Paradoks Demokrasi dan HAM di Indonesia

Moh Rofiie
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Pancasila Universitas Muhammadiyah Jakarta (PSIP UMJ)
Konten dari Pengguna
25 April 2021 13:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Rofiie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi HAM. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi HAM. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tulisan ini mencoba menyoal perjalanan demokrasi di Indonesia yang seringkali gagal memperjuangkan nilai-nilai hak asasi manusia-yang seharusnya menjadi bagian penting dari nilai demokrasi, mengingat sudah lebih dari dua puluh tahun reformasi di Indonesia berlangsung.
ADVERTISEMENT
Namun, Indonesia masih belum mampu menekan banyaknya persoalan, utamanya persoalan demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM) yang selalu mengundang perhatian banyak pihak, bukan hanya di dalam negeri namun bahkan dunia internasional. Pasalnya demokrasi dan HAM di Indonesia belum berjalan secara seimbang. Banyak persoalan HAM di masa lalu hingga masa kini belum juga terselesaikan: Seperti indeks pembangunan manusia yang rendah–misalnya yang terjadi di Papua; hak sosial dan ekonomi–yang mencakup hak atas pekerjaan, pendidikan, kesehatan; hak partisipasi dalam kegiatan politik; hak atas lingkungan hidup; masalah kelompok minoritas dan kelompok rentan; masalah integritas personal dan kebebasan sipil, seperti pembatasan berkumpul, berekspresi, dan menyampaikan informasi yang seringkali berujung pemidanaan bahkan persekusi (Baca: 7 Masalah HAM untuk Komnas).
ADVERTISEMENT
Kasus pelanggaran HAM di Indonesia semakin mengkhawatirkan, karena seiring terjadinya bencana Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)–yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan (ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya)–kasus HAM semakin meningkat. Bahkan, berdasarkan pantauan Amnesty International Indonesia mengidentifikasi bahwa respons pemerintah terhadap pandemi COVID-19 sering kali berlebihan karena pendekatan kebijakan pemerintah hanya mementingkan stabilitas keamanan dan ekonomi serta mengabaikan kewajiban konstitusional untuk melindungi hak asasi manusia. Hal itu berakibat negatif pada hak-hak asasi warga negara Indonesia (www.amnesty.id/).
Persoalan HAM di Indonesia, kasusnya bukan hanya mengalami peningkatan, tapi juga begitu beragam. Mulai dari anggapan pencemaran nama baik terhadap pemerintah, penyebaran hoaks, banyaknya intimidasi kepada – mahasiswa, akademisi, jurnalis, dan aktivis – yang mengkritik pemerintah atau mengangkat isu-isu sensitif seperti pelanggaran HAM di Papua. Tidak hanya itu, intimidasi juga berupa peretasan akun media sosial, intimidasi digital, kriminalisasi, dan ancaman kekerasan fisik. Kebebasan ekspresi masyarakat juga dikekang, mengingat terjadinya kesewenangan pemerintah atas penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sama sekali belum terselesaikan, misalnya kasus hilangnya Munir yang diabaikan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran HAM yang gagal diselesaikan pemerintah merupakan beban dan sebagai bentuk pelanggaran atas konstitusi negara. Dari sekian banyak pelanggaran HAM masa lalu, pemerintah bukannya fokus mencari penyelesaian, justru pelanggaran HAM itu semakin bertambah, terlebih kejadiannya di masa pandemi COVID-19 seperti terjadinya penembakan yang berujung kematian terhadap laskar Ormas Front Pembela Islam (FPI) oleh pihak kepolisian, dengan alasan bahwa laskar FPI telah melakukan penyerangan kepada anggota polisi pada saat melakukan pemantauan terhadap anggota-anggota FPI yang dikhawatirkan akan melakukan mobilisasi massa pada saat pemeriksaan Habib Rizieq Syihab atas kasus kerumunan yang telah ditimbulkannya pada masa pandemi COVID-19. Namun apa pun alasannya, perlu menjadi perhatian bahwa nyawa adalah hak asasi yang dilindungi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebab itu, maka setiap upaya pencegahan, penanggulangan, dan langkah-langkah penanganan COVID-19 harus tetap memperhatikan dan mengutamakan hak asasi warga negara.
ADVERTISEMENT

Rezim Gamang Versus Ormas Garang

Pada masa awal reformasi, negara terlihat tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, bahkan aparat juga tidak mampu berperan secara efektif dalam menjaga ketertiban sosial masyarakat, sehingga konflik seringkali terjadi dan berujung kekerasan. Misalnya, konflik yang bernuansa SARA di Sanggau Ledo, Sambas, Sampit, Ambon, Poso, Kupang, Tasik Malaya, hingga konflik yang bernuansa separatisme seperti di Aceh, Papua, dan Maluku Selatan. Kondisi demikian merupakan akibat dari dikekang dan dirampasnya hak-hak serta perlakuan tidak adil oleh pemerintah Orde Baru, sehingga menjadikan reformasi sebagai momentum bagi kelompok masyarakat untuk berebut kepentingan masing-masing.
Pada momentum reformasi, umat Islam menganggapnya sebagai peluang untuk berperan penting dalam negara, mengingat pada masa Orde Baru, umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia hanya menjadi penonton dalam proses politik, bahkan menjadi korban pembangunan. Hak atas tanah diambil alih oleh negara demi pembangunan, hak-hak politiknya dibatasi karena dianggap mengganggu stabilitas negara, serta setiap geraknya selalu dipantau pemerintah.
ADVERTISEMENT
Setelah reformasi bergulir, negara dan aparat pemerintahan rupanya masih belum mampu mengendalikan keadaan, yang berakibat munculnya berbagai konflik sosial, sehingga masyarakat menjadi korban, termasuk umat Islam. Tindakan maksiat yang terjadi di mana-mana juga tidak bisa dikontrol oleh pemerintah, seperti praktik perjudian, narkoba, minuman keras, dan beroperasinya tempat-tempat maksiat secara terbuka. Sikap tidak tegas pemerintah dalam pemberantasan kemaksiatan itu kemudian membuat kelompok Islam merasa perlu melakukan inisiatif membantu pemerintah memerangi kemaksiatan tersebut. Atas latar belakang itu kemudian dibentuklah Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Front Pembela Islam (FPI) pada 17 Agustus 1998, sebagai wadah kerja sama ulama dan umat dalam menegakkan amar ma’ruf-nahi munkar.
Sejak berdirinya, FPI dikenal tegas dan keras dalam melawan berbagai kezaliman dan kemaksiatan, serta berada di garda terdepan dalam membela agama Islam dan bangsa Indonesia. FPI juga menyerukan pentingnya reformasi politik, ekonomi, hukum, dan moral. Peran dan langkah yang diambil FPI itu sebagai bentuk tanggung jawab untuk ikut serta memberi kontribusi positif bagi kemajuan bangsa. Berbagai langkah konkret dalam gerakan amar ma’ruf-nahi munkar yang dilakukan FPI di antaranya: Melakukan sweeping ke sejumlah tempat hiburan malam di Jakarta pada Maret-Juni 2002; membubarkan kontes Miss Waria di Sarinah, Jakarta pada Juni-Oktober 2005; meminta penghentian pemutaran film gay di Erasmus Huis, Jakarta pada April-September 2010; membubarkan diskusi terbatas forum lintas agama yang teridentifikasi ditunggangi Ahmadiyah di Surabaya pada Januari 2011; melakukan aksi massa, yang berhasil memobilisasi jutaan umat Islam, untuk menuntut Basuki Tjahaya Purnama yang telah menista agama Islam hingga pelaku berhasil di penjara; melakukan demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Juni-Juli 2020.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan FPI dalam mengawal setiap kebijakan pemerintah merupakan keniscayaan, karena itu adalah bentuk partisipasi komponen civil society, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari negara demokrasi. Hal itu dijamin secara konstitusional dalam UUD 1945. Keberanian dalam upaya membela rakyat dan tindakan “garang” FPI dalam melawan berbagai kemaksiatan dan kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat mendapat respons serius dari rezim pemerintahan, bahkan responsnya berlebihan.
Banyak kasus yang dituduhkan, utamanya kepada Imam Besar FPI, Habib Rizieq Syihab (HRS) yang bertujuan mendegradasi FPI. Mulai dari dugaan pelanggaran UU ITE, penistaan Pancasila, hingga dugaan pencemaran nama baik Presiden Pertama Indonesia. HRS sempat berada di Arab Saudi sejak April 2017. Setelah kembali ke Indonesia pada November 2020, HRS ditersangkakan kasus pelanggaran kekarantinaan kesehatan atas kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Atas kasus tersebut HRS akan diperiksa di Polda Metro Jaya pada 7 Desember 2020 pukul 10.00 WIB. Namun pada dini hari tanggal tersebut, sekitar pukul 00.30 WIB, terjadi penembakan terhadap 6 laskar FPI pengawal HRS di jalan tol Jakarta-Cikampek KM 50. Tragedi tersebut terjadi saat pihak kepolisian melakukan penyelidikan atas adanya informasi pengerahan massa simpatisan HRS untuk melakukan demonstrasi ke Polda Metro Jaya saat pemeriksaan HRS. Nyatanya, rombongan FPI tersebut sedang mengawal HRS yang akan menghadiri pengajian subuh keluarga di daerah Karawang, Jawa Barat. Pada kasus tersebut terjadi silang pendapat antara FPI dan kepolisian. FPI mengeklaim bahwa rombongan HRS dihadang kelompok orang tidak dikenal yang berusaha mencelakakan HRS dan rombongan.
ADVERTISEMENT
Sehingga para laskar FPI berusaha mengadang kelompok penghadang tersebut agar tidak menjangkau mobil yang ditumpangi HRS. Namun, kelompok pengadang melakukan penembakan sehingga menewaskan 6 orang laskar FPI. Sementara pihak kepolisian mengeklaim bahwa telah terjadi penyerangan terhadap petugas kepolisian oleh 10 orang laskar FPI, sehingga dilakukan tindakan tegas dan terukur terhadap 6 orang laskar, sedangkan 4 lainnya disebut melarikan diri.
Tragedi tersebut menimbulkan beragam respons elemen masyarakat, misalnya Muhammadiyah dan Koalisi Masyarakat Sipil. Muhammadiyah menyatakan mengutuk atas terjadinya insiden kekerasan tersebut, karena hal itu menunjukkan negeri sedang berpotensi mengalami keretakan dan merugikan banyak pihak. Muhammadiyah juga mengimbau agar insiden tersebut menjadi koreksi total bagi negara, mengingat rakyat seharusnya mendapat hak jaminan keselamatan jiwa dan keamanan sebagai bentuk kedaulatan rakyat. Bahkan Muhammadiyah mendesak agar Presiden dan petinggi Polri segera membentuk tim independen yang memiliki kompetensi dan rekam jejak dalam mengkaji kasus tersebut secara objektif.
ADVERTISEMENT
Sementara Koalisi Masyarakat Sipil–yang terdiri dari LBH Jakarta, YLBHI, ICJR, IJRS, HRWG, Institut Perempuan, LBH Masyarakat, LeIP, KontraS, SETARA Institute, PSHK, ELSAM, Amnesty Internasional Indonesia, Public Virtue Institute, PBHI, PIL-Net, ICEL, Asosiasi LBH APIK Indonesia, Imparsial, dan LBH Pers – menyatakan terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam tragedi penembakan laskar FPI: Mengapa dilakukan pembuntutan terhadap HRS dan rombongan hanya dengan alasan informasi pengerahan massa untuk unjuk rasa, dan mengapa sampai dilakukan penembakan sekalipun terjadi penyerangan oleh laskar FPI, bukannya cukup dengan dilumpuhkan saja?
Terkait klaim serangan oleh laskar FPI terhadap petugas polisi tentu perlu dicermati, mengingat sebelumnya pada 2011 juga pernah terjadi kasus pembunuhan terhadap YBD dengan alasan melawan petugas polisi, sehingga YBD harus ditembak mati. Padahal setelah dilakukan otopsi menunjukkan bahwa tubuh YBD penuh luka penyiksaan karena diseret dan dipukuli oleh petugas polisi. Insiden tersebut merupakan pelanggaran HAM dan telah mencederai nilai-nilai demokrasi dan Indonesia sebagai negara hukum . Sebagai negara demokrasi, seyogyanya pemerintah Indonesia dan aparat menjunjung tinggi penegakan hukum dan HAM. Bukan bertindak sewenang-wenang layaknya negara otoriter.
