Fanatisme dan Kerusakan Otak, Apakah Berhubungan?

Muhammad Arinal Rahman
Seorang akademisi dan penulis jurnal ilmiah yang berdedikasi pada bahasa dan pendidikan. Sedang menempuh S3 dalam ilmu linguistik terapan di University of Szeged, Hongaria, meniti perjalanan intelektual menuju pemahaman mendalam dan kebijaksaan.
Konten dari Pengguna
1 Maret 2024 13:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Arinal Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi fans KPop. Foto: ED JONES / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi fans KPop. Foto: ED JONES / AFP

Membongkar Fanatisme: Perspektif Kritis terhadap Manipulasi Masyarakat Indonesia

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di balik tirai kompleksitas otak manusia, terdapat suatu area yang menjadi pusat perhatian ilmuwan: God Spot, sebuah titik dalam prefrontal cortex yang diyakini menjadi sumber spiritualitas dan koneksi manusia dengan yang ilahi.
ADVERTISEMENT
Namun, sebuah penelitian di Northwestern University dari Illinois, Amerika Serikat, mengungkap fakta mengejutkan bahwa rusaknya area ini tidak menghasilkan ateisme, melainkan fanatisme agama. Sebuah paradox yang memicu pertanyaan mendalam: mengapa dan bagaimana hal ini terjadi?
Mari kita mulai dari latar belakang penemuan God Spot. Saat ilmuwan meneliti otak, mereka menemukan bahwa aktivitas pada bagian prefrontal cortex terkait dengan pengalaman spiritual, seperti rasa takut kepada Tuhan atau pengalaman transenden. Namun, penelitian lanjutan menunjukkan bahwa jika area ini rusak, individu justru cenderung menjadi fanatik terhadap agama. Ini tidak bisa diabaikan sebagai anomali semata.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa begitu banyak orang menjadi fanatik? Padahal tidak semua dari mereka mengalami benturan atau trauma kepala yang mengakibatkan rusaknya God Spot. Jawabannya mungkin terletak pada manipulasi masyarakat oleh sekelompok elite yang ingin mempertahankan atau meningkatkan kekuasaan dan pengaruh mereka.
ADVERTISEMENT
Melalui propaganda yang terampil, mereka mencoba menciptakan dan memelihara fanatisme di antara massa. Contohnya, beberapa tokoh agama atau politik menggunakan ketakutan sebagai alat untuk mempertahankan pengikut mereka. Mereka menakut-nakuti massa dengan ancaman akan kehilangan berkah atau dukungan jika mereka tidak mematuhi ajaran atau mendukung pilihan yang mereka tentukan.
Sebuah contoh nyata dari manipulasi ini terjadi dalam konteks agama. Ustaz atau tokoh agama tertentu mungkin merasa terancam oleh kehadiran sumber informasi alternatif, seperti YouTube, yang dapat membuka pandangan baru bagi pengikutnya. Dengan demikian, mereka menggunakan taktik takut untuk menekan keinginan belajar dari sumber-sumber tersebut, sehingga memelihara fanatisme dalam massa.
Narasi yang biasa dibangun adalah “jangan belajar mengaji dari YouTube” atau “hati-hati belajar agama dari ustaz YouTube”. Masyarakat seolah disugesti bahwa belajar agama haruslah tatap muka dengan ustaz tertentu. Masyarakat ditakut-takuti bahwa di YouTube terlalu banyak ilmu sesat sehingga meraka yang awam pun terjebak dengan narasi itu dan membatasi diri mereka dalam hal mencari ilmu. Inilah cikal bakal sebuah fanatisme dalam hal agama.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, manipulasi seperti ini tidak terbatas pada ranah agama. Politik juga menjadi arena di mana fanatisme sering digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan mengaitkan identitas politik seseorang dengan nilai-nilai atau keyakinan tertentu, para politisi atau elite dapat membangun fanatisme yang membutakan pengikut mereka terhadap pandangan lain atau argumen rasional.
Alhasil, masyarakat dengan sikap fanatisnya berkoar mati-matian membela sang idola tak peduli pada fakta yang disuguhkan. Inilah sikap yang diharapkan para politisi, mereka bertahan di posisi puncak sedang rakyat kebanyakan menjadi tumpuan diinjak-injak bermusuhan di media sosial untuk para elite.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk menyadari peran manipulasi ini dalam pembentukan fanatisme. Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa manusia rentan terhadap sugesti dan pengaruh eksternal, terutama ketika mereka tidak memegang prinsip kritis dan skeptis dalam memproses informasi. Oleh karena itu, mendidik diri sendiri dan orang lain tentang kritis berpikir dan evaluasi independen terhadap propaganda adalah langkah krusial dalam melawan fanatisme yang dipelihara oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, kita tidak bisa lagi mengabaikan betapa pentingnya untuk memahami fanatisme dibangun dan dipelihara dalam masyarakat kita. Hanya dengan memahami sumber dan mekanisme fanatisme, kita dapat menghadapi manipulasi dan menciptakan masyarakat yang lebih terbuka, toleran, dan kritis.