Memilih Menulis dan Andil Pelestarian Buku

Ahmad Mathori
Pemerhati Hak Kekayaan Intelektual
Konten dari Pengguna
23 April 2024 12:52 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Mathori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Nazi tercatat turut andil dalam penghancuran buku-buku. Sumber: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Nazi tercatat turut andil dalam penghancuran buku-buku. Sumber: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Dari segala aktivitas yang membentuk kebudayaan, menulis adalah salah satu yang terpenting karena ia merupakan perangkat yang tiada taranya bagi pengorganisasian sosial dan reafirmasi”, Fernando Baez dalam Penghancuran Buku dari Masa ke Masa.
ADVERTISEMENT
Barangkali Baez ada benarnya, karena dengan tulisan, kita dapat berkenalan dengan orang dan isi kepalanya dari ribuan tahun silam.
Atau barangkali –anggap saja- Baez keliru, sebab, berbicara latar waktu hari ini, membuat deskripsi singkat (caption) di media sosial (medsos) adalah –bisa dikatakan- kegiatan menulis juga. Sehingga hal tersebut pula akan otomatis membawa kita mundur ke belakang dengan sebuah pertanyaan; “menulis yang bagaimana?”
Apakah menulis itu harus tentang sebuah buku yang di bagian sampulnya terdapat nama kita tersemat? Atau apakah membuat caption di medsos juga sudah dikatakan sebagai aktivitas pengorganisasian sosial dan reafirmasi?
Tapi bagaimanapun posisinya, kalau disederhanakan bahwa menulis adalah mencatat sesuatu -apalagi yang bersumber dari sesuatu yang baik- merupakan hal yang dibutuhkan dewasa kini.
ADVERTISEMENT
Terlebih di era hari ini, yang oleh beberapa orang dikatakan sebagai era banjir informasi.
Maka segala apapun yang dibuat untuk tujuan menginformasikan sesuatu, itu juga dapat dinamakan sebagai catatan.
Pemaknaan banjir informasi hari ini kiranya berdiri di antara dua mata pisau. Saat kita dapat memanfaatkannya dengan baik, maka akan memberikan cukup bekal kepada isi kepala kita.
Namun sebaliknya, jika kita tidak cukup mampu mengarungi volume deras alirannya, maka informasi tak ayal hanya akan menghanyutkan kita.
Hanyat ke dalam arus informasi yang berlebihan kiranya hanya akan menyisakan bising di kepala.
Akan tetapi bagaimana jikalau informasi yang diproduksi hari ini semua bersumber dari isi sebuah buku? Selain arusnya yang (mungkin akan) lebih menangkan, hal tersebut pula, dalam hemat saya, akan membantu pelestarian buku-buku yang ada.
ADVERTISEMENT
Berbicara buku, nampaknya kita sudah sedikit lelah dengan hasil yang menunjukkan rendahnya angka literasi bangsa ini. Terlepas dari apa variabel yang dipakai oleh UNESCO dalam mengukur tingkat literasi beberapa negara, ataupun pemahaman tentang literasi yang tidak melulu soal baca buku, namun juga kemampuan menulis dan berpikir kritis. Akan tetap sama saja hasilnya, masyarakat kita tidak begitu ramah terhadap aktivitas membersamai buku.
Kemudian terang saja kita katakan, bahwa informasi tidak hanya bersumber dari buku. Melainkan surat kabar, majalah, dan lain-lain yang hari ini sudah dapat diakses dengan sebebas-bebasnya dalam jaringan (daring).
Walaupun demikian, sepertinya kita akan sepakat bahwa beberapa aktivitas yang terkait dengan buku, tetap menduduki singgasana nan luhur.
Izinkan saya memberi garis stabilo berwarna pada bagian tentang aktivitas membersamai buku atau dengan kata lain, pelestarian buku. Saya kira, pelestarian buku harus menempati posisi yang cukup penting dalam berjalannya peradaban hari ini.
ADVERTISEMENT
Meminjam penjelasannya Fernando Baez, jumlah buku yang ada sepanjang sejarah manusia adalah buku-buku yang berhasil selamat dari prosesi pemusnahannya yang sudah berlangsung sejak ribuan tahun silam.
Fernando Baez -dalam hemat saya- cukup ciamik menyajikan data tersebut dengan alur sejarah yang mudah dinikmati.
Poin utama yang saya catat setelah membaca buku tersebut, saya menemui sebuah gambaran bahwa dunia ini tidak ramah dengan buku, dan yang membuat apinya semakin besar untuk memusnahkan buku adalah ketidak-satu-pahaman satu sama lain.
Kemudian kerap kali, imbasnya adalah kepada manusia yang membuat –atau minimal dekat dengan- buku.
Kita temui contoh yang diperlihatkan oleh Sokrates ketika dipaksa minum racun cemara, Plato nyaris dibunuh, Aristoteles harus melarikan diri karena dituduh murtad, Hulagu Khan membuat warna sungai Tigris jadi berubah, perang salib tercatat hampir menghanguskan 120.000 koleksi buku, dan peristiwa lainnya yang tidak cukup saya bayangkan kengeriannya dalam giat penghancuran buku-buku.
ADVERTISEMENT
Padahal -barang tentu- kehidupan ini apalagi isinya kalau bukan perbedaan. Sehingga cara kita menerima perbedaan itulah yang terus menerus diajarkan hingga hari ini.
Walau kemudian saya coba mengubah sudut pandang saya sementara, ihwal pengancuran buku -yang saya juga turut menyayangkannya- adalah ekspresi dari mempekokoh suatu paham yang diimani oleh kelompok-kelompok tertentu.
Namun perkembangan mengabaikan buku menjadi lebih sporadis ketika internet memasuki gelanggang peradaban manusia. Kali ini, giat penghancuran buku-buku tidak lagi dengan membakarnya dalam makna harfiah menggunakan api.
Akan tetapi, dengan manusianya yang sudah tidak lagi ingin berdekatan dengan buku saja nampaknya sudah merupakan giat penghancuran buku itu sendiri.
Sebetulnya saya tidak ingin sekali berpihak pada pendapat tentang distraksi akbar yang salah satu pengaruhnya datang dari kemajuan teknologi sehingga membuat negara kita menempati peringkat 60 dari 61. Karena sebenarnya kemajuan teknologi adalah anugerah itu sendiri, tinggal bagaimana sikap manusianya saja.
ADVERTISEMENT
Atau sebenarnya saya juga tidak ingin berdiri sejajar dengan orang-orang yang terusik kenyamanannya kemudian melayangkan protes di medsos, karena memilih membaca buku di sela-sela waktu tunggu, ketimbang bermain gawai pintar di fasilitas publik. Walau belum lama saya melakukannya ketika menunggu antrian di salah satu rumah sakit.
Namun dari semuanya, arus yang kian semerawut ini membawa saya pada pertanyaan yang juga biasa kita temui di berbagai ruang, yakni; masih relevankah membaca buku?
Merelevankan Baca Buku
Untuk sebagian orang, membaca buku dapat diartikan sebagai upaya menyelami sebuah palung terdalam untuk menemukan apapun yang tenggelam bersamanya. Bagi sebagian yang lain, membaca buku adalah kebiasaan yang ditularkan dari orang tuanya sejak belia.
Lalu potongan manusia lainnya memiliki pandangan tentang membaca buku adalah mengunggah foto bagian halaman favorit di media sosial, atau sekedar menambah bahan untuk diceritakan kepada orang tersayang.
ADVERTISEMENT
Apapun motifnya, semuanya tetap baik selagi aktivitasnya dilakukan bersama buku. Maka sebenarnya, baca buku tetaplah relevan.
Namun bagaimana dengan sebagian orang yang tidak cukup waktu untuk meromantisasi waktu baca buku mereka? Kelompok orang yang berada di bawah garis kemiskinan, misalnya. Mereka, boro-boro terpikir untuk membaca buku, karena untuk makan saja mereka sangat payah mengusahakannya.
Maka mencatat isi buku dan meluaskannya barangkali adalah langkah konkret yang dapat ditempuh oleh banyak orang yang tidak berada di bawah garis kemiskinan.
Tapi situasi yang lebih meng-greget-kan adalah ketika sebagian orang yang tercukupi kebutuhan dasarnya, bahkan di level sekunder dan tersier, tetapi mereka juga jauh dari buku.
Saya tidak dalam kapasitas ingin menghakimi perilaku tersebut, karena bukan tugas saya untuk membuat orang lain turut serta merasakan nikmatnya membaca buku.
ADVERTISEMENT
Tapi jika harus berpendapat tentang sebagian orang yang gawai pintarnya terbaru namun tetap jauh dari buku, saya kira mereka adalah kelompok orang yang perlu diperbantukan.
Sebagai orang yang cetek ilmu, saya memilih (membantu mereka) dengan menulis catatancatatan yang saya dapatkan dari buku dengan elaborasi sumber-sumber lainnya untuk dipublikasikan ke hutan rimba bernama internet.
Barangkali pada posisi ini kita mendapati satu fakta tentang kemajuan teknologi yang bernilai positif, setidaknya bagi seseorang yang baru memulai kebiasaan menuliskan catatan singkat tentang apa yang dilihatnya, didengarnya, dibacanya, dan dipikirkannya.
Bahkan di posisi ini saya berani bilang tidak masalah jika pada akhirnya menulis itu dianggap sia-sia. Seperti yang dicatat George Orwell dalam esainya, “semua penulis itu sia-sia, egois, dan malas, dan di dasar motif mereka, terdapat sebuah misteri.”
ADVERTISEMENT
Kalau Menulis, Membaca Sudah Otomatis
Dalam hemat awam saya, memilih menulis merupakan jalan pintas untuk kita mendapatkan nikmat dari membaca buku. Terang saja kita akan sepakat bahwa, kalau Anda ingin menulis, ya, baca dulu, singkatnya begitu.
Pemaknaan menulis dan membaca yang merupakan satu kesatuan pun tersebar di manamana. Menulis untuk keabadian, misalnya, menulis untuk melawan, menulis untuk mendapatkan uang, dan lain-lain.
Namun, dari semua perumpamaan tersebut, saya bertemu pada satu alasan yang menurut saya cukup menarik, yakni, menulis untuk melancarkan sistem pencernaan isi kepala. Begini kira-kira, layaknya buang air besar, kita butuh makan untuk dapat melakukannya. Maka, menulis adalah tentang membuang isi kepala dari hasil membaca.
Ingat, ya, “dari hasil membaca”.
ADVERTISEMENT
Untungnya, pada sekitar abad ke-17 telah dikembangkannya sebuah sistem hukum bernama hak atas kekayaan intelektual. Sehingga, aktivitas menulis menjadi semakin menyamankan karena diberinya rasa aman kepada seseorang yang menulis.
Siklus yang Didambakan
Aktivitas menulis -saya kira- adalah aktivitas yang sangat dekat dengan upaya melestarikan buku. Entah menulis dalam definisi seperti apa, tapi paling tidak, orang dapat menulis jika isi kepalanya tidak kosong.
Hingga hari ini, saya belum mendapatkan “sesuatu” yang melebihi dari membaca buku dan menuliskannya selain, berdiskusi. Maka keduanya bak siklus roda yang berputar lancar.
Saya membayangkan begini kira-kira, kita menulis sesuatu yang kita pahami, penyebab dari frasa bernama “paham” salah satunya adalah dengan membaca. Kemudian kita berdiskusi membahas apa yang kita pahami tersebut dengan orang yang juga “sudah membaca”, maka kekayaan informasi begitu terlihat jelas hanya melalui pemandangan dialog beberapa manusia.
ADVERTISEMENT
Lagi pula, sepertinya Sokrates akan lebih suka digunjingi dari pada harus terpaksa meminum racun yang kemudian merenggut nyawanya.
Oleh sebabnya, sebagai pengingat kepada diri sendiri, di Hari Buku Sedunia ini, mari terus sama-sama kembali meromantisasi momen bersama buku. Soal bagaimana caranya, saya kira masing-masing dari kita sudah punya.
Entah akan membantu mengecilkan angka 60 dari 61, atau tidak ada lagi pemandangan membaca buku di tempat umum yang terasa asing. Semuanya adalah soal kebaikan yang keoptimalannya disemogakan.
Seperti Sabrang Mowo Damar Panuluh katakan, kunci dari mancapai titik optimal adalah dengan mengenali dan merayakan pertumbuhan sekecil apapun.
Selamat Hari Buku Sedunia, 23 April 2024.