Memahami Herd Immunity Dalam Lima Babak

Mely Santoso
Savvy science reader.
Konten dari Pengguna
10 Oktober 2020 5:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by Gerd Altmann from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image by Gerd Altmann from Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kita semua dihadapkan pada pertanyaan yang sama dan mungkin sangat sulit untuk dijawab: kapan pandemi ini akan berakhir?
ADVERTISEMENT
Salah satu yang menjadikan pertanyaan itu sulit dijawab adalah karena, selain kita tidak bisa melihat masa depan dan memastikan kapan semua ini berakhir, sebagian besar dari kita (atau negara dalam skala global) belum memiliki kekebalan alami maupun buatan untuk menghadapi SARS-CoV-2, virus penyebab pandemi yang telah menelan jutaan korban sejak pertama kali muncul Desember 2019 lalu.
Organisasi Kesehatan Dunia kemungkinan besar akan mengumumkan pandemi berakhir setelah sebagian besar infeksi dapat dikendalikan dan turunnya angka penularan secara signifikan di seluruh dunia. Dua indikator tersebut, walaupun enteng dituliskan, tetapi merupakan hal yang sangat tidak mudah untuk dicapai.
Saya pertama kali menuliskan tentang dua konsep tersebut sebagai salah satu “exit strategy” dari pandemi pada akhir bulan Juni lalu. Sederhananya, untuk mengakhiri pandemi, kendalikan saja penularan virusnya. (Mudah bukan untuk diucapkan? Tapi bahkan setelah 10 bulan, belum ada negara yang benar-benar telah mengendalikan virus).
ADVERTISEMENT
Jika dua hal itu (mengendalikan infeksi dan menurunkan angka penularan) dapat dicapai, kita masuk ke istilah lain dalam ranah kesehatan masyarakat yang sedang marak menjadi bahan diskusi: herd immunity.
Kita sudah hampir mendekati satu tahun menghadapi pandemi ini, dan konsep herd immunity masih sering dipertanyakan (bahkan disalahpahami secara luas). Bagaimana sebenarnya konsep herd immunity ini? Benarkah mencapai resistensi dari virus melalui infeksi alami adalah strategi respons terhadap pandemi yang masuk akal? Jawabannya, tentu bukan. Mari kita bahas.

Herd immunity babak I – the phrase

Ada banyak diskusi (perdebatan) mengenai istilah ini. Salah satu yang paling dasar adalah mengenai kelayakan frasa herd immunity digunakan kepada manusia.
Kata “herd” dalam bahasa Indonesia berarti “kawanan”. “Herd” biasanya merujuk pada istilah kawanan dari hewan peliharaan, terutama hewan ternak seperti sapi, kambing, atau domba yang dikorbankan untuk konsumsi manusia. Jarang manusia yang ingin disebut sebagai “kawanan/herd” dan disamakan sebagai hewan peliharaan. Beberapa ilmuwan lebih setuju menyebut konsep ini sebagai “population immunity”. (Kita akan menggunakan istilah yang sama baik itu kekebalan kawanan atau kekebalan populasi untuk merujuk ke herd immunity pada artikel ini. Jadi, tidak perlu bingung).
ADVERTISEMENT
