Wiji Thukul Masih Utuh, dan Kata-kata Belum Binasa

Mugiyanto
I was with IKOHI, a national association of victims of human rights violation, and AFAD, an Asian human rights federation working directly on issues of enforced disappearances. Currently with INFID, in charge of human rights and democracy program.
Konten dari Pengguna
19 Januari 2017 15:29 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mugiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Potongan sajak 'Peringatan' Wiji Thukul (Foto: Dokumen pribadi)
Bulaksumur, Yogyakarta, tahun 1994.
Kala itu Wiji Thukul kami daulat membaca puisi di ruang Auditorium Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) UGM di Bulaksumur Yogyakarta. Dengan suara cedal, ia melantunkan beberapa puisinya. Saya masih ingat suasana waktu itu.
ADVERTISEMENT
Hadirin, para mahasiswa fakultas Sastra, Filsafat, Psikologi, Fisipol dan Fakultas Hukum, serta beberapa aktivis non UGM menyimak serius. Sesekali mereka menimpalinya dengan seruan-seruan “Lawan!” dan “Hidup Rakyat”, terutama saat Wiji Thukul membaca Sajak Peringatan.
Kami yang mengundang Wiji Thukul adalah Pers mahasiswa Fakultas Sastra UGM, Dian Budaya.
Pertemuan cukup intens terjadi lagi pertengahan tahun 1997 di Jakarta.
Dalam momentum Pemilu 1997, organisasi kami melibatkan diri. Kami turut berkampanye. Waktu itu kami mendorong dan mendukung Megawati untuk menjadi Calon Presiden, menantang Suharto.
ADVERTISEMENT
Kami tinggal bersama di sebuah flat sederhana di bilangan Cawang, Jakarta Timur. Dan sejak Itu nampaknya menjadi perjumpaan terakhir kami dengan Wiji Thukul.
Nama Wiji Thukul disebut-sebut lagi pada bulan Maret 1998. Kali ini dalam suasana berbeda.
Saya tidak ingat betul, apa mereka menyebut nama Wiji Thukul sebagai orang yang sudah mereka tangkap, atau sebagai orang yang sedang mereka buru.
ADVERTISEMENT
Setelah Suharto diturunkan oleh gerakan mahasiswa, beberapa aktivis yang dinyatakan mulai dibebaskan. Saya kebagian pembebasan tanggal 8 Juni 1998. Tetapi sebetulnya bukan pembebasan, melainkan penangguhan penahanan.
Saat ini, 19 tahun kemudian, Wiji Thukul menjadi sosok dan objek yang kami cari.
Wiji Thukul merupakan sosok yang pernah ada, menginspirasi jutaan orang yang terpinggirkan, diburu oleh aparat negara, tak pernah dinyatakan meninggal, tetapi wujudnya tidak ada.
Inilah kejamnya tindakan penghilangan orang secara paksa (enforced disappearance), ia menihilkan apa-apa yang oleh Tuhan dan semesta di-ada-kan.
Salah seorang advokat anti penghilangan paksa dari Argentina, mendiang Patricio Rice, pernah berkata kepada saya mengenai hal ini:
ADVERTISEMENT
Saat saya di IKOHI, pernah beberapa kali mendapatkan informasi bahwa Wiji Thukul ada di tempat A, B, C. Tetapi setelah kami lacak dan temui, ia hanyalah orang yang mirip saja dengan Wiji Thukul. Pun, ternyata ada juga orang yang kurang kerjaan yang memanfaatkan hilangnya Wiji Thukul ini.
Wiji Thukul memang tidak bersama kita. Tetapi ia ada. Ia memiliki wujud. Bahkan berlipat ganda. Saya percaya dengan puisinya yang ditulis tahun 1997: