Berita Kematian dan Kecemasan Para Perantau

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2023 5:39 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi seseorang yang menuju titik akhir. Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi seseorang yang menuju titik akhir. Sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di akhir bulan Juli, setelah tiba di kos dan sedang berbaring di ranjang sekadar untuk sejenak melepas penat sebelum membersihkan badan. HP saya yang tergeletak di samping kasur, tiba-tiba berbunyi. Ibu menelepon mengabarkan meninggalnya salah seorang kerabat yang rumahnya tepat berada di depan rumah.
ADVERTISEMENT
Memang, sudah lama almarhum sakit namun masih tetap bisa beraktivitas. Sejak dua bulan yang lalu, sakitnya semakin parah sehingga harus istirahat di rumah. Dua hari terakhir, dia dirawat di salah satu rumah sakit kabupaten tetapi karena kondisinya semakin memburuk, dia direncanakan akan dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap di ibu kota provinsi.
Sampai di sini, tidak ada hal yang aneh dari cerita ibu karena peristiwa semacam itu lumrah bagi seseorang yang sedang sakit. Namun saya tertegun ketika ibu melanjutkan ceritanya mengenai bagaimana almarhum memberikan tanda kepada keluarga yang sedang menjaganya.
Beberapa jam sebelum meninggal, dia masih menyadari bahwa ada rencana dia akan dirujuk ke rumah sakit di Makassar. Dia kemudian bertanya kepada keluarga yang saat itu menjaganya;
ADVERTISEMENT
Kusangai ala dirujukna ke Juppandang, piranni pale?” (Katanya saya akan dirujuk ke rumah sakit kota, jam berapa saya dirujuk?)” kalimat tersebut terlontar dari mulutnya dengan sadar dan penuh harap. Mengingat administrasi rumah sakit butuh waktu untuk diselesaikan sehingga tidak bisa langsung dilakukan tindakan atau rujukan, maka sedikit agak tertunda untuk mengurus hal-hal administratif.
Sepersekian menit setelah menanyakan kapan akan dirujuk, dia kemudian menimpali dengan pernyataan singkat:
Jolomo aku pale’na pole...!” (Kalau gitu, saya pulang duluan saja.)
Suara lirih itulah yang menjadi kalimat terakhir keluar dari mulutnya. Setelah itu, dia berlalu dalam kesunyian dan meninggalkan perasaan sesak bagi keluarga yang ditinggalkan. Langkahnya sudah selesai di penghujung bulan Juli ini. Dia pergi dengan tenang sementara kita bergelut dengan segala ketidakpastian di dunia ini.
Ilustrasi lab Rumah Sakit. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Semua manusia menyadari bahwa yang namanya kematian adalah hal yang pasti bahkan jauh lebih pasti dari kemungkinan tidak jatuhnya makanan yang hendak disuap ke dalam mulut. Setelah itu, semua ambisi berakhir begitu saja dan meluluhlantakkan harapan-harapan yang selama ini diidam-idamkan. Mungkin itulah hikmah dibalik petuah bahwa kematian adalah pengingat terbaik bagi manusia.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini bukan semacam obituari tetapi sekadar refleksi terhadap hal-hal yang lumrah dalam hidup kita sehingga diabaikan begitu saja termasuk kematian. Terlalu seringnya berita kematian yang menghampiri kita sehingga melupakan bahwa pelajaran terpenting dalam hidup seseorang ketika mendengar berita tentang kematian.
Seberapa lama kematian menjadi pelajaran bagi manusia untuk memperbaiki diri? Atau seberapa lama seseorang bersedih hati ketika ditinggal mati oleh keluarganya?
Kajian eskatologi, termasuk ke mana kita setelah kematian, apa yang akan kita alami menjelang kematian, dan seperti apa ketika kita sudah di kuburan, masih menjadi misteri sejak manusia pertama sampai manusia yang hidup di hari ini. Bagaimana merasionalkan seseorang yang pamit karena sebentar lagi akan meninggal. Atau apakah seseorang yang akan meninggal sudah mendapat bisikan bahwa waktunya sudah berakhir?
ADVERTISEMENT
Pada titik inilah, Agama dan Sains tidak menemukan titik temu. Sains tidak mau tahu, pokoknya semua hal harus bisa dirasionalkan dan bisa dikuantifikasi, apa pun bentuk dan kejadiannya. Kematian dianggap sekadar persoalan alamiah yaitu tidak berfungsinya alat vital dalam tubuh atau terjadi ketidakseimbangan yang menyebabkan semua organ tubuh tidak berjalan sesuai fungsinya. Sementara agama memberikan penjelasan yang sifatnya transenden.
Ketika bingung dengan pertentangan semacam ini, saya selalu mengingat-ingat pelajaran dari pak Faiz bahwa ada lima sumber pengetahuan dalam hidup dan harus digunakan sesuai fungsinya. Berbagai kebingungan dan kebimbangan seseorang karena tidak mampu memilah perangkat pengetahuan yang digunakan dalam keadaan tertentu.
Kelima alat tersebut adalah pertama, indera yang digunakan untuk wilayah fisikal-material. Kedua, naluri digunakan menggarap potensi kemanusiaan untuk memahami pengetahuan tentang hidup dan kehidupan. Ketiga, rasio digunakan dalam wilayah pemahaman proses, sebab-musabab, dan abstraksi. Keempat, nurani merupakan potensi manusia dalam pemahaman martabatnya sebagai makhluk spiritual dan pemahaman moral. Kelima, intuisi merupakan potensi manusia memahami dimensi transenden dalam kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Jadi ketika kita disuruh oleh guru mengerjakan matematika, jangan menggunakan intuisi karena akan kacau, harus menggunakan rasio. Ketika berbicara tentang bidang eskatologis, maka seminimal mungkin hindari menggunakan rasio karena kemungkinannya tidak akan mampu menggapainya.
Ketika mendengar berita kematian, tidak perlu menanyakan penyebab kematiannya kecuali untuk beberapa kondisi tertentu jika ada hubungannya dengan kematian tidak wajar yang butuh pembuktian sebagai alat bukti hukum. Begitulah semesta memberikan kita instrumen untuk digunakan sesuai fungsinya.

Berita Kematian

Keluarga sedang ziarah kubur. Sumber: Dokumentasi Pribadi
Di tahun-tahun awal merantau, belum ada perubahan drastis atas kondisi kampung ketika mudik. Namun satu dekade berlalu, semua terasa sudah tidak seperti sedia kala. Nenek sudah lama berpulang, bibi pamit duluan, dan keluarga lain yang sudah menyusul. Keponakan yang dulu masih merangkak, sekarang sudah mengenakan baju seragam putih biru.
ADVERTISEMENT
Sebelas tahun merantau seperti mengeja momen demi momen mendengar berita duka dari kampung halaman. Berita kematian lebih menyengsarakan daripada sekadar cacian pimpinan.
Ketika mendengar suara dari seberang dengan nada yang pelan dan disertai suara yang lirih maka pikiran langsung menerka, siapa lagi yang mendapat giliran untuk berpulang. Berita kematian menjadi semacam ilusi yang selalu meneror setiap kali hendak memejamkan mata.
Berita kematian memang memilukan bagi keluarga yang ditinggalkan namun seringkali hanya menjadi angka statistik bagi pemerintah. Pandemi yang lalu menjadi sejarah bagaimana berita kematian menjadi hanya semacam menghitung angka.
Momen menjelang kematian memang seringkali misterius. Tahun lalu pasca bulan Ramadhan, salah seorang pimpinan di kantor saya yang lama, meninggal di rumah sakit tanpa diantar siapa pun. Dia sendiri yang kemudian pergi ke rumah sakit yang berada di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Kisahnya mengharukan dan seakan dia sudah mengetahui waktunya sebentar lagi akan berakhir. Jadi seperti biasa, dia selalu pulang paling akhir dari kantor. Apalagi malam itu ada pertandingan timnas sepakbola Indonesia sehingga dia memilih untuk menonton di kantor sebelum pulang.
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, dia melewati sepanjang jalan Antasari. Setiba di Antasari, dia memarkir mobilnya di pinggir jalan kemudian memesan taksi untuk memeriksakan kesehatannya ke rumah sakit Fatmawati. Sama sekali tidak ada yang mengantarnya dan kematiannya diketahui dari konfirmasi pihak rumah sakit yang menelepon ke kantor.
Kisahnya seperti sebuah kebetulan karena pada saat ke rumah sakit, dia memakai ID Card yang jarang digunakannya. Dari situ diketahui alamat dan nomor kantor kemudian pihak rumah sakit bisa menghubungi orang kantor. Mobilnya pun terparkir dengan rapi di pinggir jalan Antasari dengan aman.
ADVERTISEMENT
Proses kematian dari keluarga saya di kampung dan beberapa kisah tentang momen menjelang kematian menyisakan pertanyaan di kepala saya, apakah orang yang akan meninggal sudah diberi tahu oleh semesta bahwa waktunya sudah berakhir dan dipersilakan untuk mempersiapkan segalanya.
Momen yang sama juga pernah saya saksikan sendiri beberapa tahun yang lalu ketika salah seorang nenek di kampung akan meninggal. Semua anaknya disuruh pulang untuk menjenguknya dan setelah semua anak-anaknya berkumpul, dia berangkat dengan tenang.

