh pengin nangis kalau diingat-ingat.
Dalam kesengsaraan, berbekal sisa-sisa tenaga yang ada, aku mencari sebuah sandaran untuk beristirahat sejenak yang aman dari bebatuan. Tepat di depan, di pojok kanan jalur summit, ada sebuah batu besar yang sepertinya kokoh dan cocok dijadikan tempat bersandar. Berjalan sempoyongan seperti orang mabuk, aku terus menanjak menuju tempat tersebut.
ADVERTISEMENT
Setibanya di sana, sejenak aku menutup kedua mata ini. Jam menunjukkan pukul 05.30 WIB dan mata ini perlahan mulai terlelap. Baru beberapa menit memejamkan mata, udara yang dingin itu kembali menyadarkanku dari lelapnya tidur. Sesekali aku melihat ke atas “Puncak masih jauh ya,”.
Beberapa rombongan pendaki yang tadinya menyemut, kini mulai menghilang satu per satu. Bukan karena batu, tapi karena mereka menyerah di tengah jalan. Hanya tersisa beberapa pendaki saja yang masih spartan melanjutkan perjalanan ke puncak Mahameru. Mungkin sekitar sembilan sampai 13 orang.
Sunrise dari sini tidak buruk juga kok,” pikirku kala itu. Walau bukan di puncak, lautan awan terlihat sangat begitu jelas. Puncak Gunung Arjuna Welirang yang ada di seberang sana juga terlihat jelas.
Kala bersandar di bawah batu besar
Mungkin jika dikira-kira, aku sudah berada diketinggian antara 3.400 sampai 3.500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Rasanya untuk pendaki pemula yang baru pertama kali mendaki gunung di atas ketinggian 3.000 meter, tidak terlalu buruk juga. Toh, kapan-kapan aku masih bisa datang lagi ke Gunung Semeru ini.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, hati kecil ini menjerit kecewa. “Apa benar semua harus berakhir sampai di sini? Sisa tenaga yang ada, rasanya tak mungkin cukup untuk melanjutkan pendakian ke atas,” Dalam benak ini, hanya ada satu hal yang aku inginkan. Pulang ke rumah, mandi, dan rebahan di atas kasur.
Setelah cukup beristirahat, aku memutuskan untuk turun ke bawah. Entah itu kebetulan atau tidak, tiba-tiba muncul seorang porter dan dua orang pendaki dari Filipina. Mereka menghampiriku dan bertanya "Mau turun ?".
Ya, jelas aku sudah tidak sanggup mendaki, kaki ini sudah sakit, mata mengantuk, dan seluruh badan mengigil karena kedinginan. Belum lagi rasa lapar karena aku tak sempat makan banyak ketika masih di bawah.
ADVERTISEMENT
“Kamu lihat dinding besar itu? Puncak ada di balik sana, paling 15 menit lagi dari sini,” ucap porter misterius itu. Setelah itu, sang porter kembali mendaki bersama dua pendaki asal Filipina itu.
"15 menit?" Aku terdiam cukup lama saat itu. Jamku kini sudah menunjukkan pukul 06.05 WIB. Sesekali aku kembali melihat ke atas. Apa benar puncak tinggal 15 menit lagi?
Dinding besar kata Pak Porter misterius
Di tengah kebinggungan dan kegalauan, aku membuka tas kecil yang menempel dipunggung ini. Tiga sachet madu, satu botol air mineral 1,5 liter sisa setengah, dan beberapa potong roti sobek. "Kiranya ini semua cukup untuk menganjal rasa lapar ini?".
Beberapa menit merenung dan meyakinkan diri, aku putuskan untuk mempercayai kata-kata sang porter itu. Bermodal nekat dan sisa tenaga yang ada, aku kembali berjalan menuju puncak. Berharap apa yang dikatakan porter itu benar adanya.
ADVERTISEMENT
10 menit berlalu, akhirnya aku melewati dinding besar yang porter itu sebutkan. Ternyata, apa yang dia katakan benar! Hati dan kedua kaki ini langsung bergetar, masih tidak percaya kini aku benar ada di puncak tertinggi Jawa Timur. Perasaan jelas campur aduk. Antara sedih dan gembira, semua ini seperti mimpi.
"We did it dude! It’s Mahameru, wow! So beautiful place in here, congrats dude!" kata salah seorang pendaki Filipina yang datang menghampiriku.
Aku hanya terkekeh kepadanya, karena tak tahu harus berkata apa. Setelah itu, aku beristirahat sejenak di puncak sambil melakukan ritual 'foto-foto'.
Bukan, ini bukan Bang Zafran yang di film 5 CM.
Sialnya, baterai ponselku habis dan aku tidak punya power bank. Kesal tidak bisa bikin konten video dan foto yang banyak. Sisa waktu itu akhirnya aku hanya hanya untuk merenung di puncak Mahameru.
ADVERTISEMENT
Tidak terasa, jam sudah menunjukan pukul 07.30 WIB. Cuaca yang tadinya dingin, kini berubah menjadi panas yang teramat sangat. Sekitar pukul 08.00 WIB aku putuskan turun ke bawah karena batas maksimal di puncak hanya sampai pukul 09.00 WIB.
Yah, kira-kira seperti itulah kenangan dan cerita di Mahameru. Kalau aku tulis semua hingga mendetail, mungkin membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyelesaikannya.