Lobster, Tempe, dan Kemiskinan Pasca-COVID-19

Muhamad Rosyid Jazuli
Peneliti di Paramadina Public Policy Institute. Mahasiswa Doktoral di Departement STEaPP - UCL. Kader Nahdlatul Ulama - Pengurus PCINU UK
Konten dari Pengguna
23 Mei 2020 4:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Rosyid Jazuli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kepala BNPB Doni Monardo (tengah kiri) menerima donasi dari PT Pegadaian (Persero), Senin, (19/5/20) (HUMAS BNPB/M Arfari Dwiatmodjo)
zoom-in-whitePerbesar
Kepala BNPB Doni Monardo (tengah kiri) menerima donasi dari PT Pegadaian (Persero), Senin, (19/5/20) (HUMAS BNPB/M Arfari Dwiatmodjo)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada yang menarik dari pernyataan ketuga Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Letjen Doni Monardo baru-baru ini. Ia menyentil kategori kemiskinan di Indonesia. Intinya, yang tidak bisa makan ayam, berarti miskin, menurut kriteria tersebut.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana mereka yang bisa makan makanan bergizi, misalnya, ikan dan lobster? Juga, apakah yang hanya makan tempe, yang begitu bernutrisi, juga miskin?
Sentilan kritis mantan Danjen Kopassus, pada Senin (19/5/2020), usai berbuka puasa di kantor BNPB, Jakarta Timur, itu tentu bukan untuk jadi bahan perdebatan.
Ini untuk sekedar perenungan bahwa menurut satu set kriteria, kita bisa jadi merasa miskin. Namun ketika kita melihatnya dengan matriks lain, bisa jadi dalam waktu yang sama kita merasa kaya.
Doni sedikit menyinggung pejabat kementrian di Perancis yang harus undur diri karena ketahuan menggunakan uang rakyat untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Salah satunya adalah makan lobster istimewa, sebuah hidangan mewah di Negeri Napoleon tersebut.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, Doni membandingkan pengalamannya melihat dan mengalami sendiri bagaimana banyak kelompok masyarakat di Indonesia yang dikategorikan ‘miskin’ ternyata bisa makan lobster. Secara reguler, bahkan.
Ia menggambarkan ketika bertugas di Ambon, Maluku, ia saksikan banyak masyarakat umum di sana, yang umumnya nelayan, dapat mengonsumsi ikan dan lobster, besar nan segar, dari laut.
Jika miskin versi Badan Pusat Statistik (BPS) adalah mereka yang tidak punya akses terhadap susu dan ayam, jelas tentu banyak orang di Indonesia yang masuk kelas ini. Di kriteria nomor delapan, tertulis, “hanya mengonsumsi daging/susu/ayam dalam satu kali seminggu.”
Harga dua komoditi ini memang umumnya tidak murah bagi sebagian besar kelompok masyarakat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, hal itu bukan berarti mereka tidak bisa mengakses makanan lain seperti lobster. Saya pernah berkunjung ke Kupang dan melihat betapa ikan tuna ‘gede-gede’ sangat terjangkau harganya dan menjadi makanan sehari-hari masyarakat di sana.
Melompati kriteria kemiskinan
Diskusi singkat ini setidaknya menunjukkan bahwa tentu dalam satu set kriteria, banyak masyarakat Indonesia memang miskin. Berapa banyak sih dari kita yang bisa mengonsumsi susu dan ayam secara rutin?
Namun jika kriteria-kriteria ini mau kita ‘lompati’, kita seharusnya perlu banyak bersyukur. Sebab, meski tidak bisa membeli susu dan ayam, banyak saudara dan kawan kita yang bisa makan-makanan yang sama nutrisinya, atau jauh lebih bergizi dan segar, ketimbang sekedar ayam dan susu.
ADVERTISEMENT
Banyak dari kita yang rupanya rutin makan ikan, dan lobster, yang di belahan bumi lain, ini selangit mewahnya, yang bahkan jadikan masalah besar bagi seorang pejabat publik. Di Indonesia, sementara itu, di kelompok masyarakat tertentu, makan ikan yang segar dan besar-besar, ya makan saja karena begitu terjangkau.
