Pers Survival di Era Digital

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
11 Februari 2022 10:12 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tatkala semuanya serba cepat, tuntutan data yang akurat dan sikap yang smart paling diburu Dengan digitalisasi semua informasi dan layanan harus bergerak cepat. Data harus akurat dan tentunya seluruh pihak harus smart menggunakan dan menyikapi gawai. Era digital memiliki arti positif jika berakhir pada outcome yang lebih baik, tetapi tidak meninggalkan norma dan nilai yang ada di masyarakat, bangsa dan negara.
ADVERTISEMENT
Itulah kemudian, semua pihak harus mengikis makna negatif era digital yang membawa munculnya sindrom bukan hanya gagap teknologi (gaptek) tetapi juga gegar teknologi. Dikatakan gegar teknologi karena digitalisasi adalah jaman kemajuan teknologi. Yang tertinggal, tidak dapat mengikuti, dan bahkan menggunakannya dengan salah maka dianggap sebuah kegagalan, bak gegar dalam sakit akut. Berawal dari gegar ini orang akan salah menangkap informasi dan menyebarkan informasi yang salah.
Problem menyusul lannya yang lebih mengkawatirkan adalah hoaks atau misleading informasi. Kesalahan memberikan dan menyebarluaskan informasi akan berakibat fatal, terlebih jika itu disengaja dan memiliki agenda udang dibalik bakwan, akan terasa lebih menyakitkan. Barangkali diri kita sendiri pernah merasakan sebagai sasaran hoaks. Jadi tantangan berat karena era digital sekarang ada di dunia informasi dan komunikasi. Semuanya cepat dan bebas. Jurnalis sekarang beradu skill dengan netizen yang aktif menyebarkan dan memproduksi informasi sendiri.
ADVERTISEMENT
Ketika fenomena positif yang muncul tentunya juga banyak, seperti e commerce, e goverment yang membuat layanannya lebih cepat dan murah. Apalagi di masa pandemi, sekian banyak ‘e’ (sistem aplikasi elektronik) ini dibutuhkan untuk meminimalisir penyebaran covid-19. Praktik itu menjadi bagian dari paradigma pers saat ini. Pers dulu hanya berkutat di media cetak, kemudian berkembang adanya media penyiaran, dan saat ini media berbasis internet.
Pada babak pembuka, digitalisasi kita hanya bisa melihat website dan chating atau SMS, sekarang sudah banyak sekali media sosial. Mau selfi, comment, cerita, gosip-pun bisa. Ini artinya masyarakat juga bisa memainkan sebagai produsen dan distributor informasi sekaligus. Bahkan produksi dan sebaran informasi lewat akun medsos melampuai kinerja sebuah perusahaan media. Perbedaan mendasar adalah nilai jurnalistik yang digunakan. Jika industri pers terikat pada etika dan norma jurnalistik sehingga pasti banyak pertimbangan, pengetahuan dan data yang valid untuk sebuah informasi, tetapi media warga atau akun personal di medsos hanya berdasarkan pada intuisi dan validitasnya rendah, yang berdampak terjadi hoaks dan malapetaka informasi lainnya bisa bisa muncul.
ADVERTISEMENT
Di sinilah, penting pers tidak hanya menyebarkan informasi yang berimbang, cover on both side, tetapi juga menjadi rujukan informasi. Apa yang tersebar di dunia digital maupun dunia nyata, bisa diverifikasi melalui informasi yang tersedia di kalangan pers. Jadi pers ini pembanding bagi masyarakat dalam menelaah informasi, benar atau tidak informasi yang didapat masyarakat. Jadi mulai saat ini pers tidak hanya bisa mengandalkan jurnalis di lapangan dan editor di meja, tetapi juga harus memiliki lini litbang (penelitian dan pengembangan) yang mampu mengkoding data dan membuat database tersendiri sebagai bahan utama sebuah informasi. Pada era digital, jurnalis dihadapkan kepada keharusan memahami data.
Kemudian, faktor ekonomi menjadi tantangan selanjutnya yang tak kalah pelik. Urusan mulut dan perut memang tak bisa dihindari dan dipungkiri. Dunia informasi yang memunculkan industri pers atau media sekarang tidak lagi idealis. Sebagai pilar keempat demokrasi, setelah legislatif, yudikatif dan ekskutif, maka jurnalistik dihadapkan pada bagaimana menggeser saklar sikap. Jadi industri media harus pandai menggeser posisi switch, apakah hanyut dalam tawaran ekonomi dengan keberpihakan kepentingan semata untuk mengangkat pendapatan usaha, atau switch nya pada posisi ideal yang mampu menjadi idealime sekaligus memiliki peluang dan manfaat ekonomi meskipun tidak banyak. Monopoli media dan kapitalisme industri media sekarang menjadi salah satu indikasi korporasi kepentingan informasi.
ADVERTISEMENT
Tiga Hal Besar
Untuk itulah, kita perlu terus menumbuhkan Lembaga Penyiaran Publik Lokal, baik radio dan televisi yang dimiliki pemerintah daerah agar mampu berkiprah lebih banyak dalam penyebarluasan informasi. Mereka ini juga bisa menyumbangkan independensi informasi karena memang milik pemerintah daerah, bukan berdasarkan saham dan pertimbangan ekonomi semata. Kita dorong dan gerakkan pers saat ini mampu menguasai multiplatform informasi. Sudah banyak industri media yang melakukan polymedia. Tidak hanya bergerak di media penyiaran atau koran saja, tetapi mereka juga menyediakan website, medsos, youtube dan sebagainya. Tujuannya menarik audiens yang lebih luas dan menyeimbangkan informasi yang beredar di pasar media baru (medsos dan internet), sekaligus pangsa pasar ekonomi.
Seremoni hari pers nasional tahun saat ini, menuntut organisasi pers harus memiliki progres, bisa merumuskan kebijakan jurnalistik yang ada di media sosial dan internet. Berkontribusi pada pemerintah dan wakil rakyat untuk membuat regulasi yang mengatur tentang informasi di dunia maya, tentunya harus diimbangi dengan partisipasi dari operator dan pemilik platform yang digunakan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Paradigma universal, bad news is not good news. Penting pers memberitakan hal yang enak, menghibur dan memberikan solusi. Misalkan karena pandemi, ekonomi jadi terganggu, maka kita informasikan bagaimana membuat akun e commerce, berdagang secara online. Bagimana bikin marketplace, coworking maupun heterospace untuk mendampingi dan fasilitasi anak muda kreatif yang mau membuat usaha. Atau juga membantu memasarkan produk UMKM melalui akun lapak khusus setiap akhir minggu, tujuannya mendorong masyarakat agar bangkit ataupun berdikari di bidang ekonomi.
Maka kemudian, aktualisasi good journalisme (jurnalisme berkualitas) hari ini, rupanya masih relevan kala menggenggam kapital sikap ingin tahu, latar-belakang pendidikan yang cukup, pemahaman isu lintas disiplin, menyukai dan mengikuti perkembangan isu terkini, sikap percaya diri, bersikap skeptis, rendah hati, penuh determinaasi, pekerja keras, kreatif, memahami bahasa dengan baik (lebih dari satu bahasa pasti sangat membantu), sabar, terus belajar dan berlatih.
ADVERTISEMENT
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh dalam Konvensi Nasional Hari Pers Nasional 2020 mensyaratkan tiga hal besar untuk mengegolkan good journalism, yaitu kompetensi wartawan, perlindungan wartawan, dan kesejahteraan wartawan. Laman African Center for Media Excellence (ACME) menawarkan sejumlah indicator jurnalisme berkualitas, diantaranya menjunjung tinggi nilai keberagaman, menyajikan kebenaran dan akurasi, bersikap adil dan imparsial, juga harus independen.
Di samping kemampuan di atas, maka pemahaman dan implementasi Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan 11 pasal di Kode Etik Jurnalistik penting bagi jajaran jurnalis, selain itu juga perlu memahami Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Perlindungan Anak, dan puluhan undang-undang lainnya, belum termasuk aturan di bawahnya, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Di terjalnya pandemi dan bencana, beragam sektor banyak merasakan dampaknya, bukan pers saja yang harus survive, tetapi masyarakat yang selama ini sering survival, harus juga survive disegala bidang, termasuk dalam menerima informasi. Maka pers harus cakap mengusung informasi positif dan menyejukkan membawa optimisme dan spirit baru. Jatuh 1 kali bangun 1000 kali