ADVERTISEMENT
Pemerintahan Indonesia saat ini berada dalam situasi “gamang” dan tidak mampu mengendalikan konstelasi politik negeri dengan baik, sehingga banyak elemen masyarakat menyebut demokrasi Indonesia mengalami degradasi dan mengarah kepada otoritarianisme, karena langkah-langkah dan kebijakan yang dilakukan mencirikan negara otoriter. Hal itu dapat diidentifikasi dengan: Banyaknya instansi-instansi pemerintahan yang dipimpin oleh anggota kepolisian, baik yang berstatus anggota aktif atau pensiun dini. Misalnya, pada posisi pimpinan KPK, Kementerian Dalam Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Urusan Logistik, Badan Narkotika Nasional, hingga Badan Intelijen Negara; komitmen yang lemah terhadap prosedur-prosedur yang demokratis, seperti adanya ketidaknetralan ASN dalam Pemilu 2019 dan upaya mobilisasi kepala daerah bahkan Polri untuk mendukung calon petahana; terjadinya pemberangusan terhadap oposisi, seperti adanya intervensi pemerintah dalam konflik partai politik (misalnya dalam konflik Golkar pasca Pilpres 2014), dan memberikan posisi strategis di pemerintahan kepada oposisi (misalnya Gerindra sebagai partai oposisi utama PDIP, sehingga koalisi partai Gerindra–Demokrat, PKS, dan PAN–berada pada posisi yang lemah); permisif terhadap kekerasan yang dilakukan aparat kepada masyarakat sipil, seperti terjadinya penembakan terhadap mahasiswa dalam gerakan #ReformasiDikorupsi 2019 dan terjadinya aksi demonstrasi pada 21-23 Mei 2019 yang menewaskan 10 orang–yang delapan orang di antaranya tewas karena tembakan peluru tajam oleh aparat, serta adanya penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, termasuk juga tragedi penembakan terhadap 6 laskar FPI; pembatasan kebebasan masyarakat sipil, seperti pelarangan penerbitan dan peredaran buku, serta pelarangan diskusi-diskusi akademik yang kritis, pembubaran paksa terhadap aksi demonstrasi, hingga peretasan dan penyadapan para aktivis pro demokrasi.
ADVERTISEMENT
Berbagai peristiwa tersebut tidak mungkin dilakukan oleh rezim dan aparat pemerintah jika tidak dalam kondisi kegamangan dan kebingungan dalam menjalankan pemerintahan. Rezim yang “gamang” dalam menjalankan pemerintahan cenderung menggunakan berbagai cara, termasuk cara yang represif dalam menghadapi setiap kritik dan gerakan yang dianggap mengganggu pemerintahan, padahal setiap kritik merupakan kebebasan berpendapat dan aksi demonstrasi dilindungi oleh konstitusi. Sehingga hal itu seharusnya dijadikan sebagai evaluasi bagi pemerintah untuk memperhatikan kinerja dan kebijakan yang dijalankan, agar cita-cita berbangsa dan bernegara yang berlandaskan Pancasila dapat diwujudkan.

Analisis Penembakan Laskar FPI

Demokrasi sebagai sebuah sistem bernegara merupakan antitesis terhadap sistem otoriter yang membelenggu kebebasan serta merampas hak-hak warga negara. Jean Jacques Rousseau berpandangan bahwa demokrasi merupakan tahapan atau proses sebuah negara dalam upaya mewujudkan kesejahteraan. Pemikiran Rousseau kemudian mendasari pemikiran Hans Kelsen mengenai makna “kebebasan,” yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan sebuah proses yang berkelanjutan menuju kesempurnaan. Demokrasi mengandung inti kebebasan dalam menentukan kehendak sendiri, tidak ada eksploitasi dan kesewenang-wenangan terhadap hak-hak rakyat. Ide “kebebasan” Hans Kelsen sejalan dengan pemikiran Abu Nashr Ibn Muhammad Ibn Tharkam Ibn Unzalagh al-Farabi, atau lebih dikenal dengan Al-Farabi. Menurutnya, kehidupan manusia erat kaitannya dengan masyarakat (society) karena hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, yang merupakan kecenderungan alami. Bahwa “kebebasan” menurut Al-Farabi merupakan kecenderungan alami manusia dengan tujuan kebahagiaan hidup.
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat, terbentuk pemilihan ide atau kehendak, berbagai sudut pandang terhadap sebuah persoalan muncul beragam, sehingga hal itu memunculkan pola kepentingan antara mayoritas dan minoritas. Pandangan Hans Kelsen, bahwa sebagai esensi dalam negara demokratis perlu adanya sinergitas antara suara mayoritas dan minoritas, sehingga menghasilkan kompromi. Yakni tidak terjadi dominasi absolut, atau dalam bahasa Hans Kelsen kediktatoran mayoritas terhadap minoritas. Dalam negara demokratis, prinsip mayoritas didasarkan pada keikutsertaan segenap warga masyarakat dalam pengaturan hukum atau kebijakan. Dan, prinsip kompromi adalah penyelesaian suatu masalah melalui suatu norma yang tidak sepenuhnya hanya menyesuaikan kepentingan salah satu pihak.
Pada kasus penembakan di KM 50 jalan tol Jakarta-Cikampek menunjukkan bahwa aparat telah melanggar esensi negara demokrasi. Dugaan spekulatif petugas kepolisian atas rencana adanya aksi massa selama pemeriksaan Habib Rizieq sehingga dilakukan penguntitan dan berujung terjadinya penembakan terhadap 6 laskar FPI merupakan tindakan semena-mena dan mencoreng nama Indonesia sebagai negara hukum, yang seharusnya dalam mengatasi berbagai persoalan melalui mekanisme hukum dan mempertimbangkan nilai-nilai HAM.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari sudut pandang HAM bahwa tindakan aparat kepolisian terhadap 6 laskar FPI tentu melanggar hak asasi warga negara yang dilindungi oleh konstitusi UUD 1945, bahkan dilindungi hukum internasional mengenai HAM, yang menjamin hak semua orang di seluruh negara. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya, serta berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, dan sejahtera lahir dan batin.
Terkait kronologi terjadinya bentrok antara petugas kepolisian dan laskar FPI masih terjadi silang versi pendapat kepolisian dan FPI. Namun, apa pun alasannya bahwa tragedi tersebut dikategorikan sebagai extra judicial killing, yakni pembunuhan di luar proses hukum. Tindakan aparat jelas merupakan pelanggaran HAM paling utama dan pelanggaran hukum acara pidana yang serius, sebab telah memutus hak seseorang untuk mendapat proses hukum secara adil. Jika sekalipun yang benar adalah pernyataan versi kepolisian, seharusnya pelaku penyerangan tidak langsung ditembak mati, tetapi cukup dilumpuhkan, ditangkap, dan diadili melalui proses persidangan. Dengan demikian, petugas kepolisian tetap dinyatakan bersalah karena telah menghilangkan nyawa yang dianggap tersangka sebelum proses peradilan.
ADVERTISEMENT
Membandingkan tragedi pelanggaran HAM di Indonesia dengan pelanggaran HAM yang terjadi di Amerika Serikat, yaitu kekerasan yang berujung pembunuhan terhadap George Floyd oleh petugas kepolisian di wilayah Minneapolis , bahwa negara dengan sistem demokrasi rupanya tidak menjamin penegakan HAM dapat berlangsung dengan baik. Tragedi itu mendapat respons luas, tidak hanya oleh elemen masyarakat di Amerika, tapi juga oleh negara lain. Hal itu terlihat ketika terjadi demonstrasi solidaritas di Selandia Baru dan Australia yang menuntut keadilan terhadap kematian George Floyd. Seperti diketahui, bahwa Amerika merupakan negara yang mengawal pembentukan kebijakan mengenai HAM selama abad XX, namun ternyata Amerika belum menandatangani sebagian besar perjanjian HAM di negaranya, sehingga hal itu menjadi paradoks yang terus terjadi. Negara dengan sistem demokrasi, apalagi Amerika dikategorikan sebagai negara paling demokratis, seharusnya mampu menegakkan hukum dan HAM dengan baik di negaranya sehingga menjadi contoh bagi negara demokrasi lainnya.
ADVERTISEMENT
Penegakan HAM tidak bergantung pada sistem yang berlaku dalam sebuah negara. Apa pun sistemnya, penegakan HAM sangat bergantung pada rezim yang berkuasa. Jika rezim penguasa negara berada dalam kegamangan, kebingungan dan cenderung mengutamakan kepentingan kelompok tertentu, bukan kepentingan umum, maka dipastikan HAM gagal untuk ditegakkan. Amerika saja yang disebut negara paling baik dalam menerapkan sistem demokrasi masih sering terjadi tindakan diskriminatif dan berbagai pelanggaran HAM di negaranya, apalagi Indonesia yang sistem demokrasinya selalu mengalami kemunduran, bahkan dalam posisi sekarat. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila – sebagai falsafah negara dan bangsa Indonesia yang sering digembar-gemborkan pemerintah – sering bertentangan dengan kebijakan dan perlakuan pemerintah terhadap masyarakat.