Frasa herd immunity, mengutip The Lancet, pertama kali muncul dalam karya dokter hewan ternak di Amerika yang membahas tentang “aborsi yang menular” – epidemi keguguran spontan – pada sapi dan domba. Di tahun 1910, penyakit ini menjadi ancaman penularan utama bagi ternak di AS. Para peternak “menghancurkan” atau menjual sapi mereka yang terinfeksi (terkena dampak).
Frasa ini pertama kali diujikan secara ilmiah oleh W.W.C Topley. Ahli bakteriologi tersebut membuat sebuah epidemi eksperimental dengan kelompok tikus sebagai subjeknya. Ia dan Graham Wilson, kolega penelitiannya, menyadari bahwa kemampuan individu untuk bertahan hidup bergantung pada seberapa banyak dari kelompok tersebut yang diberi vaksin. Fenomena ini selanjutnya mereka sebut sebagai “herd immunity” dalam Journal of Hygiene di tahun 1923.
ADVERTISEMENT
Konsep herd immunity selanjutnya masuk pada ranah kedokteran. Pada tahun 1923 Sheldon Dudley, seorang profesor patologi di Royal Naval Medical School, menyadari tentang sebuah epidemi difteri di Royal Hospital School di Greenwich. Ia menerbitkan laporan untuk Medical Research Council tentang difteri dan demam berdarah, infeksi droplet, dan imunisasi difteri.
Dudley meyakini bahwa analisi Topley dari epidemi eksperimental antara komunitas tikus memberikan lebih dari satu titik kesamaan yang mencolok dengan fenomena yang diamati di antara anak laki-laki di Greenwich. Dalam sebuah artikel tahun 1924 di The Lancet, Dudley mengaplikasikan istilah herd immunity untuk “kawanan” manusia.
Para peneliti awal tidak pernah menetapkan definisi yang jelas terhadap konsep herd immunity ini. Dudley fokus pada bagian dari kawanan yang telah memperoleh resistansi dari paparan alami atau imunisasi. Topley, di lain sisi, mengembangkan konsep yang lebih luas. Dalam Journal of Royal Army Medical Corps pada 1935 ia menjelaskan bahwa herd immunity tidak hanya mencakup distribusi kekebalan, tetapi juga faktor sosial yang menentukan paparan kawanan. Ingat konsep Topley ini. Kita akan mendiskusikannya lebih lanjut.
Image by Free-Photos from Pixabay
Herd immunity menjadi sangat terkenal pada tahun 1950-an dan 1960-an ketika vaksinasi menimbulkan pertanyaan penting bagi kebijakan kesehatan masyarakat. Berapa proporsi dari populasi yang harus divaksinasi untuk mengendalikan atau memberantas sebuah patogen? Pertanyaan seperti ini muncul lagi di tahun 1990-an ketika para pejabat kesehatan masyarakat bekerja untuk mencapai tingkat cakupan vaksin yang memadai.
ADVERTISEMENT
Saat ini, seiring dengan banyaknya pemerintah yang ingin segera menemukan jalan keluar dari pandemi COVID-19 dengan aman dan nyaman, diskusi tentang herd immunity pun muncul lagi ke permukaan. Namun, sepertinya, kita sudah terlambat untuk bisa keluar dari pandemi ini dengan aman dan nyaman. Kebijakan yang mencla-mencle, data yang tidak akurat, pertambahan jumlah kasus, penuhnya rumah sakit, dan ribuan orang telah meninggal, tidak dapat lagi dapat diartikan sebagai “aman dan nyaman”.