Problematika Merantau

com-Ilustrasi anak rantau Foto: Shutterstock
Saya pernah menulis artikel tentang “Merantau, Menemukan Diri.” Tulisan yang mencoba menemukan hikmah di tanah rantau dengan merefleksikan setiap fase perjalanan yang sudah dilewati. Namun pada dasarnya, pencarian hikmah merupakan salah satu cara lari dari perasaan sentimentil ketika mengingat fragmen masa lalu, ibu yang sedang memasak opor ayam, bapak yang baru pulang dari sawah, teman-teman kampung yang merayakan hidup dengan bermain bola di lapangan dan selaksa kenangan yang tidak mau minggat dari memori.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang langsung terlintas di kepala ketika melangkah untuk pertama kalinya merantau adalah kekhawatiran keluarga yang ditinggalkan. Selalu muncul bayang-bayang ketakutan hal-hal yang tidak diinginkan. Tentang suara ibu yang semakin parau dan bahu bapak yang semakin bungkuk.
Saya memang sangat lemah kalau persoalan ibu. Entahlah, ibu selalu meruntuhkan pertahanan untuk berlagak seperti lelaki kuat yang tak jua menghapus air mata. Doa yang selalu dirapalkan ketika akan kembali ke tanah rantau adalah semoga masih diberi kesempatan untuk menengok masa lalu yang ibu masih di tempatnya yang sama.
Momen yang paling dibenci di perantauan ketika ada telepon dari kampung di tengah malam. Telepon yang tidak diangkat namun tidak berhenti berdering. Pada momen itu, pikiran pertama yang muncul tentang wajah ibu.
ADVERTISEMENT
Serpihan kenangan masa lalu sama sekali tidak bisa digantikan dengan apa pun yang sudah dimiliki saat ini. Kenangan adalah harta yang sewaktu-waktu harus dijenguk. Dalam konteks ini, kita bisa memaklumi bagaimana perjuangan para perantau untuk mudik ketika lebaran bahkan dengan perjuangan yang tidak masuk akal sekalipun. Merantau hanya mengeja bulan demi bulan untuk bertemu kembali dengan momen mudik.
Hidup ini absurd bukan? Karena ketika selalu rindu kampung halaman, kenapa harus bersusah payah merantau. Apakah dengan alasan itu, orang-orang akan berhenti merantau dan memiliki untuk menikmati hidup di kampung halaman.
Tidak, sama sekali tidak.
Orang-orang akan tetap memilih untuk merantau bahkan ketika mereka tidak bisa mengartikulasikan apa tujuan mereka merantau. Hidup yang absurd itulah adalah hidup yang menyenangkan. Nikmati saja ketidakbermaknaan hidup ini. Toh kata Albert Camus, dari pada bunuh diri dengan hidup yang absurd ini, mending rayakan dengan minum kopi.
ADVERTISEMENT
Mungkin alasan menjamurnya kafe di kota-kota besar dengan menawarkan berbagai jenis kopi karena mereka terinspirasi dari saran Camus bahwa orang lebih baik minum kopi daripada bunuh diri.
"Percayalah, merantau lebih sering memaksa anak laki-laki menangis daripada membuatnya bijaksana memahami hidup."