Banyak pejabat pemerintahan di Indonesia yang tanpa ragu-ragu di depan publik mendapuk dirinya sebagai seorang berjiwa nasionalis dan pancasilais, dan memang seharusnya hal itu harus ada dalam jiwa seorang pejabat, namun nyatanya pemerintah tidak terlihat memiliki integritas. Ucapan dan tindakannya bertentangan. Hal itu dapat dilihat dalam kebijakan yang diskriminatif. Pemerintah dan aparat tampaknya hanya tegas dan keras terhadap FPI, namun tidak terhadap kelompok lainnya. Kasus kerumunan tidak hanya dilakukan oleh FPI, namun kelompok lain yang melakukan pelanggaran kerumunan tidak mendapatkan perlakuan atau hukuman seperti yang dijatuhkan kepada FPI, misalnya kasus kerumunan yang terjadi pada saat Haul Syekh Abdul Qodir Jaelani di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah, di Kabupaten Tangerang, yang dihadiri ribuan warga tanpa protokol kesehatan yang memadai dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Selain itu, pada saat proses pencalonan dan saat kampanye Pilkada serentak 2020 juga terjadi banyak kerumunan. Namun, pemerintah mengabaikan kasus tersebut.
ADVERTISEMENT

Konklusi

Pelanggaran HAM sering terjadi di berbagai negara demokrasi, yang seharusnya mampu menjunjung tinggi nilai-nilai dan ketentuan HAM. Pada dasarnya, bukan sistemnya yang salah, melainkan rezim yang menjalankan pemerintahan merupakan faktor determinan dalam mengatasi berbagai jenis pelanggaran HAM. Hal itu dapat dilihat pada kasus HAM di Indonesia terkait pembunuhan terhadap 6 laskar FPI. Kasus tersebut berlarut-larut dan semakin sulit diselesaikan. Selain adanya ketidaktegasan dan sikap responsif Presiden dalam upaya mengungkap fakta kejadian, kasus tersebut juga dibentrokkan dengan berbagai kasus lainnya, seperti penangkapan terhadap HRS selaku Imam Besar FPI serta penegasan pembubaran serta larangan keras penggunaan simbol FPI. Hal ini seharusnya tidak dilakukan, mengingat kasus HAM dan kasus yang ditersangkakan kepada HRS merupakan kasus berbeda. Dengan pembentrokan kasus tersebut terlihat jelas bahwa rezim telah berupaya melemahkan dan akhirnya menghabisi FPI.
ADVERTISEMENT
Demokrasi Pancasila selalu digaungkan di Indonesia, bahkan hingga dunia internasional. Namun, berbagai persoalan, utamanya HAM gagal dikendalikan dan diselesaikan oleh rezim pemerintahan. Hal itu menjadi paradoks terhadap nilai-nilai demokrasi dan Pancasila – yang gagal diimplementasikan dalam penegakan HAM. Pemerintah hanya mampu memperkenalkan sekadar nama demokrasi dan Pancasila, namun gagal menginterpretasikan nilai-nilainya.
Perlu menjadi perhatian pula, bahwa setiap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim akan berakibat buruk dan hilangnya kepercayaan rakyat kepada rezim tersebut. Rezim Orba terbukti berhasil ditumbangkan karena telah melakukan berbagai pelanggaran HAM. Donald Trump kalah dalam Pemilu Amerika Serikat, lantaran tidak berhasil menyelesaikan persoalan HAM di negaranya. Rezim Jokowi perlu hati-hati dan berpikir jauh ke depan. Sekalipun telah menjabat presiden selama dua periode, jika hingga akhir jabatannya tidak mampu mengatasi berbagai persoalan HAM dan persoalan lainnya, maka dampaknya akan dirasakan oleh penerus dinasti politiknya. Mengingat Jokowi terbukti membangun dinasti politik, dengan mencalonkan putra dan menantunya sebagai kepala daerah. Setelah anaknya, Gibran Rakabuming dan menantunya, Bobby Nasution menang dalam Pilkada, tentu karirnya dipastikan berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Bukan hanya itu, dampaknya bukan tidak mungkin akan dirasakan juga oleh PDIP sebagai pengusung Jokowi dalam Pemilu.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan, bahwa dalam pengungkapan kasus penembakan terhadap 6 laskar FPI perlu keterbukaan dari pihak-pihak yang bertugas, seperti Komnas HAM dan aparat pemerintahan, serta objektif dalam mengungkap fakta-fakta dalam kasus tersebut. Presiden juga seharusnya membentuk tim independen yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat yang dianggap mampu dan memiliki track record yang baik dalam mengungkap kasus pelanggaran HAM.

*) Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia; peneliti pada Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP UMJ

Sumber foto: @psipfisipumj