Menyikapi Demam Thrifting

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
12 Mei 2022 15:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Thrifting (proses berburu barang-barang bekas) bukan isu baru. Sekalipun pemerintah terutama aparat keamanan kerap berbaku tembak diperairan-perairan tikus di luar Pulau Jawa dan lain-lain untuk menghalau para penyelundup barang bekas impor atau bahasa kerennya sekarang thrift (barang bekas impor bekualitas bagus), dan punya segmen tersendiri.
ADVERTISEMENT
Waktu bergulir, kini thrift kembali seolah menjadi “sesuatu,” baik dari aras bisnis maupun fashion. Terlebih thrift sekarang bukan hanya dilirik mereka yang berkantong pas-pasan alias tipis. Tapi kini, booming thrift terus mencuri hati masyarakat di negeri ini. Selebriti atau artis pun tak ketinggalan turut meramaikan pasar thrift bahkan bukan sekadar sebagai buyer tapi sudah menjadi pemakai bahkan pecandu hobi thrifting.
Pasar thrift tak pernah ambil pusing dengan data BPS tentang angka kemiskinan yang masih cukup tinggi, apalagi masih ditingkah dampak pandemi dan bencana yang ikut memicu deretan penduduk miskin menjadi-jadi.
Ketika masyarakat sudah gandrung terhadap thrift, maka kemudian mereka kemudian melancarkan thrifting. Mungkin saja secara fisik seperti pakaian, sepatu atau tas dan sebagainya masih cukup baik mungkin cuma cacat atau luka sedikit tapi karena impor minded dan orientasi branded segala cara ditempuhnya.
ADVERTISEMENT
Ada yang disulap dikit, dipermak manis sehingga cacatnya tak kasat mata telanjang. Ada juga yang dijual lagi (reseller) dengan harga lebih tinggi, harapannya laba makin gemuk.
Melawan
Tapi tak semua gerai, butik atau thrift shop menyediakan barang-barang branded, tapi sebenarnya lebih banyak menyiapkan rerupa barang yang berkualitas. Itulah kemudian, aneka asesoris berkualitas dengan harga murah siap menangkap sinyal animo masyarakat yang pengin serasa selevel dengan orang-orang terkenal yang mengenakan fashion yang sama yang dipakainya, meski dengan catatan bekas (berkelas).
Bisnis thrift jelas melawan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas karena dianggap berpotensi membahayakan kesehatan. Pada Pasal 2 regulasi di atas berbunyi “Pakaian Bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia”, dan pasal 3 “Pakaian Bekas yang tiba di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada atau setelah Peraturan Menteri ini berlaku wajib dimusnahkan sesuai ketentuan Undang-Undang.”
ADVERTISEMENT
Pihak berwenang, Balai Pengujian Mutu Barang, Dirjen SPK, dan Kementerian Perdagangan melakukan uji coba terhadap pakaian bekas impor, dan menemukan sejumlah bakteri seperti S. Aureus, E. Coli, dan Kapang. Uji coba tersebut dilakukan menggunakan metode bacteriological analytical manual (BAM).
Selain karena faktor kesehatan, impor thrift juga dianggap berpotensi melemahkan, menghancurkan bahkan mematikan industri pakaian lokal. Terutama UMKM tekstil maupun konveksi yang dianggap akan sulit bersaing dengan thrifty, karena masalah harga dan brand ternama.
Penjualan thrift juga melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Praktik di lapangan bisnis thrift pun berjubel di media sosial maupun di e-commerce.
Para penjaja atau pebisnis thrift memang menjanjikan keuntungan yang cukup besar, bisa 3-4 kali lipat dari modal yang ditebar. Dengan perawatan yang baik, barang-barang thrift juga bisa bertahan lama karena mutu bahannya memang bagus. terbitnya thrift, diakui atau tidak, cukp membantu kaum muda kita yang uang belanjanya cekak kala bermimpi punya pakaian bermerek yang tentu saja jika harus membeli di mal, swalayan maupun butik terkenal. Lagi, lagi thrifting menjadi jalan instan untuk para pemuja gaya, sehingga dengan budget mepet pun tidak mati gaya.