Herd immunity babak II – the strategy

Hal lain yang menjadi diskusi panjang adalah tentang strategi yang digunakan agar herd immunity bisa tercapai. Ada setidaknya dua strategi, secara teoritis, untuk mencapai kekebalan populasi ini.
Pertama, mencapai kekebalan populasi melalui jalur vaksinasi untuk melawan infeksi virus. Jika cukup banyak orang dari sebuah populasi menerima vaksin, jalur transmisi orang ke orang akan berkurang karena banyak dari mereka telah kebal dari virus berkat imun artifisial ini.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut selanjutnya tentu akan berpengaruh kepada penurunan penanganan medis yang dibutuhkan di fasilitas kesehatan. Rumah sakit pun tidak kekurangan kapasitas dan fasilitas untuk menangani orang yang paling beresiko mengalami gejala serius akibat Covid-19. Orang yang paling beresiko bisa mendapatkan perawatan dan penanganan tanpa harus sikut-sikutan.
Vaksin secara artifisial dapat memicu perlindungan pada orang yang belum pernah terinfeksi dan memutus siklus penularan. Faktanya, vaksinasi rutin telah mengurangi tingkat infeksi dan telah memberantas banyak penyakit seperti cacar.
Masalahnya, Covid-19 adalah jenis penyakit baru yang disebabkan oleh virus yang sebagian komponennya juga baru. Umat manusia tentu saja belum mempunyai kekebalan buatan untuk menangani virus ini. Di lain sisi, seperti juga yang telah banyak kita ketahui, pengembangan vaksin bisa memakan waktu bertahun-tahun dengan biaya yang sangat mahal. Dengan absennya vaksin, diskusi tentang herd immunity biasanya mengarah pada strategi kedua, resistensi dari virus melalui infeksi alami.
Tanpa vaksin, satu-satunya rute untuk menjadi kebal adalah melewati infeksi. Namun, hal ini sangat beresiko karena terdapat kemungkinan untuk jatuh ke dalam jurang kematian. Sara Krehbiel, The Conversation.
Strategi kedua ini harganya mungkin akan sangat mahal dibandingkan pengembangan vaksin. Pasalnya, pada strategi ini, sebuah virus dibiarkan menginfeksi inangnya tanpa mitigasi. Dalam kasus COVID-19, para penyintas akan mengembangkan respon kekebalan dalam tubuh mereka secara alami terhadap virus. Jika sejumlah proporsi manusia selamat dari infeksi, kekebalan akan terbentuk pada populasi, sehingga akhirnya virus tidak mendapatkan inang untuk bereplikasi. Herd immunity pun tercapai. Semudah kelihatannya? Tentu tidak!
ADVERTISEMENT
Faktanya, beberapa orang yang terinfeksi memang sembuh dengan sendirinya dan mengembangkan antibodi terhadap SARS-CoV-2. Namun, yang masih menjadi pertanyaan adalah berapa lama antibodi ini dapat bertahan?
Jika antibodi ini hanya dapat bertahan beberapa bulan saja, apakah ini berarti orang-orang dapat kembali terinfeksi untuk yang kedua kalinya? Selain itu, jika strategi kedua yang diberlakukan, maka umat manusia harus siap menerima jumlah kematian yang sangat tidak terduga: jutaan manusia akan mati baik karena infeksi virus atau karena fasilitas kesehatan yang penuh dan tidak dapat menangani seluruh pasien terinfeksi.
Inilah yang menjadi sisi gelap dari strategi untuk mendapatkan resistensi atau kekebalan terhadap virus melalui infeksi alami. Jika semua orang berpeluang terdampak COVID-19, akan ada beberapa kelompok besar yang rentan terhadap virus (manula, laki-laki, dan orang yang memiliki komorbiditas) akan meninggal karena infeksi. Dengan penanganan saja masih terdapat korban meninggal, bayangkan jika tidak ada mitigasi untuk mencapai herd immunity? Jutaan orang akan meninggal sebagai “tumbal”.
ADVERTISEMENT
Secara hipotesis, memang terdapat situasi di mana herd immunity dapat dicapai melalui infeksi alami dengan harga yang sangat mahal tersebut. Sebuah studi di Manaus, Brazil, adalah salah satu kota yang paling terinfeksi virus corona baru dengan sekitar 44 persen hingga 66 persen dari populasinya telah terinfeksi. Imbasnya, Manaus menjadi pusat perdebatan tentang apakah ibukota Amazon ini telah berhasil mencapai herd immunity melalui infeksi alami.
Para peneliti menyebutkan bahwa penularan SARS-CoV-2 di Manaus, meningkat dengan cepat selama bulan Maret dan April dan mulai menurun dari Mei hingga September. (Penelitian ini belum peer-reviewed). Puncaknya, seperti dilaporkan dalam laman interaktif New York Times yang sangat bagus, rumah sakit di Manaus penuh oleh pasien Covid-19 pada musim semi dan awal musim panas. Selama periode ini, terdapat empat kali lebih banyak kematian dari biasanya pada saat itu dalam setahun. Para peneliti memperkirakan bahwa antara 1 dari 500 dan 1 dari 800 penduduk meninggal di Manaus.
ADVERTISEMENT
Namun kota Manaus belum sepenuhnya aman dari infeksi. Grafik infeksi menunjukkan bahwa terdapat penambahan kasus baru setiap harinya yang cukup fluktuatif. Hal ini masih akan memunculkan pertanyaan lain; apakah sebenarnya herd immunity melalui infeksi alamiah ini secara signifikan dapat menurunkan level pandemi? Hal ini masih menjadi pertanyaan besar untuk dijawab.

Herd immunity babak III – the concept

Jika Anda membaca sampai sini, saya ucapkan selamat dan terima kasih. Artikel ini cukup panjang memang, tapi semoga mencerahkan. Mari lanjutkan.
Sekali lagi, sederhananya, ketika sejumlah proporsi dari populasi telah kebal terhadap virus, sebuah wabah akan berhenti tumbuh secara eksponensial. Kasus baru kemungkinan masih akan muncul, tetapi masing-masing kasus baru cenderung tidak memicu penularan besar seperti ketika awal wabah muncul.
ADVERTISEMENT
Kekebalan kawanan atau herd immunity akan tercapai ketika satu orang yang terinfeksi dalam suatu populasi menghasilkan rata-rata kurang dari satu kasus sekunder. Apa maksudnya? Untuk memahaminya, kita harus kembali ke pembahasan dasar dari bagaimana akhirnya virus ini bisa menyebar secara eksponensial: angka reproduksi dasar yang dilambangkan menggunakan R dengan subskrip nol, atau yang biasanya dibaca sebagai R-Naught.
Ketika membicarakan herd immunity, orang-orang biasanya merujuk pada apa yang disebut sebagai “herd threshold theorem.” Ilmuwan biasanya merujuk pada istilah terakhir itu ketika mereka mengatakan bahwa 75 persen dari populasi harus kebal dari COVID-19 untuk menghentikan penularan, dan secara mengejutkan, angka ini mudah sekali untuk dihitung.
Mari masuk ke metafora. Perhatikan baik-baik. Anda mungkin membutuhkan kertas dan pulpen untuk mencoret-coret.
ADVERTISEMENT
Katakan sebuah patogen baru berupa virus muncul di antah berantah dengan asumsi bahwa semua orang rentan terinfeksi. Setelah virus baru ini menyerang beberapa populasi, didapatkan bahwa angka rata-rata satu orang yang terinfeksi dapat menularkan virus ke empat orang sehat lainnya. Nilai rata-rata dari kemampuan penularan inilah yang disebut sebagai R-Naught. Untuk melandaikan kurva epi (yang berarti menurunkan jumlah infeksi) kita harus mengubah angka rata-rata infeksi dari empat ke satu. (dalam bahasa yang sedikit lebih matematis dapat juga dituliskan sebagai R0 = 4 diubah menjadi R0 <= 1)
Masih memakai metafora di atas, jika penularan virus baru ini melalui droplets, ketika seseorang bersin ke wajah empat orang lainnya, kemungkinan semua orang akan tertular dan masing-masing akan menularkan ke empat orang lainnya dan seterusnya. Rantai penularan virus akan bersambung terus sehingga memunculkan kasus infeksi yang eksponensial.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, jika tiga dari empat orang ini telah imun, virus hanya akan menyebar ke satu orang. Dengan demikian, ambang batas imunitas kawanan yang harus dicapai adalah 75 persen. Artinya, tiga per empat atau 75 persen populasi harus kebal dari virus agar herd immunity ini tercapai.
Lain lubuk lain ikannya, lain virus lain juga R0-nya. Masing-masing virus yang menyebabkan wabah memiliki angka reproduksi berbeda tergantung seberapa cepat virus ini bertransmisi. Dengan demikian, lain juga ambang batas imunitas yang dibutuhkan untuk mencapai herd immunity pada sebuah populasi.
Mari kita coba hitung ambang batas untuk campak yang angka reproduksinya adalah 18. Ingat, untuk mengendalikan wabah, kita harus menurunkan angka R0=18 ini menjadi R0=1: yang berarti juga 17 dari 18 orang harus imun terhadap virus atau jika dipersentasekan, sebanyak 95 persen dari populasi harus imun.
ADVERTISEMENT
Kasus lain: Smallpox atau cacar memiliki angka reproduksi kasus 6, berapa ambang batas yang dibutuhkan untuk mencapai imunitas kawanan? Betul. Lima dari enam orang harus kebal atau jika dipersentasekan, 83 persen dari populasi harus imun untuk mencapai ambang batas kawanan. Terakhir, polio memiliki R-naught sama dengan tujuh, maka dari itu herd threshold yang dibutuhkan untuk mencapai herd immunity adalah 85 persen. Dan seterusnya.
Angka-angka ambang batas ini jugalah yang menjadi target untuk dilakukannya vaksinasi massal. kalau vaksinasi berhasil mencapai angka ambang batas, akan cukup banyak orang dalam sebuah populasi yang terlindungi dari infeksi sehingga orang luar yang membawa patogen kemungkinan besar tidak akan memicu wabah berkelanjutan.
Untuk COVID-19, para ahli memperkirakan angka reproduksi kasusnya berada di antara 2.5 – 4, dengan pola yang tidak sama di setiap negara atau daerah. Angka Ro milik negara Prancis, ilmuwan memperkirakan, adalah 3. Maka dari itu, untuk mencapai herd immunity terhadap SARS-CoV-2, setidaknya 67 persen dari populasi harus imun.
ADVERTISEMENT
Begitu sebuah populasi mencapai herd immunity, baik melalui vaksinasi atau berkat resistensi dari virus setelah tertular, rantai infeksi atau kasus baru akan segera surut dan kurva epi pun akan mulai mendatar. Easy, right?