Hal ini mengingatkan saya terkait tempe yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Siapa sih orang Indonesia yang ngga kenal tempe? Makanan murah meriah, nan erat citranya dengan masyarakat miss-queen.
Ingat kan kita sering mendengar istilah 'mental tempe,' sebuah istilah yang konotasinya bukan positif.
Singkatnya, ketika saya menempuh pendidikan magister di Selandia Baru, sulit saya temukan tempe di sana. Hanya ada satu produk tempe yang dijual di supermarket dengan harga selangit. Harga perkilonya 24 dolar atau 240 ribu! Sama harganya dengan daging sirloin steak kelas menengah atau kelas wahid pas diskon.
ADVERTISEMENT
Saya akhirnya harus membuat tempe sendiri untuk bisa swasembada tempe. Kebetulan sebagai 'cah mblitar,' sebutan umum untuk anak muda dari dari Kota Blitar, Jawa Timur, tempe sudah akrab di kehidupan kami sejak kecil.
Selain menjadi 'tempevora' yang radikal, banyak senior, rekan, dan junior saya yang hingga kini jadi produsen tempe.
Nah, di Selandia Baru, tekor tentunya kalau harus terus-terusan beli tempe di supermarket.
Tempe saya jual untuk fundraising pembelian popok anak saya karena uang beasiswa tidak cukup. Saya membuat Indonesian Tempeh in Wellington.
Dari penjualan tersebut, saya melihat tren konsumen tempe di Selandia Baru. Mereka adalah kalangan menengah keatas yang rata-rata berpendidikan.
Mereka tahu bahwa tempe memiliki nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan tubuh manusia. Saya melihat betul kebahagiaan mereka dapat mengonsumsi tempe. Apalagi saya membuatnya dengan dibungkus daun pisang sehingga otensitasnya lumayan menjadi nilai tambah tersendiri.
ADVERTISEMENT
Sebagian dari mereka juga termasuk kelompok vegan yang ingin memperbaiki asupan nutrisi dengan makanan sehat bebas produk hewani. Intinya, mereka bukan kelompok orang miskin tidak berpendidikan, yang umumnya sering memilih mengonsumsi panganan cepat saji.
Kemewahan lobster dan tempe
Kembali ke sentilan Letjen Doni, ia menyinggung bahwa paska pandemic COVID-19 ini, tentu banyak kalangan publik yang terpukul. Secara sederhana, bukan tidak mungkin akibat penyebaran virus Corona, saudara atau rekan kita jatuh miskin akibat krisis karena pandemi ini.
Pada batas-batas tertentu, istilah miskin ini tentu sangat relatif penggunaannya. Akibat COVID-19 ini, Sebagian dari masyarakat Indonesia akan jatuh miskin, sesuai 14 kriteria kemiskinan a la BPS, atau setidaknya sesuai kriteria nomor delapan tadi.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan tidak mungkin, dengan menggunakan set kriteria lainnya, bisa jadi mereka tidak miskin. Mereka di pesisir tetap akan bisa makan ikan dan lobster.
Terkait kisah saya, mereka yang karena COVID-19 ini jadi tidak bisa beli ayam, mereka bisa mengalihkan konsumsinya ke tempe. Memang terdengar ‘kismin’, tapi saya ingin sampaikan bahwa ini makanan mewah di Selandia Baru.
Tempe mewah bukan hanya karena harganya, tapi karena nutrisinya. Bahkan, saya menyaksikan bahwa sebagian konsumen tempe saya menghargai tempe karena nilai otentisitas dan tradisionaliasnya.
Sebagaimana mewahnya lobster dikonsumsi orang berada di perancis, dalam batas tertentu tempe juga semewah demikian di Selandia Baru.
Banyak yang berdiskusi terkati new normal paska pandemi Corona berakhir nanti. Tidak apa tidak bisa menjangkau susu dan ayam. Kita masih bisa makan ikan, lobster atau tempe, atau juga makanan bernutrisi alternatif lainnya yang banyak macamnya. (*)
ADVERTISEMENT