Garansi bagi Anak-anak yang Malang

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
4 Juli 2022 10:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di bangu-bangku Panjang di sekolah acap kita saksikan anak-anak yang murung, karena menjadi korban kekerasan seksual, hingga melahirkan anak. Kita tengok deretan pengap itu.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, seorang bocah perempuan yang masih duduk di Kelas I SMP di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah diduga mengalami kekerasan seksual hingga hamil dan melahirkan bayi laki-laki (Solopos, 14/6/2022).
Sebelumnya, kejadian serupa menimpa siswi Kelas 1 SMA di Wonogiri melahirkan bayi saat sekolah online (Tribunsolo, 10/9/2021). Kasus Siswi SMP Favorit Melahirkan, Pukulan Telak Dunia Pendidikan Karanganyar (KRjogja, 28/8/2021).
Kemudian, kasus yang mendahului juga hinggap pada seorang siswi di Rembang ketahuan melahirkan bayi di toilet sekolah (Liputan6, 20/8/2018). Ingatan kita pun masih merekam hangat atas tragedi siswi SMA di Banyumas membunuh bayinya yang baru lahir di toilet RS (INewsjateng, 23/1/2018).
Jelas, catatan muram di atas membuat kita ngelus dada dan prihatin. Kepedihan tersebut jelas menjadi pukulan berat bahkan telak bagi orangtua, sekolah dan pemuka lainnya. Institusi pendidikan kerap dicap gagal menjalankan core bisnisnya.
ADVERTISEMENT
Pendidikan Seks dan Reproduksi
Menyikapi potret kusam di atas, dari kacamata awam penulis mencoba ikut urun rembug atas rerupa penyokong dan barangkali sepenggal jalan keluar untuk mengurai dekap pilu yang bertubi.
Salah satunya adalah soalan minimnya pendidikan seks dan reproduksi. Masyarakat kita masih merasa ragu dan tabu, ketika harus bicara dan mengedukasi seks daan reproduksi kepada anak-anaknya. Pendidikan satu ini penting, namun mesti disampaikan secara hati-hati, sesuai dengan perkembangan anak, dan bahasanya pun harus tepat dengan usia ataupun level pendidikannya. Isi pendidikan seks dan reproduksi anak SD akan beda dengan materi Pendidikan seks anak SMA atau kuliah.
Hal ini bisa saja diperburuk oleh Orangtua yang masa bodoh. Sikap kebangetan ini juga berkontribusi menggeliatnya peristiwa yang tak pernah kita harapkan sama sekali. Tak ada orang tua atau keluarga yang ingin anaknya hamil nihil perkawinan atau bahkan melahirkan anak tanpa didahului ikatan pernikahan. Maka kemudian, Ketika anak-anak yang melang ini ibarat anak polah bopo kepradah, seperti kasus-kasus kelam di atas. Pada aras demikian, Orang tua atau keluarga yang tak pernah memperhatikan atas perubahan fisik dan perilaku anak-anaknya, maka dimungkinkan kecelakaan buruk itu beranak-pinak tanpa tahu juntrung-nya. Pada kondisi ini, kerap kita lihat anak-anak ini kekurangan aktifitas positif, sehingga pergaulan sesat pun mengancamnya. Bukan tak mungkin, anak-anak demikian bisa saja terjerembab pada praktik ekonomi underground.
ADVERTISEMENT
Pada ujung lain, yaitu rendahnya internalisasi nilai agama juga bisa ikut andil atas masifnya kasus yang memalukan itu. Lahirnya anak-anak tanpa ayah dan sebutan lainnya. Merasa tak ada yang mengontrol dan mengawasi selain manusia atau keluarga. Mereka ini barangkali sedang mengalami kebangkrutan dalam mencecap dan memaknai nilai agama yang dianut. Sehingga anak-anak yang terperosok ini, otak, hati dan emosinya lebih didominasi kebebasan seks dan tak sedikit terpenjara atas libido syahwatnya. Maka kemudian, mereka ini pun acap menabrakkan dirinya dengan norma, hukum dan nilai agama yang sangat agung.
Persoalan lain yang menganga adalah problema gaya hidup hippies. Mereka ini lebih mengagungkan kesenangan, hura-hura, tanpa memikirkan dampak dan risiko atas perbuatannya. Anak-anak yang mengandung hingga melahirkan bayi tak resmi ini bukan tak mungkin mereka akan gampang tergoda atas hal-hal yang mengenakkan dan instan. Rerata mereka akhirnya kecewa juga atas kelakuannya, dan sesal selalu datang terlambat. Karena prinsipnya, pokoknya hidup itu mesti happy. Lain tidak.
ADVERTISEMENT
Hal yang menopang bagi suburnya hamil luar nikah lainnya, nampak pada keterbatasan pengetahuan bahaya pernikahan dini. Pada saat anak-anak tersandera dengan keliaran libido, tak menutup kemungkinan mereka terjebak pada noktah hitam yang sangat sulit terhindar, karena orang baik yang hanya diam. Beberapa kasus murung di atas dialami anak-anak sekolah yang disebut belum dewasa, karena sesuai UU Perkawinan, mereka belum genap usia 19 tahun. Pada titik usia itulah syarat laki-laki dan perempuan bisa melangsungkan pernikahan secara negara.