Herd immunity babak IV – the problem

Sekarang, saya harap Anda sudah mengerti atau bahkan telah bisa menghitung sendiri “herd threshold theorem” untuk SARS-CoV-2 dan berbagai macam virus yang menyebabkan wabah lain. Mudah bukan? Sangat mudah untuk mendapatkan angka tersebut. Namun, hitung-hitungan itu sudah usang, atau old-fashioned. Pada kenyataannya, bagaimana pengaplikasian herd immunity melalui infeksi alami di dunia nyata jauh lebih rumit untuk diprediksi secara tepat.
Pertama, perhitungan menggunakan persamaan matematika di atas didasari dengan asumsi bahwa resiko tertular penyakit dalam sebuah populasi terdistribusi secara merata, yang berarti virus penyebab penyakit ini menular tanpa pandang tempat, siapa, dan kapan. Pada kenyataannya tidak demikian untuk COVID-19. Resiko transmisi dari penyakit ini sangatlah kompleks dan multidimensi. Muge Cevik, seorang dokter, virology, dan peneliti penyakit menular memberikan penjelasan yang cukup apik di Twitter:
ADVERTISEMENT
Sederhananya, alih-alih berasumsi bahwa virus penyebab pandemi ini bersifat homogen dalam penyebarannya, kita juga harus memperhatikan lebih dalam dan menyadari bahwa hal ini lebih bersifat heterogen.
Sebagaimana yang dapat kita lihat, beberapa orang lebih berisiko terhadap infeksi dan sakit lebih parah atau bahkan meninggal dikarenakan faktor lingkungan tempat bekerja dan tinggal, durasi waktu dan aktivitas yang sedang dilakukan, usia dan sistem kekebalan, dan faktor sosio-ekonomi seperti kemiskinan, atau bahkan perilaku mereka yang mengabaikan pemakaian masker, jaga jarak, dan mencuci tangan.
Apa artinya ini? Apabila populasi memiliki risiko yang tidak merata (atau heterogen), ambang batas herd immunity dapat berubah berdasarkan siapa yang terinfeksi. Misalnya, jika beberapa individu lebih mungkin terinfeksi dan menularkan virus karena berinteraksi dengan banyak kontak, kelompok ini kemungkinan besar akan terinfeksi lebih dulu. Akibatnya, populasi individu yang rentan akan habis (karena meninggal) dengan cepat akibat penularan ini sehingga, selanjutnya penularan akan melambat: karena menyisakan populasi yang kurang berisiko.
ADVERTISEMENT
Pada 14 Agustus lalu, sebuah model matematika yang dipublikasikan di Science mencoba melihat pengaruh heterogenitas populasi pada herd immunity ini lebih dalam. Para peneliti berasumsi bahwa generasi milenial dan Gen Z lebih banyak menjalin kontak atau berbaur dibanding orang yang lebih tua sehingga memiliki kemungkinan virus lebih mudah menyebar. Setelah memisahkan beberapa kelompok, model matematis ini menghasilkan angka prediksi ambang batas herd immunity sekitar 40 persen: jauh lebih rendah dibanding dengan hitungan persamaan klasik yang menghasilkan ambang batas 75 persen.
“Jika ada lebih banyak perbedaan antara orang-orang dipertimbangkan, titik (ambang batas) di mana herd immunity tercapai melalui infeksi alami akan semakin menurun,” tulis Trapman, salah satu penulis makalah tentang pemodelan tersebut dikutip dari The Conversation. Ia juga mengatakan bahwa orang-orang dalam satu kelompok usia tidak berbaur secara merata dengan orang dari kelompok usia lain dan, “di seluruh populasi, sosialisasi mengikuti tren tertentu”
ADVERTISEMENT
Namun, pemodelan tetaplah pemodelan. Tidak ada yang sempurna. Ini hanyalah estimasi.
Trapman sendiri dalam artikel yang sama di The Conversation mewanti-wanti bahwa hasil dari pemodelan yang ia lakukan bersama dua koleganya hanya bisa ditafsirkan sebagai demonstrasi tentang bagaimana perbedaan perilaku dapat mempengaruhi herd immunity. “Angka-angka ini bukanlah nilai pasti, juga bukan perkiraan terbaik. Tingkat aktivitas dan tingkat kontak antara kelompok usia yang kami gunakan dalam model hanyalah ilustrasi,” tulis Trapman.
Hal kedua yang menurut Trapman harus diperhatikan adalah bahwa ia bersama koleganya hanya memperhitungkan dua jenis variasi di seluruh populasi. “Model yang lebih realistis akan lebih kompleks, memasukkan banyak faktor lainnya,” tulisnya. Faktor-faktor yang dimaksud Trapman bisa jadi merujuk pada apa yang digambarkan oleh Muge Cevic di akun Twitternya yang meliputi lingkungan, pola kontak, faktor sosio-ekonomi, dan faktor inang yang dijangkiti virus.
ADVERTISEMENT
Terakhir yang perlu juga digarisbawahi di model miliki Trapman dan koleganya ini adalah bahwa mereka, dalam model tersebut, berasumsi bahwa imunitas atau kekebalan tidak menurun dari waktu ke waktu dan menjamin perlindungan yang paten. Seperti yang kita tahu, kita belum bisa memastikan apakah benar kekebalan akan SARS-CoV-2 tidak akan berkurang.
Para ilmuwan masih berusaha mencari tahu seberapa lama kekebalan hasil resistensi dari infeksi alami ini bertahan. Manaus dengan kasus barunya yang menimbulkan pertanyaan apakah benar mereka telah mencapai herd immunity atau kekebalan terhadap virus corona dapat berkurang? Jika yang terjadi adalah kekebalan terhadap COVID-19 dapat berkurang, virus bisa jadi akan bangkit kembali bahkan ketika banyak populasi telah mencapai ambang batas herd immunity melalui infeksi alami.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang telah kita tahu, ambang batas herd immunity bisa lebih rendah dari yang diperkirakan. Namun, secara teoritis, ambang batas ini juga bisa berarti lebih tinggi. Coba lihat lagi rumus matematika sederhana tentang bagaimana herd immunity dihitung, ambang batasnya bergantung pada R0 virus. Sedangkan, R0 virus ini bukanlah sebuah variabel biologis yang tetap. Angka ini merupakan hasil dari interaksi biologi virus dengan biologi manusia, dengan lingkungan dan masyarakatnya juga.

