Lumpia Intimitas Makanan dan Kebudayaan

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
17 Februari 2022 17:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada tujuh unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat, antara lain bahasa, pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup dan teknologi, ekonomi, religi dan kesenian. Dalam relasi tulisan ini, maka kemudian makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu-jamuan turut menyokong elemen kebudayaan keempat, yakni peralatan dan teknologi.
ADVERTISEMENT
Makanan dengan simbol dan media pendukungnya seperti sikap (manner), perlengkapan, sajian, komoditi, dan hal lain yang berkaitan, telah menciptakan identitas budaya dalam masyarakat (Ong Hok Ham, 2009). Makanan tak hanya menjadi pemuas kebutuhan perut saja, tetapi juga sebagai identitas sebuah budaya dari suatu daerah atau negara. Kita dapat mengetahui budaya tertentu hanya dengan mengenali makanan mereka.
Itulah kemudian, kebhinekaan budaya negeri ini menjelma dalam berbagai aras. Cara melihat Indonesia, salah satunya dari kuliner atau makanannya dengan segenap sensasi dan kisahnya. Kita punya Gudeg Jogja, Rendang Padang, Timlo Solo, Pempek Palembang, atau Lumpia Semarang.
Loenpia atau dieja lun pia diserap dari kata dialek bahasa Cina Hokkian run bing yang kemudian bersinergi dengan bahasa Jawa lum ping (kulit) menjadi lumpia. Lumpia merupakan spring roll (kue gulung) sehingga dimungkinkan lumpia belum digoreng hanya lumpia basah. Lumpia atau lunpia keduanya benar. Lun atau lum berarti lunak atau lembut, bergantung pada dialek pengucapnya. Pia berarti kue.
ADVERTISEMENT
Silang Budaya
Lumpia Semarang adalah jajanan olahan yang berasal dari rebung atau tunas bambu muda yang ditambahkan daging, kerap mirip seperti risol. Adalah Tjoa Thay Joe dan Mbok Wasi, keduanya awalnya kompetitor dagang, kemudian disatukan dalam tresno jalaran soko kulino, cinta tumbuh di hati keduanya. Akhirnya, sejoli itu memutuskan untuk menikah pada 1870 dan menggeluti kudapan lumpia secara bersama. Pasangan ini dikenal sebagai generasi pertama lumpia Semarang. Inilah romantisme silang budaya di balik lumpia.
Lumpia pun dijajakan dan dikenal luas oleh masyarakat Semarang, yakni saat pelaksanaan pesta olahraga Games of the New Emerging Forces (GANEFO) yang diselenggarakan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1963 di Jakarta. Di beberapa negara, makanan khas dan sejarah di balik pembuatannya bahkan menjadi salah satu daya tarik wisata dan alat diplomasi (Kompas.com, 13/03/2021). Bung Karno pernah mengatakan, untuk mengenyahkan segala bentuk kolonialisme. Nyatanya, banyak warisan gastronomi dari masa kolonial yang kemudian bertransformasi menjadi kuliner Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya adalah budaya jamuan makanan secara prasmanan, serta makan dengan menggunakan kursi, meja, dan alat makan merupakan warisan dari masa kolonial. Budaya makan leluhur Indonesia tidak pernah menggunakan kursi dan meja. Leluhur menikmati jamuan dengan berlesehan atau duduk di lantai. Budaya makan prasmanan ini ternyata diterapkan Soekarno di awal kemerdekaan sebagai alat sekaligus simbol diplomasi kebudayaan. Progres kemudian hari, Semarang dikenal dengan sebutan Kota Lumpia. Ada juga yang menyebutnya "Lunpia". Jajanan khas kota Semarang yang sudah melegenda, bahkan menjadi salah satu ikon kuliner kota Atlas.
Keberadaan lumpia Semarang tersebut telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan SK Nomor 153991/MPK.A/DO/2014 tanggal 17 Oktober 2014, telah menetapkan lumpia Semarang sebagai warisan budaya nasional tak benda. Jajanan khas Semarang ini pun sudah resmi diakui sebagai warisan budaya Indonesia oleh UNESCO sejak 2014. Selain lumpia, ada juga rendang, nasi goreng dan tempe yang juga beroleh pengakuan badan dunia itu.
ADVERTISEMENT
Warisan budaya terbagi dua, yaitu bendawi dan tak benda. Warisan budaya bendawi adalah hal-hal yang dapat disentuh dan dipakai. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2014) mendefinisikan warisan budaya tak benda adalah segala praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan—serta alat-alat, benda (alamiah), artefak, dan ruang-ruang budaya terkait dengannya—yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, dan dalam hal tertentu perseorangan sebagai bagian warisan budaya mereka.
Amanat Trisakti
Warisan budaya tak benda ini, yang diwariskan dari generasi ke generasi, senantiasa diciptakan kembali oleh berbagai komunitas dan kelompok sebagai tanggapan mereka terhadap lingkungannya, interaksinya dengan alam, serta sejarahnya, dan memberikan mereka rasa jati diri dan keberlanjutan untuk memajukan penghormatan keanekaragaman budaya dan daya cipta insani. Warisan budaya tak benda meliputi tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa, seni pertunjukan, adat-istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan. Selain itu, juga pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenal alam dan semesta serta kemahiran kerajinan tradisional.
ADVERTISEMENT
Saking lezat dan kondangnya lumpia Semarang (Indonesia), negara Malaysia pernah mengeklaim lumpia sebagai miliknya. Maka kemudian, Cik Me Me sebagai generasi kelima pencipta jajanan lumpia Semarang pun bergerak bersama Forum Masyarakat Peduli Budaya Indonesia (Formasbudi) melakukan aksi damai di depan Kantor Kedubes Malaysia, di Kuningan Jakarta, pada 20 Februari 2015. Dalam perjalanannya, Malaysia akhirnya mengurungkan langkah klaimnya terhadap lumpia Semarang.
Intinya, meminta Malaysia agar tidak mengeklaim lumpia Semarang sebagai produk budaya mereka, karena jenis kuliner telah dipatenkan Pemerintah Indonesia sebagai warisan budaya. Karena negeri jiran ini kerap mengeklaim budaya Indonesia sebagai miliknya, seperti Wayang Kulit, Lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo, Batik, Angklung, maupun Rendang. Sisi baik atas aksi klaim Malaysia tersebut, justru membuat lumpia sebagai produk Indonesia, khususnya Semarang diakui secara internasional. Jika diklaim berarti kualitas lumpia kita bagus, diakui dan layak untuk makanan maupun sebagai oleh-oleh khas Semarang.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, semoga tulisan pendek ini dapat memberikan dampak positif bagi kedaulatan budaya dalam negeri menjadi pilar kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Tugas kita kemudian adalah memelihara warisan budaya sebagai bagian cara kita merawat Indonesia sebagaimana amanat salah satu ajaran Trisakti Soekarno, yaitu berkepribadian dalam kebudayaan. Kita pernah mengerjakan cita-cita bersama, suatu ketika cita-cita itu akan selalu mengikat kita.