Menimbang beragam penyebab menyeruaknya kasus-kasus kusut di atas, maka kemudian tindakan pertama dan utama adalah menyelamatkan ibu dan anak yang bersangkutan. Tak arif rasanya pada situasi buruk demikian, tiba-tiba harus ribut mencari kambing hitam. Kala nasi sudah menjadi bubur, alangkah baiknya anak ini tetap mendampatkan pendampingan saat di rumah, kontrol dokter atau periksa regular kehamilannya, pemenuhan gizi, dll. Pendeknya, mereka terus kita rangkul tanpa diskriminasi. Barulah kemudian dicarikan jalan keluar saat keadaan sudah kondusif. Tak baik rasanya saat-saat anak menghadapi problem berat seperti itu, anak hanya disalah-salahkan, bisa jadi malah syok dan bisa berakibat lebih fatal.
ADVERTISEMENT
Butuh Garansi
Pada saat anak-anak secara fisik dan psikologis atau mental sebetulnya belum siap mengandung atau melahirkan anak, maka saat seperti itulah ada hal penting yang mesti diperhatikan dan harus dijamin, yaitu bagaimana anak beroleh cuti melahirkan dari sekolah, sehingga saat cuti usai, anak tersebut bisa melanjutkan pendidikan atau sekolahnya secara tuntas, tak ada ancaman, tekanan, tanpa bullying, dll. Termasuk nihilnya kekerasan verbal.
Pihak sekolah harus memastikan itu semua, bahkan jika perlu anak beroleh perlindungan tempat atau ruang khusus yang mendukung bagi anak dan bayinya berkembang optimal, meski anak tetap merampungkan kewajiban belajarnya. Semua harus memastikan garansi itu berjalan.
Upaya lain, bisa saja sekolah menggelar tes kehamilan bagi semua siswa perempuan. langkah prevensi ini diambil sebagai bentuk antisipasi dini, sehingga dunia Pendidikan tak kecolongan. Hal ini mungkin dianggap lebay, tapi itulah bagian cara kita menyelamatkan nasib dan masa depan anak-anak kita. Memberikan anak kegiatanb ekstra positif dan produktif menjadi tawaran lain yang bisa ditempuh, seperti pramuka, klub sepakbola, sanggar melukis atau menari, terlibat teathre, ekskul robotik, kursus menulis, dan sebagainya. Jangan sampai ada celah waktu kosong yang terbuang tanpa nilai, namun harus pula dipikirkan wakytu istirahat yang berkualitas bagi anak.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang dapat ditempuh, yakni mengintensifkan home visit. Di samping bimbingan dan konseling di ranah sekolah, tidak ada salahnya guru BK dan civitas sekolah melakukan kunjungan ke rumah, apalagi saat ada yang aneh pada anak-anak tertentu. Dengan tetap menaruh hormat terhadap keluarga dan anak, para guru bisa mengkomunikasikan segala sesuatu tentang perkembangan anak kepada orangtua/wali, sehingga ada rapor sikap dan perilaku anak di luar nilai akademik yang disarikan di dalam buku rapor siswa.
Itulah mengapa, penting bagi kita, termasuk keluarga, sekolah dan elit masyarakat tak henti memberikan motivasi kepada anak yang terseret kasus tersebut untuk tetap bersemangat, berpengharapan, bersenyum tanpa berairmata. Menanamkan kepada anak soal integritas dan martabat juga mengembalikann nilai-nilai agama yang barangkali lunglai atau luntur.
ADVERTISEMENT
Bukan untuk meniru kelakuan anak-anak yang hamil sebelum nikah atau mereka yang tragis melahirkan bayinya, tetapi mendorong dan menggerakkan anak-anak yang terlanjur basah ini menjadi sosok mandiri dan punya daya tawar tinggi dengan bekal kemampuan yang dimiliki. Misalnya, dilatih kembali bersosial dengan keluarga, kawan, masyarakat dan sekolah. Hal urgen dan baku adalah dilatih bagaimana merawat anak, termasuk memberikan ASI ekslusif kepada bayinya ataupun penyiapan makanan bergizi bagi bayinya sehingga tak terpapar tengkes (stunting). Aatau sekurangnyam, anak sekolah yang melahirkan bayio ini mesti mampu memainkan diri sebagai mini ICU berjalan meski dalam skala super sederhana.
Selain itu, untuk lebih memberikan daya hidup baginya, energi anak penting disalurkan pada kesibukan/aktifitas positif, misalnya teater, olehraga, pramuka, bisnis on line, bimbel, roboti, dll. Maka tak kurang baik diberikan suplemen dengan dilatih pula punya kemampuan IT, menaikkan kapasitas berbahasa asing, atau naik kelas menjadi entrepreneur sejati dengan latihan rintisan usaha atau bisnis kalau tak boleh disebut start-up. Hingga kemudian, mereka ini bisa mengambil hikmah atas kenakalannya, kemudian menyadari ketika jatuh dan kemudian berjuang bangkit untuk bangun sehingga menemukan kepercayaan dirinya kembali secara utuh, sambil tegak lurus menata masa depannya.
ADVERTISEMENT