Mudik Sedari Pandemi: Polemik Tradisi dan Pelonggaran Transportasi

Mirza Ardi Wibawa
Sejarawan, Petani Urban, Kafkasque @mirdiwa
Konten dari Pengguna
22 Mei 2020 10:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mirza Ardi Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tidak ada yang lebih berisiko dari berpergian saat pandemi, baik risiko tertular maupun menularkan. Masyarakat bukannya tidak cukup mendapat informasi dari bahaya apabila memaksakan diri untuk tetap kembali ke kampung halaman.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, keinginan ini terdesak setidaknya oleh dua hal. Pertama, karena faktor ekonomi. Kedua, karena tradisi. Faktor pertama sudah jadi ‘lauk’ headline di berita nasional selama tiga bulan terakhir, bahwa berkurangnya aktivitas ekonomi selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan pekerja di kota besar yang dirumahkan enggan bertahan dengan paket bantuan sosial, dan memilih pulang ke daerah asal.
Namun, bagaimana dengan alasan kedua?
"Don’t cough without covering your mouth. Flu is passed on like this!" Ryu¯kosei Kanbo¯ [The Influenza Epidemic], Tokyo, Central Sanitary Bureau, 1922. Sumber: Geoffrey W. Rice Japan and New Zealand in the 1918 influenza pandemic dalam Howard Phillips (ed) The Spanish Influenza 1918-19 New Perspective (2003).
Pada tulisan saya sebelumnya di kawalcovid19.id yang membahas wabah Pandemi Flu tahun 1918, “Dari ‘De Epidemie’ ke Wajah Abad ini Menghadapi Wabah”, hal yang perlu digaris bawahi adalah sebaran awal gelombang pertama terjadi antara Juni dan Juli 1918 Masehi, atau bertepatan dengan bulan Ramadhan dan Syawal tahun 1336 Hijriah.
ADVERTISEMENT
Seabad berselang, kita dihadapkan lagi pada kondisi yang sama, yaitu pandemi dan musim orang berpergian untuk tradisi mudik saban bulan puasa dan hari lebaran. Benak masyarakat Indonesia sulit untuk meninggalkan tradisi ini, bahkan sedari pandemi. Motivasi berkumpul dan bertemu keluarga memang sudah sejak masa kolonial menjadi alasan derasnya mobilitas masyarakat.
Sebagai contoh, pada Onderzoek naar de mindere welvaart der inlandsche bevolking op Java en Madoera (Penelitian tentang kemakmuran penduduk asli di Jawa dan Madura) tahun 1906 dalam karya Rudolf Mrazek ‘Engineers of Happy Land’ menunjukkan bahwa alasan berpergian masyarakat Jawa dan Madura setelah terbangunnya infrastruktur transportasi modern (semisal jalan raya dan kereta api), antara lain: 69,5% untuk kepentingan ekonomi (mencari kerja) dan 30,5% untuk urusan pribadi.
ADVERTISEMENT
Bagian 30,5% urusan pribadi ini kemudian dipecah lagi, yaitu 3,1% berwisata, 3,0% berziarah, 3,6% menghadiri urusan pemerintahan (pengadilan dsb.) dan yang terbanyak adalah mengunjungi anggota keluarga, yakni sebesar 20,8%. Dengan kata lain, sudah sejak dahulu kegemaran masyarakat untuk mengunjungi sanak saudara menjadi salah satu alasan terbesar untuk berpergian setelah hajat ekonomi terpenuhi.
Dibandingkan dengan sekarang, kita bisa berterima kasih kepada modernisasi informasi yang sudah mensosialisasikan secara masif bahaya mudik saat pandemi, meski tetap saja ada masyarakat yang tidak tuntas membaca situasi.
Pada tahun 1918, Ketika surat kabar gencar-gencarnya memberitakan wabah flu sebagai 'penjakit baroe', tidak banyak yang bisa dilakukan guna mencegah penyebarannya, kecuali isolasi mandiri serta membina kesadaran bahwa selain takhayul, ada peran ‘Ilahi’ agar masyarakat mau bersabar menerima nasib.
ADVERTISEMENT
Wabah Pandemi Flu menyebar, dari episentrum di Sumatra Timur ke pelosok Jawa pada gelombang pertama. Lalu mulai terjadi penyebaran di kepulauan timur nusantara pada gelombang kedua.
Catatan Kepala Dinas Kesehatan Hindia Belanda Dr. De Vogel mengatakan penyebaran influenza di pelabuhan-pelabuhan kecil selalu terjadi setelah kunjungan kapal laut. Menurutnya, penularan sangat mungkin terjadi dari kontak awak kapal dan penumpang dengan penduduk.
Tidak heran pelabuhan di Sumatra Timur (sekarang Sumatra Utara) yang berhadapan dengan ramainya pelayaran internasional menjadi daerah yang tertular pertama kali. Daerah penghasil komoditi perkebunan ini juga menjadi tujuan kuli kontrak yang sebagian besar didatangkan dari Jawa. Sehingga, kembalinya mereka dari daerah tempat kerja bisa berpotensi menularkan di kampung halaman.
ADVERTISEMENT
Memang belum ditemukan bukti langsung antara kembalinya kuli Jawa dari Sumatra dengan penularan di daerahnya selama periode mudik Idul Fitri pada masa-masa pandemi 1918-1920. Akan tetapi, dalam surat kabar Bataviaasch nieuwsblad 29 Juni 1920 memberitakan sebuah kapal dari Belawan-Deli tiba di Pelabuhan Tanjung Priuk dan diketahui 160 penumpangnya terbukti menderita penyakit influenza.
Kemungkinan kasus yang sama bisa terjadi di pelabuhan-pelabuhan kecil lain yang tidak terekam kolom berita. Jelasnya, perpindahan masyarakat dengan berbagai moda transportasi menjadi rantai yang membuat penyebaran virus bertahan dan menyandera kegiatan masyarakat lebih lama lagi.
Pada berita yang sama, terjadi keresahan di Surabaya karena tingginya angka kematian di kota itu akibat pandemi. Salah satu dampaknya adalah pekerja yang hendak pergi keluar kota diperiksa dengan teliti, bahkan mereka yang pilek tidak diizinkan berangkat.
ADVERTISEMENT
Upaya pengetatan kesehatan di pelabuhan dan stasiun mutlak jadi keharusan. Meskipun, akan lebih baik lagi jika dilakukan pelarangan di masa pandemi, setidaknya cukup selama waktu-waktu orang akan pergi mudik demi tradisi.
Jika pemerintah sudah kecolongan dengan angka jutaan pemudik yang ternyata lebih dahulu kembali ke daerah asal, maka gelombang ujian berikutnya adalah mengawasi masyarakat yang hendak kembali ke kota tempat mereka bekerja.
Apabila gagal pada remedial di gelombang kedua ujian ini, bukan tidak mungkin menjadi sebab bagi gelombang kedua pandemi.
Sumber:
Bataviaasch nieuwsblad, 29 Juni 1920, “Influenza te Surabaya”.
Kirsty Walker, “The Influenza Pandemic of 1918 in Southeast Asia”, dalam Tim Harper dan Sunil S. Amrith (ed.) Histories of Health in Southeast Asia: Perspective on the Lon Twentieth Century, Indiana: Indiana University Press, 2014.
ADVERTISEMENT
Mirza Ardi Wibawa. https://kawalcovid19.id/content/796/dari-de-epidemie-ke-wajah-abad-ini-menghadapi-wabah, 2020
Priyanto Wibowo, dkk., Yang Terlupakan: Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, Jakarta: Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. 2009.
Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony. Princestone: Princestone University Press. 2002.
Siddhart Chandra, “Mortality from the Influenza Pandemic of 1918-19 in Indonesia” dalam Population Studies, Vol. 67, No. 2 pp. 185 – 193, 2013.