Cheetos, Lay’s, dan Doritos Berhenti Produksi di Indonesia, kok Bisa?

Kontrak Hukum
Layanan legal terpercaya, termudah, dan terjangkau untuk semua kebutuhan bisnis Anda
Konten dari Pengguna
5 Maret 2021 17:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kontrak Hukum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Produk yang berhenti produksi di Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Produk yang berhenti produksi di Indonesia
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penggemar Cheetos, Lay’s, dan Doritos di Indonesia harus siap-siap patah hati. Pasalnya, terhitung tanggal 18 Agustus tahun ini, ketiga makanan ringan tersebut akan berhenti diproduksi dan dijual. Selain itu, selama 3 tahun ke depan tidak boleh ada perusahaan yang memproduksi, mengemas, menjual, memasarkan, atau mendistribusikan produk makanan serupa di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kabar ini tentu langsung ramai diperbincangkan netizen di media sosial. Sebagian merasa kecewa dan mengaku akan merindukan ketiga makanan ringan tersebut dan sebagian juga bertanya-tanya mengapa Cheetos, Lay’s, dan Doritos harus berhenti berproduksi di Indonesia. Untuk mengetahui jawabannya, yuk simak penjelasan berikut.
Sebagai informasi, Cheetos, Lay’s, dan Doritos sebenarnya bukanlah produk dari Indonesia. Ketiga makanan ringan tersebut merupakan produk milik PepsiCo Inc. Perusahaan afiliasi PepsiCo yaitu Fritolay Netherlands Holding B.V. (Fritolay) kemudian membentuk perusahaan patungan (joint venture) dengan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang diberi nama PT Indofood Fritolay Makmur (IFL). Nah, PT IFL inilah yang memproduksi, mengemas, menjual, memasarkan, dan mendistribusikan ketiga produk PepsiCo tersebut di Indonesia. Dalam perusahaan IFL, 51% saham dimiliki oleh ICBP dan 49% sisa sahamnya adalah milik Fritolay. Namun sejak bulan lalu, ICBP resmi membeli seluruh saham milik Fritolay di IFL. Tindakan ICBP tersebut dikenal dengan nama akuisisi atau pengambilalihan.
ADVERTISEMENT
Menurut Pasal 109 angka 1 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, akuisisi atau pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut.
Pengambilalihan dilakukan dengan cara membeli sebagian atau seluruh saham milik PT. Dengan adanya akuisisi bukan berarti PT tersebut harus mengubah namanya atau berakhir dan dibubarkan. Hal ini karena dalam akuisisi hanya terjadi pengalihan pengendalian atas PT tersebut sehingga status badan hukum tetap melekat. Akuisisi juga harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor dan mitra usaha lainnya dari perseroan, serta masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
ADVERTISEMENT
Akuisisi dapat dilakukan oleh badan hukum lain berbentuk perseroan, melalui direksi, atau langsung dari pemegang saham. Dalam hal akuisisi yang dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan, maka direksi sebelum melakukan perbuatan hukum pengambilalihan harus berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang memenuhi kuorum kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS sebagaimana diatur dalam Pasal 89 UUPT.
Keputusan RUPS mengenai akuisisi sah apabila diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat serta memenuhi ketentuan dalam Pasal 89, yaitu:
ADVERTISEMENT
Apabila akuisisi dilakukan melalui direksi, pihak yang akan mengambil alih harus terlebih dahulu menyampaikan maksudnya untuk melakukan pengambilalihan kepada direksi dari perseroan yang akan diambil alih. Direksi perseroan akan melakukan akuisisi dengan persetujuan dari dewan komisaris masing-masing perseroan kemudian menyusun rancangan pengambilalihan. Rancangan tersebut harus memuat, di antaranya:
1. Nama dan tempat kedudukan dari perseroan yang akan mengambil alih dan perseroan yang akan diambil alih.
2. Alasan serta penjelasan direksi perseroan yang akan mengambil alih dan direksi perseroan yang akan diambil alih.
3. Laporan keuangan untuk tahun buku terakhir dari perseroan yang akan mengambil alih dan perseroan yang akan diambil alih.
ADVERTISEMENT
4. Tata cara penilaian dan konversi saham dari perseroan yang akan diambil alih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran pengambilalihan dilakukan dengan saham.
5. Jumlah saham yang akan diambil alih.
6. Kesiapan pendanaan.
7. Neraca konsolidasi proforma perseroan yang akan mengambil alih setelah pengambilalihan terjadi, neraca ini harus disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
8. Cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap pengambilalihan.
ADVERTISEMENT
9. Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota direksi, dewan komisaris, dan karyawan dari perseroan yang akan diambil alih.
10. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengambilalihan, termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan saham dari pemegang saham kepada direksi perseroan.
11. Rancangan perubahan anggaran dasar perseroan hasil pengambilalihan apabila ada.
Direksi perseroan yang akan melakukan pengambilalihan harus mengumumkan ringkasan rancangan di atas minimal dalam satu surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari perseroan yang akan melakukan akuisisi dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan RUPS. Apabila tidak ada keberatan, rancangan yang telah disetujui tersebut kemudian dituangkan ke dalam akta pengambilalihan yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Apabila pengambilalihan saham dilakukan langsung dari pemegang saham, maka ketentuan di atas tidak berlaku. Pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat rancangan pengambilalihan, tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih. Akta Meskipun tidak berlaku ketentuan di atas, pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang saham tetap wajib dinyatakan dalam akta notaris.
Meskipun terjadi akuisisi, status karyawan dari PT yang diambil alih tidak berubah. Selain itu, akuisisi juga tidak dapat dijadikan alasan terjadinya PHK terhadap karyawan karena dalam hal ini hanya terjadi perubahan pengendalian atas PT.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus akuisisi PT IFL, PT ICBP meminta PT IFL untuk tidak memperpanjang perjanjian lisensi dengan PepsiCo. Hal inilah yang membuat PT IFL harus menyelesaikan proses penghentian produksi dan penjualan produk dari PepsiCo selama 6 bulan sejak tanggal akuisisi dilakukan oleh PT ICBP. Dampaknya, Fritolay, PepsiCo, dan perusahaan afiliasi lainnya dilarang untuk memproduksi, mengemas, menjual, memasarkan, atau mendistribusikan produk makanan ringan di Indonesia yang bersaing dengan produk PT IFL selama 3 tahun sejak masa transisi akuisisi.
Nah Sobat KH, itulah alasan kenapa Cheetos, Lay’s, dan Doritos harus berhenti diproduksi dan dijual di Indonesia.
Apabila sobat KH memiliki pertanyaan mengenai legalitas PT di Indonesia atau masalah hukum lain, jangan ragu untuk hubungi Kontrak Hukum ya!
ADVERTISEMENT