Herd immunity babak V – the truth

Masih membaca? Sepertinya, 80 persen pembaca tidak akan sampai titik ini. Untuk Anda yang telah sampai bagian ini, selamat dan terima kasih. Sekali lagi, semoga artikel ini mencerahkan. Mari kita simak satu lagu dulu sambil peregangan otot yang kaku selama membaca.
ADVERTISEMENT
Baik, mari dilanjutkan. Tinggal sedikit lagi.
Setelah mengetahui bagaimana apa itu “herd threshold theorem”, bagaimana menghitung angkanya, dan bagaimana angka-angka ini sebenarnya sangat dinamis, saya harus mengatakan, sayangnya pandemi yang sedang berlangsung tidak berhenti setelah ambang batas herd immunity tercapai.
Jika ambang bata tersebut tercapai, hal ini merepresentasikan bahwa secara rata-rata kasus hanya akan menyebabkan infeksi kurang atau sama dengan dari satu kasus. Dengan kata lain, “ketika ambang batas herd immunity tercapai selama pandemi, jumlah infeksi baru per hari akan menurun, tetapi populasi infeksius yang substansial pada saat itu akan terus menyebarkan virus,” tulis Joanna Wares dan Sara Krenhbiel di The Conversation.
Strategi mitigasi non-farmasi seperti pembatasan sosial dan penggunaan masker dapat melandaikan kurva epi dengan mengurangi laju infeksi aktif yang menghasilkan kasus baru. Selama vaksin belum sepenuhnya dapat diandalkan dan terbatasnya fasilitas kesehatan yang dapat menampung pasien, cara-cara ini masih sangat relevan untuk dilakukan. Hal ini lebih masuk akal dibanding mengejar herd immunity tercapai melalui infeksi alami yang kemungkinan dapat menelan jutaan korban jiwa.
ADVERTISEMENT
Bahkan, walau hanya menyisakan 1 dari 3 rata-rata kasus baru, yang satu ini pun sama berbahayanya. Isolasi yang sangat ketat sangat tidak mungkin terjadi di dalam masyarakat, dan jika yang satu ini berhasil menginfeksi orang yang rentan (Manula dan orang yang memiliki komorbiditas), tetap akan menyebabkan wabah. Satu orang terinfeksi dengan gejala ringan yang berhubungan dengan orang tua di panti jompo akan menyebabkan kekacauan di dalamnya.
Setelah hampir sepuluh bulan virus ini hadir di tengah-tengah umat manusia, dan masih banyak sekali misteri yang harus dijawab dan konsep herd immunity adalah salah satunya. Konsep ini tak selamanya berkonotasi negatif. Dengan vaksin efikasi tinggi yang mampu bertahan lama untuk menangkal infeksi, herd immunity mungkin bisa tercapai tanpa harus menjadikan orang yang paling beresiko sebagai “herd” untuk dikorbankan sebagai pendukung kehidupan orang lain.
ADVERTISEMENT