ADVERTISEMENT
Gaya berpakaian ala thrift ini mencapai masa kejayaannya pada tahun 90-an. Masa itu merupakan era keemasan Kurt Cobain dengan gaya hidup grunge-nya yang tengah menjadi panutan bagi hampir seluruh anak muda di dunia kala itu.
Thrift tak sedikit dari hasil selundupan orang yang tidak bertanggungjawab, sehingga mereka mengabaikan bea masuk atas barang impor, sehingga negara sangat dirugikan, padahal biaya-biaya tersebut bisa membantu pemerintah dalam penganggaran pembangunan yang masih banyak menyisakan PR, seperti kemiskinan, kesehatan, kesejangan, pendidikan, ekonomi, lingkungan hidup, dan sebagainya.
Namun demikian, belakangan tren thrift dengan thrifting-nya kian menjadi dengan menjamurnya thrift shop yang secara terang-terangan sudah dibikin bisnis. Entah apa yang dipikirkan pemda saat ini, pemda seolah tutup mata atau pura-pura tidak tahu, tapi pajak toko tetap jalan atau sekurangnya masih ada yang bermain-main di jalan tikus.
ADVERTISEMENT
Kuda Troya
Bahkan beberapa daerah berunjuk gigi dengan menggelar thrift festival atau thrift fair. Memang di satu sisi sangat membantu warga berpenghasilan rendah untuk memiliki pakaian layak pakai. Secara pelahan kebebasan thrift store atau thrift shop dengan gaya sok hemat dan sok ramah lingkungan itu, berpotensi mematikan rintisan usaha atau bisnis pemula dari UMKM kita. Karena secara sadar atau tidak dari persoalan tarif atau harga, thrift masih jauh di bawah harga produk UMKM.
Hal ini patut kita sayangkan, hanya mengejar PAD, melalaikan bea masuk ke negara dan tidak memberi edukasi secara sehat bagi kompetisi bisnis terutama pada domain lokal. Lebih disayangkan lagi, mereka nampaknya lebih bangga saat mengenakan baju impor dengan brand kondang dan mahal yang memberi impresi kelas elit, tidak murahan. Lalu kemanakah kampanye aku cinta Indonesia atau aku bangga buatan Indonesia. Memang nasionalisme atau keindonesiaan tak melulu diterjemahkan dengan segala rupa berfrasa Indonesia, tapi harus pada tutur, sikap dan perilaku yang merepresentasi budaya Indonesia.
ADVERTISEMENT
Beberapa mahasiswa atau milenial sangat terbantu dengan hadirnya thrift di thrift shop ini, bahkan beberapa mahasiswa juga menjadikan thrift sebagai bisnis sampingan di luar kuliahnya. Mau tak mau, membanjirnya thrift menjadi pukulan telak bagi kawan-kawan UMKM, di aras lain mestinya menjadi agenda mawas diri bagi pemerintah untuk konsisten dan berani mengambil tindakan atas berhamburannya “awul-awul,” tidak menghambat arus pundi-pundi ekomi para UMKM.
Untuk menjaga keberlangsungan industri kecil dalam negeri, sudah seharusnya masyarakat memberikan sumbangsih kepada negara secara sah dengan cara legal, demikian juga pemerintah khususnya pada sektor-sektor yang punya intimitas dengan keluar-masuknya barang dari dan ke luar negeri, mesti ada kontrol yang lebih intensif ketimbang menjadi kuda troya atas produk domestik kita yang butuh naik kelas. Terakhir, jangan pernah membeli gaya hidup. Cantik dan gagah dalam kesahayaan atau kesederhanaan jauh lebih elegant ketimbang nestapa kemudian.
ADVERTISEMENT