LIPSUS JUAL BELI DATA PRIBADI, Ilustrasi jual beli data pribadi

Salahkah Pemerintah Menyerahkan Identitas Kita kepada Lembaga Swasta?

Moddie Alvianto Wicaksono
Menulis suka-suka
29 Juli 2019 11:01 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi jual beli data pribadi. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jual beli data pribadi. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
ADVERTISEMENT
Kalimat itu terlontar di antara tukang becak ketika saya menandaskan lele goreng yang durinya sempat tersangkut di gigi.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, tak hanya tukang becak yang berkata demikian. Saya pun juga. Ingin patuh kepada pemerintah. Sebab, jika tak patuh, nanti dianggap mendirikan khilafah. Eh.
Masalahnya, melihat berita terhangat minggu ini, saya jadi ragu. Tentang isu penjualan identitas negara kepada lembaga swasta. Apakah saya atau masyarakat Indonesia benar-benar ingin patuh kepada pemerintah ketika pemerintah malah ingin “menjual” rahasia negara?
Ya, kata menjual memang sengaja saya kasih tanda kutip. Sebab, dalam penjelasan pemerintah, mereka tak menjual melainkan hanya kerja sama dengan seribu lebih lembaga swasta dalam rangka “pengamanan” identitas diri.
Bagi yang belum baca isi beritanya dan hanya melihat dari judulnya, pasti akan bertanya-tanya. Buat apa mereka bekerja sama dengan lembaga swasta terkait identitas diri? Sepemahaman saya, identitas diri bersifat rahasia—itu pun dengan syarat dan ketentuan berlaku.
ADVERTISEMENT
Kecuali, yang mengakses adalah pemerintah. Lah, kalo lembaga swasta bisa akses, lantas buat apa? Buat diperdagangkan? Buat dikirimi pesan sehari dua kali dengan isinya “butuh pinjaman dana secara cepat dan tepat” atau “selamat, Anda mendapatkan hadiah 10 M dipotong pajak semau perusahaan”?! Begitukah? Mbell.
Jika alasan mereka agar lebih memudahkan dalam melayani masyarakat tanpa harus mengisi formulir, sekarang saya tanya, ya. Instansi mana, sih, baik negeri atau swasta yang tak memerlukan formulir buat arsip data? Jarang, kan?
Berati alasan mereka ngeles. Sebab, alasan utamanya adalah masyarakat cukup menyerahkan NIK, tanpa menulis formulir, maka akses terbuka. Nyatanya, enggak. Sila coba ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Duh, formulirnya segambreng.
ADVERTISEMENT
Ini jangan diartikan saya tak setuju dengan kebijakan terbaru dari pemerintah. Tapi, mbok ya mikir lebih panjang. Apalagi alasan, yang lagi-lagi ngeles, satu lagi bersifat absurd.
“Anda saja kan kalau ke lembaga swasta dimintakan KTP dan tetek bengek lainnya, tak masalah, kan? Kenapa sekarang yang disalahkan malah pemerintah? Coba disalahkan juga swastanya!”
Yungalah. Ini gimana, seh? Dikritik, malah balik kritik. Hadehhh. Khas pemerintah yang lagi berkuasa.
Tapi, sejujurnya, kita memang sudah seharusnya dan semestinya terbiasa dengan pola pemerintah yang pada akhirnya selalu bergantung pada swasta.
Ilustrasi jual beli data pribadi. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
Jadi begini. Saya kasih cerita.
Indonesia adalah negara besar. Dengan jumlah sumber daya manusia yang hampir 250 juta, tentu saja, pemerintah tak sanggup mengembangkan dan mengolahnya sendirian.
ADVERTISEMENT
Coba tengok Kalimantan. Untuk mengurus hutan seluas itu, butuh lembaga swasta yang kredibel untuk menanganinya. Dan lihat, meskipun akhirnya hutan tak lagi berwarna hijau tapi krem, keuntungan pemerintah dari sana jauh lebih baik. Investasi meningkat. Perekonomian kian dahsyat.
Perlu diingat dan dicamkan pada setiap kepala masyarakat Indonesia. Apa pun yang dilakukan pemerintah Indonesia haqqul yakin untuk kebaikan kita juga. Meskipun, pada faktanya, harus mengorbankan bahkan menumpas tak hanya sumber daya alam, melainkan hewan dan juga manusia.
Melihat fakta yang demikian, pemerintah Indonesia mungkin bisa menerapkan lirik lagu dari Banda Neira. “Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.” Tapi, sebaiknya ada yang perlu digubah. Liriknya harus sedikit revisi. “Yang patah runtuh, yang hilang tak kembali”.
ADVERTISEMENT
Tapi, sekali lagi, saya mencoba berpikir positif. Jangan-jangan diperbolehkannya swasta untuk mengelola identitas diri masyarakat Indonesia untuk pembukaan lapangan kerja.
Seperti yang kalian tahu, kan, generasi milenial saat ini sangat kesulitan mencari lapangan pekerjaan. Siapa tahu, perusahaan akan jemput bola dan cukup melihat dari daftar dan riwayat NIK, mereka tahu kelakuan baik atau buruk sejak kecil hingga sekarang.
Persis kayak di film-film AS. Tak perlu wawancara banyak, cukup ketik NIK, maka muncullah riwayat hidup. Masalahnya, mampukah pemerintah kita melakukannya? Ya bisa, tinggal bekerja sama dengan swasta.
Jika benar demikian, tak ada lagi keluh kesah dari seorang anak yang berkicau soal rendahnya gaji yang diajukan dari sebuah perusahaan lokal. Sebab, jika melihat NIK, semua teratasi. Terlihat seberapa banyak prestasi yang telah diberikannya kepada tempat belajarnya atau lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Jadi, sejujurnya saya kian optimis dengan pemerintah Indonesia. Cara berpikirnya meluas, visioner kalau boleh disebut. Kalau ada masyarakat yang tak bisa menelaahnya, berarti masyarakatlah yang salah. Kok bisa-bisanya enggak paham maksud pemerintah.
Kalo sudah begini, saya jadi ingat pesan Romo Magnis Suseno. “Di alam budaya korup, kompetensi tak bernilai. Yang mendapat proyek, bukan yang kompeten, melainkan yang membayar lebih banyak.”
Berarti, untuk yang terakhir kalinya, apakah swasta bisa menggadaikan identitas kita? Ya, enggak tahu. Coba saja tanya penduduk Kalimantan atau Kendeng. Mereka yang terpaksa terbiasa dengan pola pikir pemerintah. Alam saja bisa digadaikan, apalagi cuma identitas.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten