Screen Shot 2019-07-18 at 14.17.38.png

Alasan Garuda Indonesia 'Terjepit' Akibat Menu Tulis-Tangan

Marsha Imaniara
Manager - Maverick Indonesia | Storyteller | Crisis Management Enthusiast
18 Juli 2019 14:25 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Larangan mengambil foto dan video yang dikeluarkan Garuda Indonesia menyusul unggahan video travel blogger Rius Vernandes
zoom-in-whitePerbesar
Larangan mengambil foto dan video yang dikeluarkan Garuda Indonesia menyusul unggahan video travel blogger Rius Vernandes
ADVERTISEMENT
Ribuan orang bisa menghela napas lega setelah Garuda Indonesia membatalkan larangan mengambil video, foto, atau bahkan swafoto di atas pesawatnya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Garuda Indonesia seolah masuk ke jalan buntu, dihadang berbagai keluhan, gerutuan, dan bahkan cacian. Dalam situasi tersebut, salah satu tokoh kenamaan di bidang manajemen krisis, Ian Mitroff, mungkin akan memvonis Garuda Indonesia sebagai salah satu perusahaan rentan krisis.
Mitroff berargumen bahwa perusahaan dapat dibagi ke dalam dua kategori besar berdasarkan kesiapannya menghadapi krisis.
Kategori pertama ialah perusahaan sadar krisis, yang menyadari bagaimana krisis dapat berdampak buruk pada reputasi dan keuntungannya. Perusahaan yang masuk kategori ini memahami bahwa mereka dapat membuat kesalahan, dan ketika itu terjadi, mereka akan mengambil tanggung jawab atas tindakannya, memohon maaf jika diperlukan, dan memiliki rencana matang untuk segera mengatasi kejadian tersebut.
ADVERTISEMENT
Tidak demikian dengan perusahaan yang masuk kategori kedua, yakni Rentan-Krisis. Perusahaan ini biasanya tidak memiliki pemahaman yang mendalam, atau bahkan mungkin tidak menyadari bahwa kemungkinan berbuat kesalahan selalu ada dan apa risikonya jika hal tersebut tidak ditangani dengan baik. Akibatnya, ketika insiden negatif terjadi, perusahaan tersebut cenderung bereaksi dengan cara-cara yang dapat diinterpretasikan sebagai ‘defensif’.
Berkaca dari perselisihan Garuda Indonesia dengan travel blogger Rius Vernandes, serangkaian reaksi awal maskapai nasional ini --di mana setiap langkah seolah memperparah langkah yang sebelumnya diambil-- membuatnya terlihat seperti perusahaan yang masuk kategori Rentan-Krisis.
Perselisihan tersebut bermula ketika Rius mengunggah video penerbangannya bersama Garuda di kelas bisnis rute dari Sydney ke Bali. Video tersebut menunjukkan momen-momen Garuda Indonesia kehabisan wine, dan awak kapal harus membagikan menu yang ditulis tangan ketimbang menu tercetak seperti biasanya.
ADVERTISEMENT
Jika perusahaan anda berada dalam situasi ini, bagaimanakah seharusnya tanggapan anda? Perusahaan sadar krisis sewajarnya akan menyampaikan permohonan maaf dan menjadikan insiden tersebut pelajaran untuk memperbaiki layanannya. Jika senang bermain kreatif, perusahaan bisa pula “mencela” dirinya sendiri dengan menambahkan unsur humor untuk memenangkan kembali hati publik.
Inilah yang dilakukan KFC setelah harus menutup lebih dari 600 gerai di Inggris akibat kelangkaan ayam segar. Raksasa ayam goreng tersebut menaikkan sebuah iklan jenaka seukuran satu halaman koran yang menunjukkan bucket khasnya. Namun, alih-alih logo “KFC” yang tertera di bucket tersebut justru “FCK” -- pelesetan dari sebuah kata umpatan dalam bahasa Inggris. Kampanye ini dengan cepat memenangkan kembali hati para penggemar KFC yang kecewa. Terlepas dari sentuhan humor renyahnya, yang membuat iklan ini sukses adalah permintaan maaf yang keluar tulus dari perusahaan, serta upaya yang ditunjukkan untuk memperbaiki situasi.
Iklan permintaan maaf KFC di harian The Sun
Sayangnya, berbeda dari contoh tersebut, Garuda Indonesia justru merespons kritik dengan mengeluarkan larangan mengambil foto dan video di atas pesawatnya. Maskapai ini juga mencuit bahwa,“Ini bukan kartu menu untuk penumpang, melainkan catatan pribadi awak kabin yang tidak untuk disebarluaskan”, serta mengundang spekulasi dengan mempertanyakan dari mana Rius mendapatkan menu tulis-tangan tersebut dan mengapa ia menyebarluaskannya. Tak lama, Rius pun dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melanggar UU ITE yang selama ini dikenal sebagai undang-undang kontroversial.
ADVERTISEMENT
Netizen pun berbondong-bondong melayangkan kritik ke maskapai nasional tersebut. Beberapa di antaranya, termasuk putra Presiden Jokowi, bahkan menjadikan insiden ini bahan candaan mereka. Kaesang mencuit surat imbauan yang mengimitasi larangan yang dikeluarkan Garuda Indonesia, tapi dengan bumbu olok-olok di dalamnya.
Situasi terus bergulir. Salah satu perusahaan yang ikut menjadikan perselisihan Garuda Indonesia sebagai materi promosi mereka ialah Grab. Namun, Garuda Indonesia yang belum lama ini menandatangani kesepakatan bernilai cukup signifikan dengan Grab pun dikabarkan meminta Grab menurunkan ‘himbauan’ humoris tersebut dari akun Twitternya.
Hal ini tak luput dari perhatian warga Jakarta, yang ahli berselancar di derasnya arus pertukaran informasi di media sosial. Alhasil, langkah Garuda Indonesia tersebut kembali menuai kritik dari netizen.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, mengapa Garuda Indonesia terus mengambil langkah yang membuatnya semakin terjerumus di situasi ini? Garuda Indonesia tak sendirian dalam daftar perusahaan yang justru mengambil tindakan kurang produktif bagi reputasi perusahaan. Namun, mengapa?
Jawabannya, jika kita kembali pada teori Mitroff, terletak pada pola pikir perusahaan, yang kemudian mempengaruhi pula budaya korporatnya.
Ketika berada di situasi sulit, perusahaan cenderung ingin mengambil jalan keluar yang dianggapnya mudah dan aman. Tak jarang pula, perusahaan memandang umpan balik sebagai serangan. Itulah mengapa perusahaan kemudian bereaksi dengan defensif terhadap apapun yang bersifat negatif, ketimbang mengambil dan menunjukkan rasa tanggung jawabnya.
Pola pikir ini pada akhirnya akan bermuara pada kegagalan perusahaan untuk menangkap tanda-tanda awal (early warning signal) dari krisis yang mungkin terjadi, serta ketidakmampuan untuk menanggapinya dengan terbuka dan akuntabel.
ADVERTISEMENT
Jika pola pikir tersebut tidak segera diubah dan diatasi, respons keliru yang dikeluarkan terhadap hal “remeh” seperti video viral mungkin saja akan berevolusi menjadi serangkaian respons keliru terhadap isu-isu yang lebih fundamental. Misalnya, keselamatan penumpang.
Jika ada pelajaran yang dapat ditarik dari insiden ini, kita tentu berharap Garuda Indonesia menyadari pentingnya disiplin Manajemen Krisis, menunjuk champion yang dapat memimpin transformasi Manajemen Krisis dalam perusahaan, dan menjalankan edukasi serta pelatihan komprehensif agar seluruh komponen perusahaan dapat menangani krisis dengan baik di masa depan.
Garuda Indonesia telah mengambil langkah awal, yakni dengan tak hanya menarik larangan, tetapi juga mengeluarkan konfirmasi bahwa penumpang dapat kembali mengambil foto dan video di atas pesawatnya.
ADVERTISEMENT
Melalui langkah tersebut, Garuda Indonesia mensinyalir bahwa dirinya mulai menata ulang kendali. Kembali ke langit biru setelah 'turbulensi' yang baru saja ia hadapi. Mari berharap agar Garuda Indonesia dapat terus berada di jalur yang benar, dan kembali muncul sebagai maskapai nasional kebanggaan bangsa.  
Artikel ini ditulis bersama Partner Maverick Ong Hock Chuan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten