Soilless Gardening di Perkotaan: Lini Masa dan Masalah Berkebun Hidroponik (I)

Mirza Ardi Wibawa
Sejarawan, Petani Urban, Kafkasque @mirdiwa
Konten dari Pengguna
14 Juli 2022 19:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mirza Ardi Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Soilless Gardening di Perkotaan: Lini Masa dan Masalah Berkebun Hidroponik (I)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Soilless Gardening bukan metode bertanam yang ditemukan baru-baru ini. Beberapa bukti sejarah menunjukan bercocok tanam dengan sedikit tanah sudah dipraktikan pada peradaban kuno, seperti Taman Gantung Babylonia hingga kebun terapung bangsa Aztec. Meski disebut soilless, bukan berarti nirsoil, atau sama sekali tanpa tanah. Senyawa dalam tanah tetap ada hanya saja dialih bentuk menjadi pekatan yang dilarut ke dalam air sebagai media tumbuh tanaman.
ADVERTISEMENT
Bercocok tanam dengan sedikit tanah semakin berkembang setelah W. F. Gericke mempopulerkan istilah ‘hidroponik’ dalam bukunya yang terbit tahun 1940 berjudul ‘The Complete Guide to Soilless Gardening”. Hidroponik sendiri diperkenalkan melalui seminar Gericke sejak tahun 1929, yang berarti seni dan sains menumbuhkan tanaman dengan media air. Bersanding dengan agrikultur 'care of the field' atau 'merawat ladang', hydro (air) dan ponos (daya) memiliki dasar teori bahwa semua faktor pada pertumbuhan tanaman (yang biasa disuplai oleh tanah) dapat direkayasa dengan sistem penyerapan nutrisi bermedia air.
Pengembangan hidroponik telah melalui serangkaian ujicoba. Menurut Gericke, percobaan hidroponik mulanya agar pemanfaatan tanah bisa lebih baik untuk pertanian. Sejak tahun 1929, ketika teori hidroponik dipresentasikan, tujuan tersebut bergeser. Model bercocok tanam tanpa tanah dikembangkan untuk meningkatkan hasil panen serta memanfaatkan lahan untuk bertani di dearah yang kurang subur. Tentu biaya yang diperlukan per area bertani hidroponik lebih mahal dibanding pertanian konvensional. Meski begitu, uji coba pertanian hidroponik terbilang cukup diminati pada masa awal mula dikembangkannya metode ini.
ADVERTISEMENT
Karya Ellis, Swaney dan Eastwood yang diterbitkan tahun 1963 merekam beberapa perusahaan swasta yang mulai melakukan pengembangan model pertanian hidropnik. Shell Oil Company misalnya, pada tahun 1944 menginisiasi sebuah kebun hidroponik di Pulau Curaçao, sebuah koloni Kerajaan Belanda di Hindia Barat (Kepulauan Karibia).
Tujuan kebun itu antara lain agar dapat memenuhi sayuran segar untuk pegawai mereka di pertambangan minyak lepas pantai. Ketertarikan Shell terhadap hidroponik sebenarnya juga terinsiprasi dari model kebun hidroponik yang lebih dahulu dikembangkan Lago Oil and Transport Company, anak perusahaan dari Standard Oil Company of New Jersey, di Pulau Aruba yang berjarak 80 km sebelah barat daya Curaçao.
Pengembangan berskala lokal pada waktu yang berdekatan juga dilakukan di beberapa lokasi terpencil. Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) pernah mendirikan kebun hidroponik di Pulau Ascension dan di Iwo Jima. Dua pulau ini mempresentasikan kebun hidroponik sebagai solusi pertanian pada lanskap alam yang tandus. Eastwood mensyaratkan dua kondisi dan urgensi berhidroponik.
ADVERTISEMENT
Pertama, berada di daerah yang tidak memungkinkan diaplikasikannya agrikultur, namun secara iklim masih menunjang produksi tanaman pertanian. Kedua, hidroponik dapat dikembangkan di dalam ‘greenhouse’ dengan teknik pertanian terukur sehingga dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas pertanian. Dua syarat tersebut menjadi pertimbangan sekaligus potensi yang dapat kita lihat pada masa mendatang terhadap model pertanian hidroponik, baik untuk tujuan non-komersil, semi-komersil maupun industrialisasi produk hidroponik yang masih eksklusif.
Satu artikel dalam harian Glen Innes Examiner di New South Wales pada 20 September 1938 berjudul ‘Crops in Water: Strange Pacific Experiment’ cukup menarik perhatian. Artikel tersebut mewartakan transformasi Wake Island, sebuah pulau yang terletak di dekat gugusan sub-ekuator Samudra Pasifik dengan kondisi vegetasi yang tandus, menjadi salah satu situs pionir percobaan kebun hidroponik di dunia. Seorang agrobiologis dari University of California, Lamory Laumeister, sukses menumbuhkan beberapa macam sayur dan buah untuk menyuplai kebutuhan pengguna jasa Pan American Airways serta personil Angkatan Laut Amerika Serikat di lini Pasifik.
ADVERTISEMENT
Fakta ini memunculkan pertanyaan menarik, apakah hidroponik menjadi bagian dari cerita Perang Dunia II dan setelahnya? Namun, hal yang patut ditandai dalam sejarah adalah keberhasilan hidroponik pada masa awal pengembangannya mampu menjawab tantangan kebutuhan sayur dan buah bagi daerah terpencil serta kurang ramah untuk menerapkan pertanian yang bergantung pada tanah.
Kontra dengan progres yang dicapai Wake Island, pada harian The Sun di Sydney tanggal 29 Oktober 1938, terbit artikel berjudul ‘Australia Won’t Use Hydroponics’. Dua poin yang disampaikan artikel itu dapat terangkum dalam pernyataan Kepala Departemen Agrikultur New South Wales, Mr. A. H. E. McDonald. Ia ragu penerapan hidroponik di Australia memiliki nilai yang praktikal. Di Wake Island, terangnya, terbukti ada pengecualian karena kondisi tanah tidak dapat digunakan untuk pertanian. Namun pada kondisi normal, metode hidroponik terlalu mahal.
ADVERTISEMENT
Sikap skeptisnya seperti menggema ke masa sekarang. Saya coba terjemahkan sedikti lebih lengkap pernyataannya: “…Jadi mengapa harus mengeluarkan biaya besar untuk bercocok tanam di air? Mengapa tidak menambahkan elemen tertentu ke dalam tanah untuk meningkatkan kemampuan tumbuh tanaman, daripada menggunakan air dengan lingkungan yang harus selalu serba terkondisikan?”
Belum lagi, muncul kritik ilmiah menyoal kerentanan media air terhadap sebaran bakteri kuman dan jamur. Pendukung pertanian konvensional memiliki argumen bahwa tanah menyediakan material alami yang mampu menyeimbangkan potensi kerusakan tanaman dari penyakit. Sementara solusi yang ditawarkan hidroponik adalah dengan penggunan rumah kaca (greenhouse) yang tentunya akan menambah biaya. “Maka bagi amatir, bertani hidroponik tidak disarankan kecuali untuk hobi”, kata seorang kritikus pada sebuah artikel berjudul “Hydroponics: No Threat to Farms” dalam harian Chronicle, Adelaide 13 Juni 1940.
ADVERTISEMENT
Jika pada masa sekarang kita senada dengan kritik terhadap hidroponik yang disampaikan hampir seabad silam, maka semakin menarik untuk mempertanyakan ‘apakah hidroponik memiliki dampak signifikan sebagai solusi ketahanan pangan?’. Lanjut di bagian ke-2.